Konten Media Partner

Kuasa Hukum Mahasiswa Asal Jakarta Ungkap Kronologi Kekerasan Seksual di UIR

13 November 2022 10:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Universitas Islam Riau (UIR) Kota Pekanbaru, Riau. (RAHMADI DWI PUTRA/SELASAR RIAU).
zoom-in-whitePerbesar
Universitas Islam Riau (UIR) Kota Pekanbaru, Riau. (RAHMADI DWI PUTRA/SELASAR RIAU).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
SELASAR RIAU, PEKANBARU - Tim kuasa hukum mahasiswa pertukaran asal Jakarta mengungkap kronologi peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di asrama mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) Kota Pekanbaru, Riau.
ADVERTISEMENT
Menurut kuasa hukum korban, Tegar Putuhena, penting untuk menjelaskan kronologi kasus yang menimpa mahasiswa pertukaran pelajar dari Jakarta itu.
Tegar menjelaskan peristiwa kekerasan seksual itu terjadi pada 14 dan 17 Oktober 2022 lalu. Ia menduga kejadian itu dilakukan oleh dua orang mahasiswa. Satu di antaranya bernama Reza dan satu lagi belum diketahui.
“Akibat peristiwa tersebut, korban mengalami trauma dan segera dievakuasi oleh keluarganya pada 22 Oktober 2022. Selanjutnya, orang tua korban telah mengadukan hal ini kepada pihak kampus melalui dosen psikologi bernama Pak D pada 23 Oktober 2022, kemudian pada 26 Oktober 2022,” jelasnya, Sabtu (12/11).
Tegar menyebut orang tua korban juga menghubungi Penanggung Jawab PMM UIR. Saat itu, mereka meminta orang tua korban untuk menyertakan hasil visum et repertum agar pihak kampus dapat menindaklanjuti kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, berdasarkan permintaan pihak UIR tersebut, korban lantas membuat laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri dengan nomor LP/B/0619/X/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI pada 27 Oktober 2022. Lanjutnya, korban melakukan visum et repertum pada hari yang sama.
“Perlu diketahui bahwa visum hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik, sehingga mau tidak mau, korban harus membuat laporan polisi demi bisa mendapatkan visum tersebut,” tegasnya.
Tegar mengaku, sebelumnya pihaknya mencoba upaya persuasif, meminta kepada pihak UIR segera menanggapi peristiwa ini dengan melakukan segala tindakan yang dianggap perlu demi kepentingan terbaik korban. Sayangnya, ia menuturkan, hingga saat ini tak tampak upaya serius yang telah dilakukan oleh UIR.
“Jangankan upaya pengusutan, pendampingan pada korban pun tak kunjung dilakukan. Memang UIR kabarnya telah membentuk satgas untuk pengusutan kasus ini. Korban sempat mendapatkan undangan untuk pertemuan di Jakarta pada 15 November 2022 mendatang. Namun karena pertimbangan kondisi psikologis korban, kami sampaikan bahwa korban belum bisa dihadirkan dalam pertemuan tersebut,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kata Tegar, undangan itu diwakili oleh orang tua dan kuasa hukum korban. Namun, pertemuan itu kemudian dibatalkan secara sepihak dengan alasan ketidakhadiran korban.
Sebab itu, Tegar menilai, UIR tidak memiliki perspektif yang baik dalam menangani kasus kekerasan seksual. Keberpihakan pada korban, katanya, sama sekali tidak tampak dalam langkah yang diambil UIR.
“Berdasarkan regulasi yang ada, pihak UIR harusnya memberikan respon cepat dengan sekurang-kurangnya segera memberikan pendampingan kepada korban. Langkah minimal seperti itu saja tidak dilakukan. Menurut kami, pemihakan kepada korban harus memiliki bentuk nyata dalam bentuk pendampingan maupun perlindungan, bukan lip service semata,” tutur Tegar.
Minta Instansi Pendidikan Berpihak pada Korban
Sikap UIR yang dinilai lamban dan tak berpihak pada korban, membuat Tegar selaku kuasa hukum meminta agar UIR menunjukkan kesungguhan menegakkan komitmen pemberantasan tindak kekerasan seksual di dalam kampus.
ADVERTISEMENT
“Salah satunya dengan melakukan investigasi yang menyeluruh, dengan menggunakan metode yang tidak konvensional. Sanksi tegas kepada para pelaku harus segera diberikan untuk membuktikan komitmen tersebut,” pintanya.
Tegar menyampaikan pihaknya bahkan meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera mengambil langkah evaluatif kepada UIR. Tambahnya, hal itu harus dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Menteri harus dengan segera memberikan evaluasi berupa sanksi baik secara kelembagaan maupun sanksi individual kepada siapa pun yang terbukti baik dengan sengaja atau lalai mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual,” tutup Tegar.
LAPORAN: BAGUS PRIBADI