Menilik Peran Indonesia dalam Upaya Pencegahan Perubahan Iklim Global

Selviany Alison Rambu Lika
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2023 17:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Selviany Alison Rambu Lika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pria memegang poster saat unjuk rasa yang menyerukan pemerintah AS untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim dan menolak penggunaan bahan bakar fosil di New York City. Foto: REUTERS/Eduardo Munoz
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria memegang poster saat unjuk rasa yang menyerukan pemerintah AS untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim dan menolak penggunaan bahan bakar fosil di New York City. Foto: REUTERS/Eduardo Munoz
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah perubahan iklim merupakan masalah yang cukup disorot oleh hampir seluruh negara karena keadaan lingkungan yang semakin parah dan bisa berdampak besar pada manusia. Tidak hanya negara, PBB pun sebagai organisasi internasional menyoroti hal ini, sehingga membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC merupakan suatu konvensi dari PBB yang mengurus mengenai perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Dalam UNFCCC terdapat Conference Of the Parties (COP) sebagai forum pengambilan keputusan yang akan mengkaji, memantau pelaksanaan dan kewajiban negara. Sehingga dari COP ini kemudian lahirlah perjanjian-perjanjian mengikat yang dibuat oleh negara untuk mengurangi penggunaan gas emisi.

Indonesia dalam COP

Indonesia sebagai salah satu negara yang berperan aktif dalam COP untuk berkomitmen mengurangi gas emisi. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang cukup besar tentu saja hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Menurut IESR, pada tahun 2019 Indonesia telah meningkatkan konsumsi listriknya secara signifikan sebesar 26% di mana 88% di antaranya berbahan bakar fosil seperti gas alam, minyak, dan sebagian besar dari batu bara. Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam mengurangi penggunaan gas emisi ini akan sangat berbanding terbalik dengan program Jokowi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur.
ADVERTISEMENT

Keterlibatan dan Komitmen dalam COP-21

Pada tahun 2015, diadakan COP-21 yang di dalamnya disepakati mengenai perjanjian Paris. Perjanjian Paris ini berisi mengenai pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat celsius dan bahkan derajat celsius, selain itu negara-negara yang terlibat di dalamnya juga berkomitmen untuk mengurangi emisi yang akan dipantau setiap 5 tahun melalui NDC. Dalam NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 melalui upaya sendiri dan sebesar 41% melalui bantuan Internasional.
Namun menurut WALHI, dari tahun 1990-2019 emisi dari penggunaan energi fosil mencapai 38 Gt CO2, naik rata-rata 0,9% per tahun antara tahun 2010-2019 karena faktor pandemi dan perlambatan ekonomi global. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum cukup optimal dalam menjalankan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon dalam negara ini yang awalnya disepakati hanya 1,5-2 derajat celsius naik menjadi 3-4 derajat celsius.
ADVERTISEMENT

Keterlibatan dan komitmen dalam COP-26

Gletser Plaine Morte terlihat pada hari ketika anggota Pemantauan Gletser di Swiss (GLAMOS) mengukur hilangnya es, di tengah perubahan iklim di gletser Plaine Morte di Crans-Montana, Swiss, Selasa (5/9/2023). Foto: Denis Balibouse/REUTERS
Pada COP-26 yang diselenggarakan pada tahun 2021, Indonesia turut mengambil bagian juga di dalamnya. Kurang lebih ada dua hal yang diangkat oleh Jokowi dalam COP-26 ini, yang pertama mengenai komitmen Indonesia dalam upaya menciptakan emisi nol persen dengan aksi nyata yang telah dilakukan seperti kebakaran hutan yang menurun 22% di tahun 2020 dan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai tahun 2024.
Hal ini menunjukkan adanya upaya yang telah dilakukan Indonesia cukup membantu mengurangi emisi. Yang kedua terkait upaya pembangunan berkelanjutan untuk mengejar dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan komitmennya yang pertama yaitu upaya untuk menciptakan emisi nol persen karena hampir seluruh tenaga listrik di Indonesia menggunakan batu bara. Selain itu, dalam pembangunannya juga tentu saja membutuhkan jaringan logistik yang pastinya akan berhubungan dengan bahan bakar minyak berbasis fosil.
ADVERTISEMENT
Menariknya dalam COP-26 ini, Jokowi tidak saja berkomitmen untuk menciptakan emisi nol karbon tetapi juga harus tetap melakukan pembangunan berkelanjutan. Memang kedua hal tersebut sangatlah bertolak belakang dengan melihat potensi Sumber Daya Alam yang akan digunakan dalam upaya pembangunan tersebut. Namun, Jokowi menawarkan untuk negara maju dapat terlibat dalam pendanaan kepada negara berkembang dalam menangani perubahan iklim ini. Sehingga pendanaan itu dapat digunakan dalam arah pembangunan berkelanjutan dari berbasis fosil ke energi terbaru.

Pasca COP-26

Setelah diadakannya COP-26, dengan melihat realita yang terjadi sekarang ini, saya cukup pesimis pada komitmen yang telah dilakukan oleh Indonesia. Dengan keadaan sekarang yang justru bukannya semakin membaik tetapi sebaliknya. Komitmen untuk menciptakan emisi karbon nol persen dengan seperti hanya angan-angan semata. Memang target yang dilakukan oleh negara bukan dalam waktu dekat, tetapi targetnya pada 2030. Namun, upaya yang dilakukan untuk terlaksananya target tersebut sepertinya kurang adanya progres dari pemerintah yang menghasilkan dampaknya dalam waktu dekat ini.
ADVERTISEMENT
Kendaraan berbasis listrik yang di gadai-gadai akan menjadi salah satu bentuk upaya dalam mengurangi emisi karbon ini, belum berjalan dengan optimal. Dengan adanya kendaraan listrik ini diharapkan dapat mengurangi emisi karbon karena menggunakan baterai dan tidak mengeluarkan emisi gas selama perjalanan.
Tetapi, sebenarnya hal ini hanya akan memindahkan sumber masalah. Jika kendaraan pada umumnya langsung membuang emisi karbon pada lingkungan namun kendaraan listrik ini melalui listrik yang dicas secara berkala yang dasarnya listrik ini masih bersumber dari bahan bakar fosil. Selain itu juga, baterai yang digunakan pada kendaraan listrik ini sangat sulit untuk terurai sehingga membutuhkan teknologi tambahan untuk dapat menguraikan.
Sebagai negara berkembang, dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya juga dibutuhkan investor-investor untuk berinvestasi di negara ini. Sehingga tidak heran lagi begitu banyak pembangunan-pembangunan dan industri-industri yang semakin meningkat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mencapai emisi nol karbon jika terus membuka investor tanpa perlu menyaringnya. Lingkungan akan menjadi dampak dari setiap keinginan-keinginan untuk menumbuhkan ekonomi melalui pembangunan-pembangunan yang tidak disaring.
Tidak bisa dipungkiri pun keadaan terus mendesak, namun pengabaian akan lingkungan itu yang akhirnya membuat lingkungan semakin parah seperti yang terjadi baru-baru ini. Di mana Jakarta yang diselimuti oleh kabut tebal akibat dari polusi udara yang penyebabnya merupakan perilaku manusia.
Pengabaian-pengabaian akan kesadaran dari masyarakat dan kurang ketatnya pemerintah pada masalah lingkungan ini, tidak saja berdampak pada lingkungan itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan terkhususnya pada anak akibat dari keteledoran masyarakat dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang dibuat harusnya dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungan karena lingkungan juga merupakan salah satu aspek yang penting selain ekonomi juga. Untuk menumbuhkan ekonomi terkadang harus mengorbankan lingkungan tetapi untuk menjaga lingkungan maka pertumbuhan ekonomi pun akan terjaga. Sehingga penting sekali untuk melihat aspek lingkungan terutama, agar tidak menjadi masalah baru lagi.