Konten dari Pengguna

Perempuan Tidak Dilahirkan untuk Patuh tanpa Nalar Ia Akar dari Sebuah Peradaban

Septi Peni Wulandani
Praktisi pendidikan anak dan keluarga, senang menulis dan berpetualang di alam.
9 Oktober 2025 11:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Perempuan Tidak Dilahirkan untuk Patuh tanpa Nalar Ia Akar dari Sebuah Peradaban
Dilema Perempuan Pemimpin: Antara Panggilan dan Penghakiman
Septi Peni Wulandani
Tulisan dari Septi Peni Wulandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

“Perempuan bukan sekadar pemimpin pendidikan di keluarga dan komunitas. Ia adalah akar dari peradaban.”

ADVERTISEMENT

Dodik Mariyanto, Keynote Speaker SEPPIM 2025

Sekolah Perempuan Pemimpin 2025 diskusi tentang Keynote Perempuan, Pemimpin, peradaban ( sumber foto : Dok pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah Perempuan Pemimpin 2025 diskusi tentang Keynote Perempuan, Pemimpin, peradaban ( sumber foto : Dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Dalam senyap, perempuan sesungguhnya sedang memegang kendali peradaban. Bukan dari balik panggung kekuasaan, tapi dari balik meja makan, ruang belajar anak, komunitas RT, dan grup kecil pengajian atau arisan. Namun hari ini, negeri ini seperti lupa: bahwa semua yang tampak besar sering kali berakar dari yang tak tampak—dan itu adalah kerja-kerja perempuan.
Kita hidup di zaman penuh ambiguitas. Di satu sisi, perempuan didorong untuk mengambil peran publik, memimpin institusi, bahkan menjadi kepala negara. Tapi di sisi lain, ia masih dibebani ekspektasi domestik yang nyaris absolut. Maka ketika perempuan melangkah ke ruang kepemimpinan, dilema pun datang bertubi-tubi.
Dilema Perempuan Pemimpin: Antara Panggilan dan Penghakiman
ADVERTISEMENT
Seorang ibu di komunitas pernah berkata,
Saat saya terlalu aktif di luar, saya dianggap meninggalkan rumah. Saat saya fokus di rumah, saya dianggap tidak berkembang.
Dilema itu nyata. Terutama bagi perempuan yang ingin menjadi pemimpin bukan karena ambisi, tapi karena rasa tanggung jawab. Ia merasa terpanggil, tapi dunia menuntut penjelasan: “Siapa yang urus anakmu nanti?”
Lelaki jarang ditanya hal yang sama.
Ruang dialog penuh empati sangat diperlukan bagi peserta sekolah perempuan bangsa (sumber foto : Dokumen Istimewa)
Di tengah dilema itu, lahirlah ruang yang memerdekakan. Namanya SEPPIM – Sekolah Perempuan Pemimpin, yang diselenggarakan oleh komunitas Ibu Profesional, Oktober 2025 lalu di Depok. Di sana, 17 perempuan dari berbagai daerah tidak diajari cara bicara di panggung atau menyusun rencana aksi politik. Mereka diajak kembali ke akar: mengapa ingin memimpin? untuk siapa? dari luka hidup yang mana peran ini lahir?
ADVERTISEMENT
Di SEPPIM, kepemimpinan bukan soal tampil gagah, tapi tentang bertumbuh dari dalam.
Perempuan Bukan Opsi Kedua, Ia Pondasi Awal
Perempuan bukan pelengkap kekuasaan. Ia pencipta makna dalam kekuasaan. Ketika sistem mulai kaku, ego politik makin brutal, dan masyarakat makin terbelah oleh hoaks dan polarisasi, kita tidak hanya butuh pemimpin baru. Kita butuh cara baru untuk memimpin—dan perempuan membawa cara itu.
Seperti kata Dodik Mariyanto dalam keynote-nya:
Apa artinya? Artinya, perubahan jangka panjang hanya bisa bertahan jika dimulai dari pendidikan nilai. Dan pendidikan nilai tidak bisa didelegasikan ke algoritma, aplikasi, atau birokrasi. Ia harus lahir dari hubungan intim dan nyata—yang sehari-hari dilakukan oleh para perempuan di rumah dan komunitas.
Bina Swadaya dan Warisan Kepemimpinan Sunyi
ADVERTISEMENT
Bambang Ismawan, pendiri Yayasan Bina Swadaya, hadir dalam SEPPIM dan berbagi bahwa sejak tahun 1967, ia membangun gerakan sosial tanpa mengemis pada negara. Gerakan itu lahir dari kerja-kerja kecil, membentuk koperasi, membangun literasi keuangan keluarga, dan membebaskan rakyat dari mental ketergantungan.
Apa hubungannya dengan perempuan? Segalanya.
Jika gerakan sosial bisa tumbuh dengan nilai, maka gerakan perempuan pun bisa membentuk arah bangsa—asal diberikan kepercayaan, ruang, dan pelatihan seperti SEPPIM.
Dan itu tidak harus menunggu restu negara. Bisa dimulai dari lingkaran belajar, dari komunitas ibu, dari keluarga yang membangun kepercayaan diri perempuan.
Perempuan, Kamu Bukan Pelengkap. Kamu Adalah Permulaan.
Kepemimpinan yang kita butuhkan ke depan bukanlah yang paling vokal, atau paling viral. Tapi yang paling konsisten hadir dan mengakar. Bukan yang mengatur orang, tapi yang mampu merawat nilai.
ADVERTISEMENT
Kita tidak sedang kekurangan pemimpin. Kita sedang kekurangan kepekaan. Dan itulah yang dimiliki perempuan dalam bentuk yang paling otentik.
Jadi, jika hari ini perempuan masih ragu: “Bolehkah aku memimpin?”
Jawabannya bukan hanya “boleh”.
Tapi justru: “Tanpamu, perubahan tak akan pernah mengakar.”