Konten dari Pengguna

Jalan Buntu Utang di Akar Rumput dan Perpecahan Sosial

Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
15 Agustus 2023 13:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septian Pribadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Utang menjadi permasalahan yang rumit (Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-memegang-kertas-printer-putih-5849565/
zoom-in-whitePerbesar
Utang menjadi permasalahan yang rumit (Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-memegang-kertas-printer-putih-5849565/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lagi-lagi utang. Saya dan istri menikah tiga tahun lalu. Sebagai lelaki yang sok pemberani dan pengertian, saya memilih untuk ngontrak rumah di suatu daerah. Keputusan ngontrak diambil karena ingin hidup mandiri dan menikmati tantangan ombak besar pernikahan. Konon kata para orang tua menikah adalah urusan rumit yang nikmat atau nikmat meski rumit.
ADVERTISEMENT
Daerah yang saya tempati bersama istri adalah lingkungan yang benar-benar baru. Orang tua sebetulnya menyesali keputusan ngontrak. Mereka sudah menyiapkan rumah untuk kami tapi tidak saya ambil dengan dalih ingin hidup di atas kaki sendiri. Alasan yang cukup heroik meski ternyata ucapan konon di atas benar adanya. Ternyata menikah itu njelimet.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kerumitan hidup dalam mahligai pernikahan adalah satu perkara yang belum selesai. Ditambah dengan kompleksitas kehidupan bermasyarakat di lingkungan baru. Tetangga baru, budaya baru, gaya komunikasi baru dan seterusnya. Dengan segala kebaruan itu, kita dipaksa untuk beradaptasi dalam berbagai hal. Termasuk dalam keruwetan bab utang.

Problem Utang di Akar Rumput

com-Ilustrasi terlilit utang. Foto: Shutterstock
Sebut saja Bu Sri, tetangga depan rumah yang baik hati. Dia menjadi satu-satunya orang yang sangat akrab dan baik dengan saya. Menjadi penyambung lidah kepada tetangga-tetangga lain agar menerima kita dengan lapang dada. Melalui Bu Sri inilah, jejaring sosial saya menjadi lebih luas di daerah baru tersebut. Dan akhirnya saya dikenal baik di tengah masyarakat baru ini.
ADVERTISEMENT
Kebaikan Bu Sri ini sekaligus menjadi petaka bagi keluarga anyaran kami. Ya, Bu Sri meminjam uang kepada kami karena perlu dana untuk menyelesaikan sekolah anaknya. Sebetulnya Bu Sri Sudah beberapa kali ngutang dan selalu dikembalikan meski sedikit terlambat. Hingga kemudian petaka besar terjadi.
Kali ini Bu Sri ngutang dengan nominal cukup besar. Ya kira-kira cukuplah untuk beli sepeda motor bekas merek Supra X 125 keluaran tahun 2013. Nominal itu tentu bukan uang kecil bagi kami yang baru saja membangun mahligai pernikahan. Singkat cerita, uang itu saya berikan karena melihat track record utang yang selalu dikembalikan meski terlambat.
Ya seperti yang terjadi dalam dinamika ngutang di masyarakat kita. Ruwet. Bu Sri telat membayar utang dan menimbulkan problem baru bagi keluarga kami. Saya dan istri sering uring-uringan karena kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Komunikasi jadi tidak harmonis meski beberapa kali saya melakukan tipu-rayu untuk meredam emosi istri. Pernah kita hanya makan nasi saja, dan itupun nasi sisa kemarin. Yang bikin miris, adalah ketika istri sakit dan saya tidak punya cukup uang untuk membeli obat. Alih-alih memeriksakannya ke rumah sakit.
Saya sering mengumpat dalam hati, ternyata meminjamkan uang adalah laku baik yang justru menimbulkan keburukan baru (tentu saja ketika tidak dibayar). Kalau ternyata dibayar ya kita tidak perlu membahas sampai sejauh ini. Apalagi ketika ditagih mereka ini sering menggunakan jurus “ngilang”. Apess tenan!
Sejak saat itu, Bu Sri yang saya anggap paling berjasa baik di lingkungan baru ini menjadi terbalik. Ia seperti tokoh licik yang berperangai baik di depan tapi busuk di belakang. Sialnya problem utang yang sulit ditagih ini dialami banyak orang dalam kehidupan level bawah. Bahkan di tingkatan nasional pun terjadi.
ADVERTISEMENT

Tidak Ada Solusi Nyata

com-Finmas, ilustrasi utang Foto: Shutterstock
Saya tertawa getir ketika bulan kemarin viral berita utang pemerintah Indonesia kepada Jusuf Hamka yang mencapai Rp 400 miliar. Yang hingga saat ini kabarnya belum dilunasi meski sudah ada putusan inkracht dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bahkan Jusuf Hamka mencoba melakukan berbagai upaya pendekatan personal hingga penyelesaian hukum. Jebule ya masih saja sulit. Lalu sekelas konglomerat Jusuf Hamka saja kesulitan menagih utang dengan berbagai upaya tapi tidak selesai, lalu apalah daya saya dan masyarakat jelata lainnya?
Apa kita lapor polisi saja bila ternyata tetangga kita enggan membayar utang? Sialnya tidak semudah itu. Utang-piutang masuk hukum perdata dan tidak bisa dipidanakan dengan mudah kecuali dilakukan dengan kebohongan atau tipu muslihat. Apakah semudah itu? Tentu tidak. Kita perlu memenuhi berbagai syarat untuk bisa melaporkan pihak yang mangkir membayar utang.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian utang melalui perdata sulit dilakukan masyarakat kita yang hidup di akar rumput. Ada banyak ilmu hukum yang sulit dipahami untuk urusan utang saja. Belum urusan biaya administrasi dan operasional yang tak kecil. Sialnya, ketika hukum perdata ditempuh, nama kita akan dikenang sebagai orang yang jahat dan itu memunculkan persoalan baru di masyarakat.
Saya tahu manusia itu homo economicus, makhluk yang memerlukan utang untuk memenuhi kebutuhannya. Dan kebutuhannya beragam dan meningkat namun kemampuan untuk memenuhinya terbatas. Ngutang adalah solusinya. Saya juga tahu, bahwa ngutang dan kredit adalah salah satu kebijakan sistem ekonomi kapital agar proses produksi dan konsumsi tetap berjalan.
Masalahnya yang sampai saat ini belum selesai adalah bagaimana penyelesaian utang-piutang di akar rumput yang jitu? Kerentanan masalah utang-piutang bisa saja menimbulkan perpecahan kolektif di akar rumput dan ini perlu diperhatikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Jika tidak, masyarakat akan kehilangan empati sosial terhadap sesama. Berujung pada bodo amat terhadap kerumitan hidup orang lain. Dan ini berbahaya untuk kelangsungan hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong. Bahkan negara ini bisa terpecah belah hanya karena banyaknya utang di akar rumput yang tidak selesai.
Gini lho, ini keresahan yang sampai saat ini tak pernah usai. Kalau di level atas ada solusi perdata, tapi soal utang yang di akar rumput ini riil alias nyata tapi tidak ada solusinya. Kita rakyat jelata yang hidup banyak derita, kita perlu kedamaian dalam menyelesaikan masalah. Bukan menghadapi masalah dengan masalah baru.
Saya kira perlu dibentuk sistem atau cara agar ada solusi bersama untuk mencegah problem-problem sosial yang akan terus bermunculan karena bab utang di level bawah. Sebab yang tampaknya sepele ini, justru bisa berbahaya sekali bagi kohesi sosial.
ADVERTISEMENT