Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut juga memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Mataram Islam dan Keraton Surakarta Hadiningrat. Saat ini, Solo berkembang pesat menjadi salah satu kota populer untuk wisata dan berburu kuliner.
Sejarah Kota Solo di Desa Sala di Tepi Sungai Bengawan Solo
Sejarah Kota Solo terbagi menjadi beberapa selang waktu. Apabila diurutkan, ceritanya bermula dari zaman munculnya Homo erectus, manusia purba yang fosilnya ditemukan di kawasan Sangiran, Kabupaten Sragen.
Meski begitu, secara garis besar sejarah Solo bermula dari sebuah desa kecil yang tenang sampai sekitar tahun 1744 silam. Dikutip dari website id.solocity.travel, hadirnya Solo tidak lepas dari Kota Surakarta, yang didirikan di desa di tepi Sungai Bengawan Solo bernama Desa Sala.
Hingga tahun 1744, Solo menjadi desa kecil yang begitu tenang. Jaraknya kuran lebih 10 km ke sisi timur Kartasura, pusat Kerajaan Mataram saat itu. Singkat kata, ketika Susuhan Mataram Pakubuwono II memimpin, meletus peristiwa Geger Pecinan, yang berujung pada kehancuran Keraton Kartasura.
ADVERTISEMENT
Geger Pecinan merupakan sebutan untuk pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa terhadap VOC di Batavia. Peristiwa pemberontakan tersebut lantas menjalar ke berbagai wilayah.
Semula, Pakubuwono II mendukung pemberontakan tersebut. Namun, lambat laun justru memihak VOC yang membuat masyarakat menjadikannya musuh. Selanjutnya, RM Said yang merupakan keponakan Pakubuwono II serta RM Garendi, cucu dari Amangkurat III bersama masyarakat Tionghoa-Jawa memberontak, hingga terjadi Geger Pecinan.
Pemberontakan tersebut membuat Pakubuwono II akhirnya meninggalkan Kartasura. Tak lama berselang, Pakubuwono II dengan bantuan Belanda menyerang balik Kartasura dan berhasil kembali merebut takhta.
Sayangnya, kondisi Keraton Kartasura saat itu telah hancur, dan tidak boleh mendirikan lagi kerajaan di tempat yang sama. Alhasil, Pakubuwono II memutuskan untuk membangun keraton baru pada tahun 1745 di Desa Sala yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo.
ADVERTISEMENT
Pakubuwono II membawa semua pusaka yang tersisa, bahkan termasuk pohon beringin berusia ratusan tahun untuk ditanam di alun-alun. Selama perjalanan 10 km tadi, beberapa abdi dalem menabuh gamelan.
Sesampainya di lokasi, Pakubuwono II kemudian memutuskan bahwa Desa Sala berubah nama menjadi Nagari Surakarta Hadiningrat. Namun, masyarakat lebih akrab dengan nama Sala (dalam aksara Jawa), atau Solo (dalam pengucapannya).
Demikian sejarah Kota Solo di Jawa Tengah yang begitu menarik untuk disimak. Meski populer dengan nama Solo, kota ini sebenarnya tetap bernama Surakarta secara administratifnya. (YD)