Konten dari Pengguna

PJJ, Jangan Buat Orang Tua “Sekolah Lagi”

Sevilla Nouval Evanda
Mahasiswi Jurnalistik yang suka menulis dan gemar bercerita hingga lelah sendiri.
7 Juli 2021 21:03 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sevilla Nouval Evanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembelajaran daring. (Foto: Pexels/Julia M Cameron)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembelajaran daring. (Foto: Pexels/Julia M Cameron)
ADVERTISEMENT
Saat mendengar kata Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), apa yang terlintas dalam benak? Kehidupan sekolah daring yang tenang, mandiri, dan baru. Tetap bisa belajar meski tidak pergi ke sekolah dan memanfaatkan teknologi sebaik mungkin agar tetap bisa menciptakan generasi milenial yang cerdas.
ADVERTISEMENT
Membuktikan bahwa para siswa yang menghadapi pandemi tidak kekurangan ilmu atau jadi pribadi yang berpikiran sempit merupakan tantangan tersendiri bagi banyak pihak: negara, sekolah, orang tua, bahkan siswa itu sendiri. Sebab itu, pembelajaran daring jadi solusi. Para guru tetap bisa mengajar dari rumah, orang tua pun bisa lebih dekat dengan keseharian belajar anaknya.
Namun, apakah pada nyatanya semua cerita tentang PJJ tampak begitu nyaman? Agaknya, ada berbagai persoalan yang perlu dilewati. Pembelajaran di rumah terasa tidak selalu disiplin. Presensi tidak teratur, tugas tidak dikerjakan, atau … ujian yang tidak jujur. Setidaknya, itulah yang kerap kutemui lewat cerita teman ataupun kulihat sendiri di sekitar.
Terlebih, semua hal itu berdampak pada nilai akademis. Hasil evaluasi pembelajaran daring oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menunjukkan bahwa penurunan nilai akademis selama pembelajaran daring benar adanya. Di sekitarku, banyak terlihat teman-teman siswa yang tidak fokus pada pelajaran karena berbagai kendala. Pada akhirnya, orang tua pun tidak punya pilihan selain turun tangan.
ADVERTISEMENT
“Aku pernah dapat nilai jelek waktu nugas. Habis itu, Ayahku enggak ngasih aku ngerjain tugas lagi, tuh,” cerita Rani, seorang siswi SMP di lingkunganku. Tidak kusangka, ada orang tua yang rela mengerjakan seluruh tugas sang anak karena nilai yang tak memuaskan.
Perhatian orang tua terhadap proses belajar anak selama pandemi memang diperlukan. Sayangnya, masih ada orang tua yang terlalu berlebihan dalam membantu. Saat tiba masa ujian, siswa pun kelimpungan. “Biasanya ‘kan, ibu yang ngerjain (tugas),” tukas Dila yang kini duduk di kelas enam SD. Saat ujian, ia kebingungan karena tidak biasa mengerjakan soal dari rumah.
Akibatnya, siswa yang terlalu dimanjakan pun jadi sulit menerima kebiasaan belajar mandiri. “Ya … belajar buat apa, Kak? ‘Kan dikerjain ibu semua!” tambah Dila saat ditanya soal cara belajarnya. Menurutku, kebiasaan ini bisa berdampak buruk bagi masa depan siswa. Salah satunya, mereka bisa lulus tanpa kompetensi yang seharusnya.
ADVERTISEMENT
Sudah sepatutnya orang tua turut membantu kegiatan belajar siswa di rumah. Namun, hal itu harus dilakukan tanpa kurang ataupun lebih. Tidak membantu sama sekali akan membuat potensi siswa jadi tak berkembang. Di sisi lain, membantu terlalu banyak pun akan membuat mereka jadi tidak terbiasa belajar sendiri.
Sebaiknya, orang tua membantu siswa memahami materi di rumah. Saat ada tugas sekolah, biasakan mereka agar bisa mengerjakan tugasnya sendiri. Saat ada kesalahan, barulah orang tua membantu untuk memperbaikinya. Sehingga, siswa pun menjadi mandiri dan tak bingung ketika dihadapkan dengan masa ujian.
Melihat banyak teman-teman yang masih kurang mampu melaksanakan pembelajaran daring sewajarnya, rasanya masih banyak hal yang perlu diluruskan. PJJ perlu menciptakan lingkungan belajar mandiri yang kondusif dan efektif bagi siswa, bukan menyalahgunakan kewenangan orang tua dan membuat mereka seolah “kembali bersekolah”.
ADVERTISEMENT