Sahabat, Haruskah Serumit Ini?

Sevilla Nouval Evanda
Mahasiswi Jurnalistik yang suka menulis dan gemar bercerita hingga lelah sendiri.
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 13:16 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sevilla Nouval Evanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Persahabatan, mendekatkan orang-orang yang tak selalu sama di berbagai aspek. (Foto: Freepik/Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Persahabatan, mendekatkan orang-orang yang tak selalu sama di berbagai aspek. (Foto: Freepik/Freepik)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seseorang tak mungkin hidup sendiri dalam hidupnya. Di satu masa, manusia paling “dingin” pun pasti memerlukan seorang teman yang bisa mengerti dirinya. Masalah memang berulang kali muncul, menguji seberapa kuat tali persahabatan yang telah terbentuk.
ADVERTISEMENT
Hubungan dengan sahabat bisa renggang karena berbagai hal: pertengkaran, perubahan atau perbedaan minat, kurangnya interaksi, atau bahkan hanya karena waktu yang menimbulkan rasa bosan. Hal yang umum terjadi ini memang sulit dihindari. Namun, sahabat yang baik selalu mampu mengomunikasikan masalah agar bisa diselesaikan.
Sementara itu, sahabat yang kurang baik tak akan bisa mengerti dan akan terus mempermasalahkan pertengkaran. Padahal, pertengkaran itu bisa diselesaikan dengan komunikasi yang tepat. Hal ini juga yang disebut penting oleh Head of Medical & Research Social Connect, Putu Rarasati. Menurutnya, sahabat yang tepat akan mengerti kenyamanan kita. “Sampaikan ketidaknyamanan kita. Kalau dia benar sahabat yang tepat, dia harusnya mengerti dan mau menyesuaikan perilakunya sesuai nyamannya kita,” tutur wanita yang biasa dipanggil Raras itu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada kalanya pertengkaran tak dapat diperbaiki dan justru berujung pada perpisahan. Padahal, tak semua orang mengamininya sebagai akhir dari konflik persahabatan. Terkadang, kita hanya ingin dimengerti atau bahkan lebih mengerti keinginan sahabat.
Selain perpisahan, ada pula risiko lain jika kita tidak mengupayakan jalinan persahabatan yang sehat. Risiko ini berupa sikap-sikap tak menyenangkan yang bisa saja datang dari sahabat atau diri kita sendiri. Lingkungan persahabatan yang toxic, munculnya keposesifan berlebih, hingga diperlakukan dengan silent treatment atau ghosting.
Meski mirip, silent treatment dan ghosting merupakan dua hal yang berbeda. Menurut Komunitas Kesehatan Mental, Social Connect, Ghosting diartikan sebagai sikap menghilang tanpa kabar sama sekali untuk memutuskan hubungan karena sudah tak lagi tertarik dengan sahabat. Sementara itu, silent treatment terjadi saat sahabat mengabaikan kita hingga kita merasa bersalah. Hal ini umumnya dilakukan untuk menghindari konflik besar atau “memberi hukuman”, bukan untuk meninggalkan secara mutlak.
ADVERTISEMENT
Tak heran jika kedua hal tersebut seringkali terjadi dalam lingkup persahabatan, bahkan aku pun kerap mengalaminya sendiri. Jenis hubungan yang satu ini memang cukup dekat dan kompleks, mendekatkan orang-orang yang belum tentu memiliki kesamaan dalam segala hal. Sebab itu, perbedaan pendapat bisa terjadi dan menimbulkan perilaku tersebut.
Silent treatment maupun ghosting tentu tak berefek baik bagi sahabat yang menjadi “korban”. Menurut Raras, sikap ini dapat membuat kita bertanya-tanya tentang kesalahan diri secara berlebihan, hingga pada akhirnya merasa bersalah tanpa sebab yang jelas. Apalagi, jika ghosting dilakukan dalam waktu yang lama, kita akan sangat bingung karena tidak diberi kabar sama sekali.
Di tengah kebingungan yang melanda karena konflik dengan sahabat inilah, kepercayaan diri bisa menurun. Akibat terlalu merasa bersalah terhadap sahabat, kita jadi tak yakin bahwa telah menjalani persahabatan yang sehat dan memperlakukan mereka dengan baik. Hal ini wajar untuk dialami. Namun, bisa menjadi tak wajar jika terlalu berlebihan dalam memikirkannya.
ADVERTISEMENT
Perlu disadari bahwa silent treatment dan ghosting merupakan perilaku yang memberikan efek buruk dan harus dihindari dalam ikatan persahabatan. Saat terlanjur mengalami salah satu atau keduanya, aku pun merasa bingung, bersalah, dan terus kepikiran bahkan hingga waktu berlalu. Namun, tak seharusnya kita memikirkannya berlarut-larut.
Seperti yang disarankan Raras, aku mencoba bercerita tentang kondisiku pada orang yang bisa dipercaya. Selain itu, aku juga mencari dukungan sosial. Bukan untuk mendukungku dan manyudutkan sahabatku sendiri, melainkan agar aku terus merasa nyaman dan bisa mencari solusi tentang “perang dingin” dengan sahabat.
“Bisa juga coba tanya langsung ke temannya yang toxic mengenai kejelasan sikapnya. Apa yang membuat dia (melakukan) silent treatment dan lainnya? Supaya enggak mengganjal di hati,” begitulah saran Raras. Sayangnya, bertahun pun, saran itu tak pernah kulakukan. Seolah, ada luka kecil yang membuatku takut dan tak ingin lagi mengonfirmasi kemarahannya terhadapku.
ADVERTISEMENT