Alergi Perubahan Itu Bentuk Arogansi

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
30 Juli 2023 20:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perubahan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perubahan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Segala sesuatu di alam semesta ini mengalami pergerakan (harokah) dan karenanya pasti mengalami perubahan (taghyiir). Yang konstan (tidak berubah) secara abadi hanya Dia yang mengendalikan pergerakan dan perubahan itu: Pencipta alam semesta (Rabb al-alamin).
ADVERTISEMENT
Realita ini menjadi bagian dari karakter alami semua yang tercipta (makhluk). Bahkan pada semua yang terikat oleh ruang dan waktu mengalami perubahan itu: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang, ada tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi mereka yang berakal” (Al-Imran: 190).
Perubahan yang merupakan bagian dari sunnatullah (hukum/aturan Allah) dalam penciptaan-Nya ini menjadikan semua makhluk harus sadar sekaligus antisipatif pada pergerakan dan perubahan itu. Lalu berusaha dengan penuh kesadaran untuk bergerak mengiringi dan mengawal setiap langkah dan arah perubahan yang terjadi dan yang akan terus terjadi.
Kegagalan mengantisipasi atau sikap pembangkangan kepada pergerakan perubahan hidup menjadikan makhluk (baca manusia) hanya akan menjadi korban (victims) dari perubahan yang pasti terjadi. Dan perubahan yang tidak diantisipasi (atau tidak disadari) justeru berpotensi hadir dengan wajah yang menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Bangsa-bangsa yang terlanjur berada pada zona nyamannya (comfort zone) sering kali terbuai dan lupa untuk mengantisipasi dan menyambut perubahan itu. Pada akhirnya bangsa-bangsa itu terpaksa (atau dipaksa) oleh perubahan untuk berubah. Perubahan yang dipaksakan itu pada lazimnya akan hadir dengan wajah yang menyeramkan.
Ilustrasi perubahan. Foto: Pixabay
Contoh terdekat dari itu adalah situasi Timur Tengah. Terlepas dari perlakuan buruk bangsa lain (baca Amerika dan sekutunya) yang memporak porandakan negara-negara itu, dari Irak, suriah, Libya dan negara-negara lainnya. Namun, kehancuran itu juga disebabkan oleh kegagalan mereka mengantisipasi pergerakan dan perubahan dunia.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dunia mengalami perubahan konstan (terus-menerus), di mana tidak ada satu bangsa mana pun yang terkecualikan dari karakter alam ini. Dan karenanya semua bangsa di dunia harus mengantisipasi dan siap melakukan perubahan, yang mungkin saja terasa pahit dalam prosesnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi dalam konteks dunia yang didominasi oleh kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan media. Perubahan itu terasa semakin cepat dan berdampak pada segala lini kehidupan manusia. Perubahan itu kerap begitu cepat dan sangat dahsyat berdampak pada karakter manusia, baik secara individu maupun kolektif.
Manusia yang tidak sadar perubahan pada umumnya terperangkap dalam beberapa possibilitas. Kemungkinan terperangkap oleh zona nyaman (comfort zone) yang terbingkai oleh kepentingan tertentu. Boleh juga karena mindset usang yang silau dengan romantisme ke masa lalu. Atau sebaliknya merasa paling hebat dan sempurna pada diri dan karyanya. Yang sesungguhnya tanpa disadari merupakan atraksi keangkuhan yang berbahaya.
Perubahan merupakan ikhtiar untuk membawa perbaikan dan penyempurnaan. Perubahan tidak harus dipahami sebagai “pemberhentian” sesuatu yang telah ada dan baik. Tidak harus dipahami sebagai memangkrakkan sesuatu yang telah jalan. Perubahan hanya akan memastikan agar yang ada itu memang baik dan benar. Jika kurang sempurna disempurnakan.
Ilustrasi perubahan. Foto: Pixabay
Yang paling berbahaya adalah ketika alergi perubahan itu disebabkan oleh halusinasi-halusinasi, seolah dirinya tidak lagi berada pada level kemanusiaan yang pasti ada salah dan kekurangan. Sehingga melihat dirinya dan semua yang dikerjakannya semourna tanpa kekurangan.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling konyol dan berbahaya lagi ketika halusinasi (perasaan sempurna) ini menimpa mereka yang otoritas ada dalam genggamannya. Dia akan memakai kekuasaannya untuk memastikan dirinya dan apa yang dilakukannya tidak diganggu.
Fir’aun misalnya merasa paling hebat, seolah sempurna bagaikan tuhan. Bahkan mengaku tuhan. Akibatnya dia memerintahkan menyembelih semua anak laki-laki dari kalangan Bani Israil.
Di abad 21 ini keberlanjutan itu tidak lagi dalam bentuk personalitas. Karena konstitusi tidak memungkinkan, juga karena dunianya berbeda. Tapi upaya mematikan upaya perubahan akan disembelih di tengah jalan. Bisa melalui perundang-undangan dan ragam aturan yang dibuat.
Boleh juga dengan upaya memastikan jangan sampai ada upaya perubahan yang menggantikannya. Terjadilah prilaku tidak fair kekuasaan dalam menyikapi proses demokrasi.
Ilustrasi perubahan. Foto: Pixabay
Akibatnya kita melihat adanya berbagai upaya untuk menyembelih (mematikan) peluang mereka yang dianggap akan hadir dengan perubahan. Seringkali secara terbuka dan tanpa malu-malu.
ADVERTISEMENT
Masanya kita sadar jika perubahan itu harus hadir untuk untuk membenarkan yang keliru, memperbaiki dan menyempurnakan yang belum sempurna. Perubahan tentunya sekaligus hadir mendobrak zona nyaman yang seringkali justeru tidak memberikan kenyamanan kepada orang banyak.
Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh banyak bangsa-bangsa dunia dalam sejarahnya karena lambang bahkan gagal mengantisipasi perubahan. Harusnya menjadi pelajaran dan pendorong untuk kita merangkul gerakan perubahan itu.
Dan ingat, alergi perubahan merupakan bentuk arogansi, bahkan perlawanan terhadap alam semesta. Sepakat?
Jamaica field, 30 Juli 2023