Kemenangan Biden: Optimis Iya, Euforia Tidak!

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
24 Januari 2021 6:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden AS Joe Biden berbicara tentang rencana pemerintahannya untuk memerangi pandemi penyakit virus korona (COVID-19). Foto: REUTERS / Jonathan Ernst
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Joe Biden berbicara tentang rencana pemerintahannya untuk memerangi pandemi penyakit virus korona (COVID-19). Foto: REUTERS / Jonathan Ernst
ADVERTISEMENT
Dalam menilai sesuatu, manusia pastinya bersifat relatif. Karena selain memang keterbatasan, juga karena penilaian itu banyak ditentukan oleh situasi dan realita yang sedang menggeluti jalan pikirannya (mindset). Maka wajar jika pada akhirnya penilaian itu akan berbeda antara satu orang dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kemenakan Joe Biden melawan Donald Trump pada pilpres Amerika lalu ditanggapi ragam oleh banyak orang. Sebagian optimis bahkan euforia dengan kemenangan Biden. Sebagian lainnya pesimis dan khawatir dengan kemenangan itu.
Apa pun itu, pastinya kami masyarakat Muslim Amerika dan mayoritas bangsa Amerika lega dengan kemenangan Biden. Kemenangan ini juga berarti berakhirnya pemerintahan Donald Trump selama 4 tahun dengan segala beban dan permasalahannya.
Dari masalah rasisme, diskriminasi kepada segmen masyarakat minoritas, Muslim Ban, politik isolasi dengan berbagai kebijakan unilateral, termasuk keluar dari WHO (World Health Organization), ketidakseriusan dan inkapabilitas dalam menangani Covid yang menyebabkan hingga pagi ini 409,000 lebih warga meninggal, hingga pengakuan Jerusalem sebagai Ibukota Israel sekaligus pemindahan Kedubes Amerika ke Jerusalem.
ADVERTISEMENT
Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadikan komunitas Muslim merasa lega dengan berakhirnya kepresidenan Donald Trump di Amerika. Tentu bagi Umat Islam, hal yang paling berat adalah anti Islam Donald Trump secara pribadi dan akhirnya membentuk lingkungan kebencian kepada Islam. Ada beban psikologis yang berat dalam empat tahun terakhir.
Biden antara harapan dan kekhawatiran
Kini Biden telah resmi jadi Presiden Amerika dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika. Kamala sendiri kembali mencetak sejarah sebagai wanita non white, berketurunan Jamaica-India, yang menduduki jabatan Wakil Presiden pertama di Amerika.
Kemenangan Biden bagi masyarakat Amerika, atau tepatnya bagi mayoritas warga Amerika, termasuk Komunitas Muslim, memberikan optimisme tersendiri. Ada harapan bahwa Biden akan membawa perbaikan terhadap berbagai damages (kerusakan-kerusakan) yang telah dilakukan oleh Donald Trump selama menjabat sebagai Presiden. Termasuk imej Amerika di dunia internasional yang sangat rusak akibat karakter Donald Trump yang cukup memalukan.
ADVERTISEMENT
Mungkin yang paling memalukan adalah kenyataan bahwa Donald Trump memang kekanak-kenakan dalam menyikapi proses demokrasi. Kekalahan yang cukup jelas dan signifikan, baik secara electoral (berdasarkan jumlah district) maupun secara popular votes (jumlah suara) tidak menjadikannya mau mengakui kekalahan itu. Bahkan pada akhirnya karena teori konspirasi Trump bahwa pilpres itu tidak jujur, maka pada tanggal 6 Januari terjadi pendudukan Capitol Hills pendukung Donald Trump. Sebuah peristiwa yang tidak saja merendahkan Amerika di mata dunia. Tapi sesungguhnya merupakan pelecehan yang nyata kepada demokrasi itu sendiri.
Kemenangan Biden memiliki harapan bahwa Amerika akan kembali rasional, baik dalam kebijakan domestik maupun kebijakan global (foreign policy). Berbagai kebijakan yang sejalan dengan karakter Donald Trump dinilai banyak yang tidak rasional dan ugal-ugalan.
ADVERTISEMENT
Secara domestic (kebijakan dalam negeri) misalnya Donald Trump mengeluarkan Executive Order yang dikenal dengan Muslim Ban atau pelarangan orang-orang Islam dari beberapa negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Peraturan ini jelas oleh sebagian dianggap semena-semena karena tidak mempertimbangkan asas keadilan untuk semua (justice for all).
Biden pada hari pertama menjadi Presiden langsung menanda tangani Executive Order yang salah satunya berisikan penghapusan aturan pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika (Muslim Ban). Keputusan ini sangat melegakan warga Muslim karena tidak saja memang terasa bagi mereka yang dari negara-negara yang disebutkan dalam aturan. Tapi suasana yang diakibatkan oleh aturan itu sangat merugikan Komunitas Muslim. Karena terasa kebencian dan diskriminasi sistem itu nyata.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Donald Trump juga salah satunya membatalkan DACA (Deferred Action for Childhood Arrivals) atau status khusus bagi anak-anak di bawah umur yang masuk ke Amerika secara ilegal. Pada masa Obama anak-anak yang berstatus ilegal masuk Amerika di saat di bawah umur mendapat status kemudahan, termasuk Izin kerja (work permit). Oleh Trump status tersebut berusaha dibatalkan.
Mungkin hal yang paling terasa adalah penanganan Covid yang sejak awal terasa inkapabel dan tidak profesional. Bahkan ada kecenderungan setengah hati akibat teori konspirasi yang merasa bahwa Covid ini hanya asumsi dan bukan realita. Dan karenanya Trump entah memang tidak punya rencana atau memang tidak mau menangani masalah Covid ini secara serius.
ADVERTISEMENT
Akibatnya Amerika menjadi negara yang paling terbanyak korban Covid bahkan dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Tentu sangat kontras dengan asumsi yang terbangun bahwa Amerika adalah negara super power dunia.
Biden sejak awal telah menjadikan penyelesaian Covid sebagai prioritas utama pemerintahannya. Bahkan secara khusus Sebelum pelantikannya, presiden terpilih telah membentuk tim khusus penanganan covid. Termasuk upaya vaksinasi sebagai bagian dari solusi.
Harapan itu tentu besar. Dan Biden nampaknya berusaha untuk memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat luas. Termasuk pembentukan kabinet yang berwajah Amerika. Artinya kabinet yang merangkul seluruh elemen masyarakat Amerika.
Pada tataran inilah kemudian terjadi dilema. Maju kena, mundur kena. Karena eksklusivitas itulah yang kemudian menjadikan Biden harus mengakomodir semua keinginan warganya.
ADVERTISEMENT
Memang banyak keinginan warga yang terakomodir. Walau nampak sekali dalam pembentukan tim pemerintahan ini terasa “Kamala Power” atau pengaruh Kamala Harris dalam pembentukannya. Dari sekian anggota tim itu ada sekitar 20-an keturunan India mewakili elemen warga India Amerika yang sangat kecil.
Yang paling disoroti khususnya oleh sebagian Komunitas Muslim adalah pemilihan warga “gay dan transgender”pertama dalam tim pemerintahan Biden. Tapi sekali lagi, itulah konsekuensi dari pemerintahan yang terbuka atau eksklusif.
Dari semua harapan di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu, kebijakan luar negeri (Foreign Policy) Biden juga menjadi sorotan Umat, khususnya yang ada di negara-negara mayoritas Muslim. Bagaimana Biden akan menangani isu Palestina dan Jerusalem khususnya? Akankah Biden membalik keputusan Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel secara sepihak?
ADVERTISEMENT
Bagaimana pula dengan isu-isu keumatan lainnya, termasuk Isu Uighur, Rohingya, Kashmir, Yaman, Suriah dan lain-lain?
Jawaban yang pasti adalah tidak ada salahnya optimis. Karena memang harusnya demikian. Tapi kemenangan Biden tidak perlu terlalu disambut dengan euforia berlebihan. Amerika tetap Amerika yang punya karakter dan kepentingan sendiri. Belum lagi tentunya kita harus sadar bahwa pada semua bangsa seringkali di balik layar itu ada “hidden power” (kekuatan tersembunyi) yang mengontrol kebijakan.
Maka pada akhirnya Umat Islam harus sadar bahwa perubahan nasib Umat ini tidak pernah dan memang tidak harus ditentukan oleh orang lain. Perubahan hanya akan terjadi ketika Umat ini sadar akan urgensi melakukan perubahan itu.
Dan perubahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri!
ADVERTISEMENT
Shamsi Ali*
New York, 23 Januari 2021
* Imam di NYC & Presiden Nusantara Foundation