Ramadan sebagai Bulan Transformasi (2)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
12 Maret 2024 7:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Transformasi hati dan jiwa atau tepatnya tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik pada tataran personal (fardi), keluarga dan Komunitas (umat). Tanpa hati dan jiwa yang bersih ke semua sisi kehidupan menjadi buruk dan amburadul.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, itulah makna dari titah baginda: “pada tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik akan baik semua anggota tubuhnya. Tapi jika buruk maka akan buruk semua anggota tubuhnya” (hadits).
Tiga: Urgensi menjadikan bulan Ramadan sebagai bulan transformasi akhlak. Bulan di mana setiap orang yang melakukan puasa, tidak saja untuk tujuan ritual dengan perhitungan pahala. Tapi sekaligus bulan di mana orang yang berpuasa itu melakukan “pelatihan” akhlak yang mulia.
Memang secara legal (hukum fiqh) puasa seolah sekadar menahan makan, minum dan hubungan suami istri. Tapi hakikatnya puasa adalah latihan terutama menahan diri dari segala perilaku yang tidak sesuai etika. Etika itu esensinya ada pada hakikat. Karenanya fiqh tanpa akhlak adalah hambar. Sebagaimana hukum tanpa etika juga hilang nilai (value).
ADVERTISEMENT
Dengan menahan diri dari kesenangan dunia di siang hari seseorang harusnya mampu mengingatkan diri bahwa di atas dari eksistensi fisikal (material) ini ada nilai yang lebih tinggi. Hal ini akan mengingatkan pentingnya menjaga nilai itu. Kejujuran, ketawadhuan, dan semua perilaku kebaikan (kindness) itu bagian dari nilai yang terangkum dalam tatanan akhlak manusia. Sebaliknya keculasan, kecurangan, arogansi, ketamakan dan kekikiran semuanya adalah nilai buruk yang melanggar tatanan perilaku mulia (akhlak karimah) itu.
Sesungguhnya akhlak dalam tatanan ajaran agama (Islam) menjadi intisarinya (essence). Beragama tanpa akhlak bagaikan pohon yang tak berbuah (kasyajar bilaa tsamar). Akhlaklah yang menjadi cerminan dari nilai-nilai keimanan dan ubudiyah. Dan karenanya iman tanpa akhlak dipertanyakan. Sebagaimana ibadah-ibadah ritual tanpa akhlak menjadi hampa.
ADVERTISEMENT
Hadits-hadits Rasulullah SAW banyak mengingatkan pentingnya nilai ibadah-ibadah teraplikasikan dalam bentuk perilaku yang baik (akhlak karimah). Puasa misalnya terancam hampa ketika seseorang menahan makan dan minum tapi tidak menjaga perkataan dan perbuatannya. Puasa yang seperti ini hanya akan menghasilkan lapar dan dahaga semata (hadits).
Sedemikian pentingnya akhlak karimah itu sehingga Rasulullah seolah menyimpulkan misi kerasulannya (dakwahnya) dengan “akhlak karimah”. Sebagaimana beliau tegaskan: “sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (hadits).
Beliau bahkan menggariskan bahwa faktor terbesar seseorang itu masuk surga karena akhlak yang baik (husnul khuluq). Sebaliknya seseorang yang buruk akhlak, walau ibadah ritualnya banyak, akan bangkrut dan akhirnya masuk neraka (hadits al-muflis).
Rasulullah SAW sendiri dengan segala ketinggian Iman dan ibadah-ibadahnya justru secara khusus terpuji dalam Al Quran bukan dengan semua itu. Justru Allah memujinya karena kemuliaan akhlak beliau: “sesungguhnya Engkau memiliki akhlak yang tinggi (khuluqin ‘adzim)”.
ADVERTISEMENT
Akhlak karimah atau karakter mulia ini menjadi titik sentra (pusat) ketauladan baginda Rasulullah yang wajib ditauladani: “sungguh bagi kalian pada Rasulullah ada uswah hasanah (ketauldanan yang baik)”.
Sayangnya umat Islam seringkali membatasi diri dalam menauladani Rasulullah pada aspek-aspek ubudiyah semata. Salat, puasa, haji dan ragam ritual menjadi perhatian besar. Namun ketauladanan pada karakter dan perilaku sosial Rasulullah terabaikan. Di masjid-masjid Salat jemaah menjadi ramai. Tapi di samping-samping Masjid betapa banyak Saudara-Saudara yang kelaparan tanpa ada uluran tangan. Hal yang sejatinya terancam sebagai “kedustaan dalam beragam” (Al-Ma’un).
Di bulan Ramadan umat mampu menahan diri dari makan dan minum. Tapi lidah, mata, telinga dan pikiran melanggar semua norma dan etika yang digariskan Islam. Umat Islam mampu menahan diri tidak makan dan minum. Tapi jiwa dan pikiran masih dikuasai oleh kerakusan duniawi. Termasuk kerakusan kepada kekuasaan melalui berbagai pengangkangan peraturan dan etika.
ADVERTISEMENT
Semoga di bulan Ramadan ini kita mampu melakukan pembenahan akhlak dan karakter ke arah yang lebih baik. Amin!