Konten dari Pengguna

Aruna & Lidahnya: Surat Cinta Edwin terhadap Kuliner Nusantara

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
29 September 2018 7:39 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Laksmi Pamuntjak penulis novel 'Aruna dan Lidahnya' (Foto:  Alexander Vito Edward Kukuh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Laksmi Pamuntjak penulis novel 'Aruna dan Lidahnya' (Foto: Alexander Vito Edward Kukuh/kumparan)
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Jadi, begini, 'Aruna & Lidahnya' adalah film kedua karya Edwin setelah ia me-mainstream-kan dirinya, keluar dari bayang-bayang predikat sutradara film arthouse yang beken dengan sejumlah judul seperti 'Trip to the Wound' (2007), 'Babi Buta yang Ingin Terbang' (2008), dan 'Kebun Binatang' (2012).
ADVERTISEMENT
Lewat 'Posesif', film pertamanya yang ditayangkan di bioskop komersil tanah air, yang rilis setahun lalu, Edwin terbukti cukup diterima pasar dan juga berhasil menjaga reputasinya dengan ganjaran sebuah Piala Citra kategori Sutradara Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2017. Cara ia menggarap film sejak 'A Very Slow Breakfast' (2002) hingga kini nampak konsisten menunjukkan kematangannya baik secara teknis pun inteligen.
Maka, film drama/roadtrip/romance/culinary yang dibintangi Dian Sastrowardoyo ('Ada Apa dengan Cinta?', 'Kartini') dengan Nicholas Saputra ('Ada Apa dengan Cinta?', 'Kebun Binatang'), Oka Antara ('Sang Penari', 'The Raid 2') dan Hannah Al Rashid ('Buffalo Boys', 'Critical Eleven') ini tampil berwibawa, punya kelas, menjadikannya tontonan film yang pantas disaksikan para penonton dewasa, sebuah demografi penonton yang kurang diperhatikan di negeri ini manakala film-film bertema cinta lebih sering hadir lewat sudut pandang para remaja dan dijual untuk mereka yang masih pada bau kencur itu.
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu Dian dan Nicholas sempat reunian lewat 'Ada Apa dengan Cinta? 2' garapan Riri Riza, sebuah kisah lanjutan 'Ada Apa dengan Cinta? (2001) 15 tahun kemudian. Karakter yang mereka mainkan tentu saja dewasa dengan usia 30-an.
Namun sayang, pembuat filmnya seolah tak pernah mencapai usia matang sehingga mereka gagal menyampaikan drama percintaan meyakinkan yang dialami sepasang manusia dewasa cerdas yang seiring waktu bertambah pula pengalaman hidup mereka.
Lewat arahan Riri dengan bekal skenario yang tak begitu matang, Rangga dan Cinta dalam usia 30-an tak ubahnya arketipe dari karakter-karakter ABG pecicilan yang kerapkali kita temukan di sejumlah film nasional yang menyasar penonton-penonton yang masih pada bau kencur.
ADVERTISEMENT
Nah, Edwin menghadirkan 'Aruna & Lidahnya' khususon penonton dewasa, dan bagi dedek-dedek gemes yang ngotot ikutan nonton, setidaknya bolah lah film ini dijadikan pembekalan gambaran sedikit banyak serunya kehidupan para orang dewasa yang sudah selesai dengan urusan rayuan-rayuan gombal dan segala omong kosong yang sempat membuatmu, pada suatu masa, berujar pada diri sendiri, "Eaa... eaaaa..."
Aruna membuka film ini dengan "meruntuhkan dinding ke-4" (itu lho semacam yang dilakukan karakter Wade Wilson dalam 'Deadpool'), memandang ke arah kita, penonton, lantas berbicara tentang apa arti makanan bagi dirinya, sambil kita diperlihatkan adegan ia tengah memasak sop buntut. Lantas ia membawa kita berkunjung ke kantornya, memperkenalkan kita dengan bosnya (diperankan Desta), dan sekelumit tentang pekerjaannya, yakni seorang ahli wabah.
Pemain film Aruna dan Lidahnya melakukan konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/8). (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain film Aruna dan Lidahnya melakukan konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/8). (Foto: Munady Widjaja)
Sepulang ngantor ia mendatangi restoran di mana Bono (Nicholas Saputra), sahabatnya, bekerja sebagai koki yang nampak begitu passionate terhadap dunia kuliner.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Aruna ditugasi bosnya untuk mengunjungi beberapa kota mulai dari Surabaya hingga Pontianak untuk melakukan investigasi wabah flu burung yang diduga menyerang manusia.
Bono minta ikut nebeng mengunjungi kota-kota yang akan didatangi Aruna demi sebuah tujuan mencari inspirasi menu baru bagi restorannya lewat jajan kulineran, dan Aruna sendiri seorang pecinta kuliner sejati, maka pergilah mereka berenang sambil minum air.
Di tengah jalan, ketika sedang bersantap rawon di sebuah rumah makan bersama Bono, Aruna didatangi Farish (Oka Antara), mantan rekan kerjanya yang kini diberi tugas yang sama oleh bosnya di perusahaan barunya untuk menangani wabah flu burung juga. Tak seperti Aruna, Farish menganggap kuliner ya kuliner, sebatas makanan yang fungsinya mengenyangkan perut tok, tak ada filosofi-filosofi-an atau makna-makna njelimet lain.
ADVERTISEMENT
Aruna sempat menaruh hati kepada Farish namun tak sempat mengungkapkannya, tetapi Farish sendiri memiliki rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat dari Aruna. Akankah mereka pada akhirnya bersatu?
Mudah ditebak. Ya. Tetapi, guliran kisah yang naskahnya ditulis Titien Wattimena ('Labuan Hati', 'Salawaku') berdasarkan novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak ini menawarkan sesuatu yang jarang hadir dalam film-film nasional dengan klasifikasi penonton 17 tahun ke atas, yakni kedewasaan yang merasuk dalam dialog-dialog membumi yang mengalir lancar, dan karakter-karakter yang diberi tampilan wajar dengan permasalahan masing-masing selayaknya yang kita jumpai di kehidupan sehari-hari.
Terakhir kali saya menjumpai itu lewat 'Love for Sale' karya Andibachtiar Yusuf yang rilis pada bulan Maret lalu. Edwin membawa realisme yang sama lewat 'Aruna & Lidahnya' ini, ia tahu bagaimana menampilkan interaksi manusia-manusia yang masing-masing bereaksi terhadap dinamika kehidupan persahabatan dan percintaan -- ada irama dan ritme alamiah dari film ini yang dapat membuat kita terpikat. Begitu saja.
Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra di kumparan, Jumat (3/8). (Foto: Nadia K. Putri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra di kumparan, Jumat (3/8). (Foto: Nadia K. Putri/kumparan)
Bila karakter yang dimainkan Dian dikisahkan tidak menjalin hubungan romansa dengan karakter yang dimainkan Nicholas, lantas Nicholas kebagian apa/siapa dong di film ini? Ada Nad (Hannah Al Rashid), seorang editor buku kuliner kondang, yang seperti Farish, sekonyong-konyong muncul, katanya sih nyusul mereka demi kulineran juga seperti Bono, padahal ia juga menyimpan rahasianya sendiri.
ADVERTISEMENT
Keempat aktor film ini tampil luar biasa dengan chemistry yang seolah effortless, hadir sewajarnya lewat gestur dan emosi yang tak pernah terlihat berlebihan, pun kostum dan make up secara cermat ikut mendukung, meyakinkan kita bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah hidup sekian lama, individu-individu kompleks, dan mereka seperti teman-teman kita di kehidupan nyata. Maka, kita pun ikut terseret dan peduli akan permasalahan yang mereka hadapi.
Sepanjang film kita disodori shot-shot close up sejumlah makanan nusantara mulai dari soto lamongan, bakmi kepiting, rawon, sampai ke nasi goreng gerobak. Kita tak sampai diberitahu cara memasak makanan-makanan itu, memangnya ini program acara memasak! Cari tahu sendiri lah kalau mau mencari resepnya, toh kita kalau pergi ke warung makan kan tidak diberitahu juga cara memasaknya oleh si pemilik warung, ya kita tinggal makan saja.
ADVERTISEMENT
Nah, kehadiran kuliner dalam film ini seorganik itu, seperti pada kenyataan sehari-hari bilamana kita kulineran, apa iya kita pernah bertanya kepada pemilik warung, "Apa arti bakmi kepiting ini bagi Bapak? Kepiting ini melambangkan apa?"
Ada satu adegan yang menampilkan seorang bapak tua suspect flu burung yang tengah diwawancara oleh Aruna, lantas si bapak bercerita betapa kangennya ia dengan masakan istrinya hingga ia hapal tahap demi tahap masakan itu tersaji lengkap dengan urutan bumbu-bumbunya. Aruna hanya bisa nelen ludahnya sendiri membayangkan nikmatnya masakan tersebut, lantas bertanya, "Enak gak?"
Walaupun berkisah soal kehidupan para foodie, kita tak sampai dijejali istilah-istilah snob tentang dunia kuliner. Manakala mereka berdialog di meja makan, yang mereka bicarakan sesederhana persoalan enak apa tidak.
ADVERTISEMENT
Justru kedalaman dialog hadir saat mereka tak sedang makan. Nah, untuk urusan hubungan antar tokoh, bagaimana mereka berinteraksi, dialog-dialog seperti apa yang hadir manakala mereka berbicara tentang perasaan mereka, nilai-nilai yang mereka anut, soal kehidupan pekerjaan hingga soal perselingkuhan, di sini yang saya maksud tentang kematangan pembuat film ini yang terpampang nyata.
Dan, ada saja humor-humor yang terlontar begitu saja tanpa terkesan dibuat-buat membuat saya makin jatuh hati, terutama kepada tokoh utama kita, Aruna, yang begitu menggemaskan. Ah, saya sampai nelen ludah! Sepertinya enak ya... makanan-makanannya.