'Bumi Manusia': Film Terbaik Produksi Falcon Pictures Sejauh Ini

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2019 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Pemeran film 'Bumi Manusia'. Foto: Dok. Falcon Pictures
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” —kutipan tersebut dilontarkan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia pada halaman 313, terbitan Lentera Dipantara tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Saat kali pertama membaca sebaris kalimat itu, saya tengah kuliah di jurusan Sastra Inggris semester tiga atau empat. Dari George Orwell; Eliot; Oscar Wilde; William Golding; Roald Dahl; Shakespeare; Leo Tolstoy; J. R. R. Tolkien; hingga George R. R. Martin; seingat saya tak ada satu pun dari mereka, para sastrawan besar dunia Barat itu yang berkata selantang Pram. Ia berani menyinggung tentang hakikat dan martabat sastra yang sedemikian tinggi untuk dijunjung kepada sastrawan serta para penikmatnya lewat karya tulisnya.
Saya menduga-duga, barangkali lantaran sebaris kalimat itu, maka peredaran buku karangan Pramoedya pun dilarang. Padahal, sudah sempat setahun beredar tepatnya pada 1980. Bahkan telah dicetak sebanyak 10 kali dalam periode satu tahun peredarannya. Sebab, penguasa Indonesia pada tahun 1981 tersinggung karena merasa diri hanya sebagai 'hewan' yang pandai.
ADVERTISEMENT
Konon sejak tahun 90-an, kemudian ramai di awal 2000-an, desas-desus rencana adaptasi Bumi Manusia ke film layar lebar santer terdengar. Banyak nama sutradara beken yang sempat diasosiasikan dengan proyek pembuatan film tersebut. Hingga pada akhirnya jatuh ke tangan Hanung Bramantyo yang selalu ketiban untung mendapatkan proyek-proyek film berskala besar. Rumah produksi paling tajir di tanah air, Falcon Pictures, kemudian membiayai pembuatan film yang dibintangi Iqbaal Ramadhan, Sha Ine Febriyanti, dan Mawar De Jongh ini.
Alkisah, sama seperti novelnya, Bumi Manusia bercerita tentang Minke (dibaca: Mingke), pribumi keturunan ningrat yang bersekolah di HBS bersama Londo totok (orang Belanda asli) dan Indo (peranakan campur Londo dan pribumi), yang kemudian jatuh cinta kepada Annelies--anak dari Nyai Ontosoroh--seorang gundik dari pengusaha Londo pemilik perkebunan besar.
ADVERTISEMENT
Setting cerita terjadi pada masa kolonialisme Belanda, di akhir 1800-an, masa periode Kebangkitan Nasional, masa yang hampir-hampir tak pernah dijamah oleh sastra Indonesia.
Sama seperti novelnya, film dibuka ketika Minke (Iqbaal Ramadhan, Dilan 1990, Ada Cinta di SMA) diajak Suurhof (Jerome Kurnia, Dilan 1991), teman sekelasnya, pergi berkunjung memenuhi undangan temannya, Robert Mellema, (Giorgino Abraham, Pengejar Angin, Aku Cinta Kamu) di Wonokromo. Di sana, Minke bertemu dengan Annelies Mellema (Mawar De Jongh, London Love Story 2, Tumbal: The Ritual), adik Robert Mellema, yang oleh Pramoedya digambarkan dalam novelnya memiliki kecantikan mengalahkan—bukan seperti, tetapi mengalahkan—para dewi dan bidadari dari kayangan.
Pemain Film "Bumi Manusia" dan Cucu Pramoedya Ananta Toer saat berkunjung ke kantor kumparan, Selasa (16/7). Foto: Faisal Rahman/kumparan.
Jika Anda masih ingat dalam novel, setibanya di rumah, Suurhof dan Robert Mellema ngobrolin soal pertandingan sepak bola. Sedangkan Minke yang tidak menyukai bola pun memisahkan diri. Ia lantas berkenalan dan bertukar sapa dengan Annelies.
ADVERTISEMENT
Agar lebih dramatis dalam penekanan sebuah pesan tentang kedudukan pribadi di mata Londo dan Indo, dibuatlah cerita bahwa Robert Mellema yang setengah pribumi dan setengah Londo itu tak suka dengan Minke yang seorang Jawa totok. Ia lantas memintanya untuk menyingkir, tidak semeja dengannya bersama Suurhof, yang juga seorang Indo sama sepertinya.
Hal itu murni karangan Salman Aristo (Laskar Pelangi, Satu Hari Nanti) sebagai penulis naskah, yang didasarkan pada narasi yang diutarakan Minke dalam benaknya sendiri dalam bab awal novel. Dalam novel, Pramoedya menggunakan sudut pandang orang pertama, yakni Minke. Dalam bab-bab awal, Minke selalu mengutarakan ihwal kedudukan pribumi yang rendah di mata para orang Belanda.
Akan wagu dan norak rasanya bila dalam film kita disuguhi Minke yang kerap berdialog dalam hatinya sendiri. Kita mendengar suara batinnya lewat voice over, berujar seperti, “Pemuda itu tidak menyambut aku—pemuda Pribumi—lirikannya tajam menusuk. Aku mulai gelisah. Kalau dia menolak Suurhof akan tertawa, dan dia akan tunggu aku merangkak ke jalan raya dalam halauan Darsam.” Atau sebaris kalimat seperti ini, “Sekali lagi kutatap wajahnya. Hampir-hampir aku tak berani menentang matanya. Tidakkah dia jijik padaku, sudah tanpa nama keluarga dan Pribumi pula? Aku hanya bisa menjawab dengan senyum-senyum manis tentu saja.”
ADVERTISEMENT
Nah, narasi-narasi tersebut dituangkanlah ke dalam adegan dan mewujud dalam dialog yang diutarakan oleh Robert Mellema yang mewakili pandangan Londo/Indo terhadap Pribumi. Ini adalah cara agar kita mendapatkan pemahaman dan nuansa bahwa sedemikian itulah posisi pribumi yang derajatnya dipandang tak lebih tinggi dengan orang kulit hitam di mata orang kulit putih di masa itu.
Dalam adegan saat Minke dan Suurhof ketika dalam perjalanan menaiki delman (kereta kuda) menuju rumah Annelies, kita juga diperlihatkan sebuah adegan yang bahkan tak tertulis dalam novel. Itu adalah momen ketika seorang wanita Pribumi, seorang Nyai dari kalangan rakyat jelata, diperlakukan hina oleh seorang polisi atau tentara Londo.
Adegan tersebut efektif, dan saya apresiasi betul, lantaran berfungsi memberikan pemahaman dan menjadi kontras ketika pada adegan selanjutnya kita dipertemukan dengan Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti, Nay, I Am Hope), wanita yang tak dinikahi secara sah di mata hukum oleh orang Londo. Ketika kita bertemu dengan Nyai Ontosoroh, tanpa perlu dijelaskan betapa berbeda dirinya dengan Nyai yang kita jumpai di jalan raya sebelumnya itu.
ADVERTISEMENT
Lewat adegan tersebut, kita akan mafhum bahwa seorang pribumi ketika diberikan privilese yang sama dengan orang kulit putih, mendapatkan pendidikan, dan pengetahuan. Maka harga dirinya menjadi sama tinggi dengan orang Londo kala itu.
Pemain Film "Bumi Manusia" saat berkunjung ke kantor kumparan, Selasa (16/7). Foto: Faisal Rahman/kumparan
Dan memang seperti itulah tugas seorang penulis skenario, cekatan ketika memindahkan esensi novel ke dalam film. Ada tiga hal yang disampaikan dalam novelnya yang tersebar dalam tiga bab berbeda. Namun dalam penyajiannya menjadi sebuah film, ketiga hal tersebut diramu dan disampaikan dalam satu kesempatan, dalam satu adegan misalnya. Tentu dengan pemikiran dan kreativitas yang matang hingga esensi atau pesan cerita tidak hilang walau telah dimodifikasi sedemikian rupa.
Begitulah baiknya naskah skenario film ini ditulis Salman. Ia tak sekadar memindahkan huruf demi huruf, kata demi kata yang ada dalam novel ke dalam film. Sebagian besar plot dan cerita ditulis ulang dengan cermat dan setia kepada buku, dengan penyesuaian di sana-sini yang cukup minor, alias tak kentara. Dan ini yang luar biasa, durasi tiga jam tak terasa selama itu, tak bikin bosan, bila Salman tak cakap meramu pace. Bila sutradara tak pandai mengarahkan dan bila para pemain tak tampil maksimal, tentu film ini tak akan menjadi sedemikian baik.
ADVERTISEMENT
Telah banyak film dengan setting zaman dahulu kala dibuat, seringnya tentang tokoh pahlawan nasional, namun tak banyak yang digarap dengan baik. Baik dalam hal production value, baik dalam hal kreativitas pembuatnya, Bumi Manusia satu di antara yang terbaik itu.
Menggarap period movie bukanlah hal baru bagi Hanung Bramantyo. Sang Pencerah, Soekarno: Indonesia Merdeka, Kartini, dan Sultan Agung adalah film-film dengan setting tempo dulu yang pernah dibesutnya. Setelah Kartini, Bumi Manusia menjadi karyanya yang betul-betul saya kagumi.
Saya pernah memberi pujian kepada Hanung pertama kalinya, ketika ia menyutradarai Kartini. Dalam pujian tersebut saya berkata bahwa Kartini adalah pijakan, langkah selanjutnya bagi Hanung untuk konsisten membuat film dengan nilai estetika dan craftsmanship, setidak-tidaknya mesti selevel dengan apa yang telah ia capai lewat film tersebut. Lewat Bumi Manusia, ia berhasil melampaui capaian terbaiknya tersebut.
ADVERTISEMENT
Mawar de Jongh tak pernah tampil sebaik ini sebelumnya. Iqbaal Ramadhan, walau masih ada sedikit kekurangan (logat Jawanya kadang tidak konsisten) tetapi setidaknya image Dilan luntur di film ini. Dan dalam banyak adegan dia tampil mengesankan, terutama di paruh akhir. Sebagai Minke, bagi saya, ia cukup berhasil menjiwainya.
Sha Ine Febriyanti... luar biasa! Kekaguman saya padanya tak pernah pupus, penampilannya kali ini membuat saya semakin jatuh hati padanya. Seolah karakter Nyai Ontosoroh memang diciptakan untuk ia perankan. Ayu Laksmi yang debut lewat Under the Tree (Garin Nugroho, 2008), lantas menggebrak skema perfilman Indonesia lewat perannya sebagai Mawarni dalam Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017).
Kali ini ia menjadi Ibu Minke, penampilannya semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu aktris terbaik yang kita miliki sekarang. Lantas ada Whani Darmawan (Kucumbu Tubuh Indahku, Mencari Hilal) sebagai Darsam yang tampil karismatik dan mencuri perhatian setiap kali ia muncul. Hampir seluruh cast sebetulnya tampil maksimal. Betul-betul ansambel yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Melihat track record Falcon Pictures yang suka memecah film rilisan mereka menjadi dua bagian, Bumi Manusia sedianya memiliki format yang cocok untuk dipecah ke dalam dua film. Sebab, ada dua konflik besar yang terjadi. Tetapi, film ini dipresentasikan secara utuh dalam satu film saja. Salut untuk itu.
Buat kamu yang malas baca buku tebal, belum pernah baca Bumi Manusia sebelumnya, walau saya sarankan untuk menyempatkan membacanya, bolehlah film ini dijadikan pijakan awal untuk mengenal Ibu Pertiwi dan manusianya di masa lampau lewat pandangan Pram. Bagi saya, pembuat film ini telah memfilmkan karya termasyhur Pramoedya Ananta Toer itu sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.
ADVERTISEMENT