'Cuties and the Fake': Komedi Ancur-ancuran, Disensor Habis-habisan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
11 Maret 2020 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Poster film berjudul asli 'Tootsies and the Fake', karena sensor di Indonesia film ini berganti judul menjadi 'Cuties and the Fake | GDH
Film asal Thailand yang disutradarai Kittiphak Thongauam ini secara resmi memiliki judul internasional ‘Tootsies and the Fake’, ‘Tootsies’ adalah bentuk jamak dari kata ‘Tootsy’ — sebuah slang atau bahasa gaul di Thailand yang digunakan untuk menyebut, kira-kira dalam bahasa Indonesianya, ‘gay ngondek’ atau ‘gay rempong’? Kira-kira begitulah.
ADVERTISEMENT
Nah, ketika tayang di bioskop Indonesia film ini kemudian berganti judul menjadi ‘Cuties and the Fake’, untuk alasan yang saya duga demi menghindari kontroversi.
Di negeri asalnya, sebelum difilmkan, cerita yang diangkat pernah diserialkan selama dua musim, berjudul ‘Diary of Tootsies’, dan ditonton tak kurang dari enam juta kali. Versi film merupakan lanjutan langsung dari akhir serial tersebut yang tentu saja, sama seperti Anda, saya sendiri juga belum pernah menyaksikannya. Tapi, itu tak masalah. Film ini berhasil mengenalkan para karakter utamanya dengan baik kepada kita sebagai penonton awam.
Stil adegan 'Tootsies and the Fake' | GDH
Tak banyak film komedi yang mampu menjaga ritme (beat by beat) agar stabil ngocol tiada henti dari awal hingga akhir, dan film ini menunjukkan itu. Gila-gilaan non stop; komedinya slapstick, murahan, receh, dari guyonan soal seks, fisik, sampai soal, maaf, tokai.
ADVERTISEMENT
Film dimulai sebuah sekuen mimpi yang memparodikan film ‘Pee Mak’, lantas kita diajak berkenalan dengan para tokoh utama kita, yakni gay-gay rempong itu, di antaranya Golf (Thongchai Thongkuntom) si gembrot penata rias yang sedang sakit hati lantaran pacarnya menjadi biksu, Kim (Ratthanant Janyajirawong), pramugara yang ketiban sial melulu, akibat ulah teman-temannya sendiri, dia sampai mesti kehilangan pekerjaannya. Gus (Paopetch Charoensook) sedang dilanda dilema antara mantan yang ngajak balikan dan kekasihnya yang setia namun agak ngebosenin, dan Natty (Pattarasaya Kruasuwansiri — susah bener ngeja nama-nama orang Thailand ini ya), satu-satunya cewek lesbi di geng mereka yang mencoba agar hamil demi menuruti keinginan ibunya.
Stil adegan 'Tootsies and the Fake' | GDH
Hidup mereka jungkir balik ketika Golf dan Kim secara tak sengaja mencelakai Cathry (Araya A. Hargate), seorang selebriti, yang mengakibatkannya cedera leher. Takut dituntut secara hukum dan dimintai biaya ganti rugi oleh sang manajer, mereka mesti mencari pengganti Cathry untuk syuting sebuah iklan. Pada akhirnya mereka menemukan Nam, seorang penjual nasi goreng kaki lima yang wajahnya mirip dengan Cathry. Tapi, jika Cathry orangnya lemah lembut dan santuy, Nam justru kebalikannya. Dari sini tentu mudah ditebak cerita bakal berjalan seperti apa bukan?
ADVERTISEMENT
Premis klasik ‘akankah mereka berhasil atau tidak’ — dalam hal ini mengubah Nam yang beringas agar bertransformasi menjadi pribadi yang anggun laiknya seorang diva, tak pernah usang untuk dikulik, terlebih dalam skenario film komedi, jika ditulis dengan jitu, seperti yang penulis film ini lakukan, bisa bikin kita gregetan tak enak duduk, kita takut aksi mereka terbongkar tapi juga puas setiap kali mereka ketiban sial. Hehe.
Masing-masing karakter mempunyai masalah sendiri-sendiri, asyiknya semua terajut dalam satu storyline besar yang ajeg. Mereka mesti berhadapan dengan masalah internal masing-masing tetapi juga mesti bahu-membahu menuntaskan sebuah misi bersama. Semua mendapatkan resolusi yang sepadan.
Stil adegan 'Tootsies and the Fake'
D Indonesia film ini mendapatkan rating D21 yang berarti bahwa film ini hanya boleh ditonton oleh mereka yang berusia 21 tahun ke atas, dan Lembaga Sensor Film (LSF) mengkebiri film ini dengan menghilangkan sejumlah adegan, termasuk juga meminta kepada importir film ini agar menerjemahkan kata ‘gay’ dalam bentuk teks terjemahan menjadi ‘alay’. Itu kan dua hal yang berbeda sama sekali.
ADVERTISEMENT
Penggolongan usia bertujuan untuk membantu calon penonton dalam menentukan film apa yang cocok bagi mereka. Di Indonesia, ada empat penggolongan usia penonton, yakni SU (semua umur), R13 (13 tahun ke atas), D17 (17 tahun ke atas), dan D21 (21 tahun atau lebih). Meski tidak sama persis, Kemala Atmojo (mantan Ketua Badan Perfilman Indonesia) sering menganalogikan penggolongan usia tersebut sebagai "aturan pakai" dalam produk obat-obatan. Menurutnya masyarakat juga perlu dididik agar meminum obat sesuai dengan aturan pakainya. Jangan sampai orang salah menggunakan aturan pakai, obatnya yang disalahkan, lalu memprotes, menolak, dan membuat petisi. Sikap semacam itu juga sangat menjengkelkan.
Di negara yang lebih beradab, jika sudah ada lembaga klasifikasi penonton, misalnya film ini yang dilabeli D21, ia tak perlu disensor lagi, dengan catatan bahwa orang dewasa (usia 21 tahun ke atas) tentu dapat memproses sendiri apa yang ditontonnya, dan ia bertanggung jawab secara mandiri atas pilihannya. Atau, jika film ini toh sudah disensor dengan segala pertimbangan penyensor hingga setelah adegan-adegannya dipotong sana-sini, mestinya ia lantas menjadi tontonan yang “aman” hingga remaja pun menjadi boleh untuk menontonnya.
ADVERTISEMENT
Aneh, memang, di zaman sekarang ini, masih ada sensor bagi warga negara yang ingin mendapatkan manfaat dari karya seni, padahal hak tersebut dilindungi konstitusi dan Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Film ini, walaupun ia komedi dan menampilkan dirinya sebagai tontonan hiburan yang ringan, tetapi memiliki pesan intrinsik yang kuat tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang orang-orang marjinal, tentang kemerdekaan berekspresi, dan tentang merayakan hidup dalam cinta. Namun, apa yang telah LSF lakukan terhadapnya, menghilangkan bagian-bagian film, justru mereduksi dan bahkan menghilangkan pesan-pesan baik yang dibawa film ini. LSF telah mengubah konteks-konteks tertentu film ini hingga konteks utuhnya yang hendak disampaikan menjadi hilang. Padahal itu melanggar Undang-undang Hak Cipta, lho.
Sensor adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Hak Cipta. Film sebagai karya seni dilindungi sepenuhnya oleh UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, perlindungan itu tidak semata masalah eksploitasi ekonomi, tapi juga hak moral, dengan masalah keutuhan karya juga berada di dalamnya. Yang lebih parah dari itu, sensor juga melanggar Undang-undang HAM. Hak mengembangkan diri dan memperoleh manfaat dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, serta seni merupakan bagian dari hak dasar manusia yang dijamin undang-undang. Pembatasan hak-hak dasar tersebut hanya boleh dilakukan oleh dan berdasarkan undang-undang juga.
ADVERTISEMENT
Zaman sudah berubah, sensor sudah tak relevan lagi. Buang-buang anggaran negara dan nyusahin pembuat film saja.