Dark Phoenix Lebih 'Bapuk' dari X-Men: The Last Stand

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
17 Juni 2019 17:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
Para anggota X-Men Foto: IMDb/Photo by Kerry Hayes - © 2003 Twentieth Century Fox. All Rights Reserved
19 tahun lalu, tepatnya di bulan Juli musim panas tahun 2000, 20th Century Fox merilis X-Men besutan Bryan Singer (The Usual Suspects, Superman Returns). Pada masa itu film superhero belum nge-hits seperti sekarang. Marvel Cinematic Universe (MCU) baru dimulai delapan tahun kemudian setelah X-Men, dengan dirilisnya Iron Man (Jon Favreau, 2008).
ADVERTISEMENT
X-Men dianggap sebagai salah satu film superhero terbaik (termasuk pelopor film superhero yang edgy), kisahnya berpijak pada realitas skenario "bagaimana jika mutant hidup berdampingan dengan manusia biasa di kehidupan sehari-hari”, diangkat dari dunia komik yang sudah tentu penuh dengan khayalan, namun reka percaya (make believe) filmnya sendiri dibuat semeyakinkan mungkin dengan memfiksi-ilmiahkannya.
Para superhero dan supervillain dalam X-Men disebut sebagai mutan, yakni sekelompok manusia yang mengalami modifikasi genetik baik disengaja maupun tidak, sehingga mereka memiliki kemampuan tertentu yang tak dimiliki manusia pada umumnya. Lantas para mutan ini kemudian dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sekaligus berbahaya bagi manusia lainnya.
Pemerintah Amerika bahkan ikut mengatur, atau bahkan membinasakan mereka. Politik menjadi bagian yang kuat dan menonjol dalam film. Sebab di dunia nyata, tentu bila ada sekelompok manusia yang memiliki kekuatan super, pemerintah bakal turut andil untuk mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Dan bagaimana bangunan dunia dihadirkan dalam X-Men terasa begitu realistis. Barangkali untuk itu pula mengapa kostum-kostum para mutan dalam film tidak dihadirkan seperti aslinya (komik) yang cerah penuh warna, digantikan dengan sekadar jaket warna gelap saja.
X2, sekuelnya yang rilis tiga tahun kemudian dan masih ditangani Bryan Singer, hingga sekarang masih dianggap sebagai salah satu film superhero terbaik yang pernah ada. Jika dalam X-Men ada dua kubu mutan yang berseteru, dalam X2 keduanya mesti gencatan senjata lantaran ada musuh yang sama yang menghendaki kedua kubu tersebut binasa. Di luar plot tersebut, muatan drama dan pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan makin kuat dan mengakar.
Nah, babak penutupnya, yakni X-Men: The Last Stand, rilis tahun 2006, disutradarai Bratt Ratner (After the Sunset, Rush Hour 2) tampil hancur-hancuran. Di dekade itu, memang lumrahnya film yang memiliki sekuel selalu ditutup dengan film ketiga (trilogi). Intinya, dalam The Last Stand, (spoiler alert!) Jean Gray (diperankan Famke Jannsen sejak film pertama), mutan dengan kemampuan telekinesis, yang dianggap sudah mati akibat sebuah kejadian dalam X2, tiba-tiba hidup kembali namun berubah menjadi jahat (Dark Phoenix).
Jessica Chastain di film 'X-Men: Dark Phoenix' Foto: YouTube.com/20th Century Fox
Dalam babak penutup yang skenarionya ditulis Simon Kinberg dan Zak Penn ini, terlalu banyak karakter mutan baru yang muncul, tetapi tanpa diberi pengenalan yang cukup, serta nihilnya kreativitas Bratt Ratner, menjadikan The Last Stand diingat sebagai film seri X-Men yang paling 'bapuk'.
ADVERTISEMENT
Tahun 2011, setelah beberapa film sampingan (spin-off) X-Men, X: First Class besutan Matthew Vaughn (Kick-Ass, Kingsman: The Secret Service) dirilis sebagai reboot (pengisahan ulang) sekaligus sekuel dari seri X-Men. Barangkali karena sudah terpengaruh MCU, aktor-aktor lawas seperti Patrick Stewart sebagai Professor X, dan Ian McKellen sebagai Magneto kemudian digantikan oleh James McAvoy dan Michael Fassbender, ditambah dua aktor muda lainnya yang sedang naik daun kala itu Jennifer Lawrence dan Nicholas Hoult. Kostum X-Men kini agak lebih berwarna dengan tambahan aksen warna kuning. Setting cerita 1960-an.
Mulai dari sini kisah X-Men digarap dengan gaya menyerupai MCU, lebih banyak action dan jedar-jeder, tetapi cerita yang ditawarkan tetap menarik. Pun dua sekuelnya, X-Men: Days of Future Past dan X-Men: Apocalypse (keduanya kembali disutradarai Bryan Singer) tampil solid dan semakin mengeksplorasi dunia X-Men lebih luas lagi. X-Men sebagai film berseri semakin memiliki identitas dan cirinya sendiri.
Jean Grey di film 'X-Men: The Last Stand' Foto: IMDb
Dark Phoenix ditulis sekaligus disutradarai Simon Kinberg (sang penulis skenario X-Men: The Last Stand yang bapuk itu) entah mengapa, film lanjutan seri X-Men yang sedianya semakin keren ini, dengan mengekor formula MCU, malah jadi film yang mengkhianati semangat awal X: First Class dan dua sekuelnya.
ADVERTISEMENT
X-Men pertama memberi definisi baru terhadap genre superhero, lalu di-reboot agar terlihat semakin segar dan semakin terlihat mirip MCU, nah Dark Phoenix justru malah me-reboot-nya kembali ke sebuah bentuk yang tidak jelas. Semua karakter dan kisah yang kita kenal lewat tiga film X-Men pasca First Class dimentahkan begitu saja. Dark Phoenix menghadirkan mereka seolah-olah tak pernah terhubung dengan tiga film sebelumnya.
Sekarang bahwa 20th Century Fox telah resmi diakuisisi Disney, rasanya ini bakal jadi film X-Men terakhir yang diproduksi 20th Century Fox. Ini babak penutup dari saga X-Men yang telah hadir selama dua dekade. Dan, sebagai film penutup, Dark Phoenix tidaklah mengesankan.
Masalah utama yang dimiliki Dark Phoenix adalah Simon Kinberg, sebagai otak film ini, ia cukup dungu dengan berharap kepada penonton untuk peduli terhadap beberapa karakter baru, terutama Jean Gray yang diperankan Sophie Turner yang baru sekali hadir lewat X-Men: Apocalypse. Masalahnya kita belum begitu mengenal karakternya dengan cukup baik. Dan, di film ini, karakternya menjadi fokus utama.
ADVERTISEMENT
Sejatinya Dark Phoenix bercerita tentang hal yang sama yang sempat diceritakan lewat X-Men: The Last Stand. Yang beda hanyalah, kali ini karakter-karakter mutan yang muncul lebih sedikit, dan juga dengan action yang lebih minimalis.
Saya cukup menyukai bagaimana film ini masih memberi fokus pada kisah cinta segitiga antara Raven (Jennifer Lawrence, Silver Linings Playbook, American Hustle) dengan Magneto dan Professor X. Sayang, fokusnya sebentar saja, dan kita dipaksa untuk kembali memperhatikan sepak terjang Jean — yang menurut saya, diperlakukan secara tidak jelas, apakah ia protagonis atau antagonis.
Sutradara film ingin kita peduli akan nasib yang menimpa Jean, sementara segala tindakannya kurang dilandasi motivasi atau alasan yang kuat. Misalnya, soal ketidakmampuannya dalam mengendalikan dirinya.
ADVERTISEMENT
“Tolonglah bagaimana caranya aku bisa berhenti melukai orang lain?” tanya Jean kepada Magneto yang ia anggap paling berpengalaman dalam hal merenggut nyawa orang. Tetapi, pengakuan bahwa Jean tak bisa mengontrol dirinya untuk tak membunuh orang lain kurang beralasan, lantaran baru satu dua orang saja yang nyawanya telah ia cabut.
Dan, Dark Phoenix membuat persepsi kita terhadap keseluruhan timeline (alur kejadian) semua film X-Men menjadi semakin njelimet! Film ini mengambil latar waktu 90-an, ada karakter penting yang mati di sini, tetapi dalam film X-Men yang lain yang mengambil latar waktu setelah 90, karakter penting tersebut masih hidup! Ini bukan sekadar plothole (lubang cerita), tetapi kedunguan tak terkira seorang Simon Kinberg.
Sejelek-jeleknya X-Men: The Last Stand, tetapi ia masih memiliki Wolverine (Hugh Jackman) yang mengamuk di penghujung film, kisah cinta yang tragis, dan babak penutup yang mendekati klimaks. Dark Phoenix tak mampu menjelaskan ketidakhadiran Wolverine, disinggung dalam dialog pun tidak. Dengan cerita yang buruk dan penyutradaraan amatiran, film ini tak tertolong.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya prestasi yang dapat diraih film ini adalah bagaimana ia dapat menggantikan posisi X-Men: The Last Stand terjungkal dari singgasana sebagai film X-Men terburuk. Mudah-mudahan Disney/Marvel Studios segera me-reboot kembali X-Men. Dan, mudah-mudahan Simon Kinberg menyadari bahwa ia tak memiliki bakat di bidang film, lantas memutuskan untuk alih profesi, jadi guru bahasa Inggris di sekolah di Indonesia misalnya.