Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dolittle: Duh, Begini Amat!
16 Januari 2020 17:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah lama rasanya saya tak mengalami pelecehan inteligensia ketika menonton sebuah film, dan tak sangka, pengalaman pahit itu saya dapatkan kembali kala menonton film ‘Dolittle’ garapan Stephen Gaghan (‘Gold’, ‘Syriana’) dan dibintangi Robert Downey Jr. (RDJ) ini.
ADVERTISEMENT
Film yang semula berjudul ‘The Voyage of Doctor Dolittle’ ini merupakan film adaptasi kesekian kali dari buku cerita anak-anak karangan Hugh Lofting yang berkisah ihwal seorang dokter bernama John Dolittle yang mampu berkomunikasi dengan segala jenis hewan.
Gagasan tersebut sejak semula, hingga kini dan selama-lamanya, akan selalu terdengar menggelikan. Buktinya film pertama yang mengadaptasi cerita Dolittle yang dirilis tahun 1967 flop di pasaran. ‘Dr. Dolittle’ yang diperankan Eddie Murphy di tahun 1998? Saya sudah lupa sama sekali, total raihan box office-nya sekitar 200 jutaan Dollar dengan biaya produksi sekitar 70 jutaan Dollar. Kini Universal Pictures setelah sebelumnya gagal total memasarkan ‘Cats’ —salah satu film terburuk di tahun 2019 dan barangkali dalam sepuluh tahun terakhir—kembali berulah dengan setengah berjudi memasang RDJ pasca 'Avengers Endgame', berharap mereka dapat menghasilkan franchise baru lewat film berbiaya 170 juta Dollar ini.
Dan, angka sebesar itu, senilai 2 triliun Rupiah lebih tak terlihat mewujud secara pantas dan meyakinkan dalam hampir segala aspek film ini. Saya akui desain produksinya memang terlihat mahal, tetapi rasa-rasanya sebagian besar biaya produksi dihabiskan untuk departemen visual effects, demi upaya menghidupkan karakter-karakter hewan agar terlihat nyata ala ‘The Jungle Book’, dan sebagian lagi dihabiskan untuk biaya reshoot (pengambilan gambar ulang).
ADVERTISEMENT
Beredar rumor sutradara Stephen Gaghan meninggalkan proyek film ini di tengah-tengah proses produksi berlangsung, lantaran ada ketidaksepahaman visi dengan para petinggi studio, lantas ia digantikan orang lain, entah oleh siapa. Biasanya, proyek film yang bernasib demikian selalu memiliki hasil akhir yang ambyar, contohnya lihat saja ‘Justice League’ yang semula digarap Zack Snyder lantas diobrak-abrik oleh Joss Whedon, hasil akhir film itu amburadul tak tertolong.
‘Dolittle’ terasa sekali seperti film hasil obok-obok banyak orang. Baik cerita maupun eksekusi peyutradaraan terlihat tak selalu sinkron.
Jadi begini. Alkisah lantaran ditinggal mati sang istri tercinta akibat kecelakaan di tengah laut, John Dolittle, seorang dokter sekaligus petualang, mengasingkan dirinya dari dunia dengan bersembunyi di rumahnya yang besar di sebuah hutan, hanya bertemankan beberapa ekor hewan yang bisa diajaknya berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
“Dia telah menolong kami.” Begitu salah seekor binatang di film ini bernarasi lewat voice over, “Lantas siapakah yang akan menolongnya?”
Masuklah satu karakter lagi bernama Tommy Stubbins (Harry Collett, ‘Dunkirk’), seorang bocah yang oleh Bapaknya sendiri disebut berperangai aneh karena dia tak suka, ehem, berburu. Suatu hari ia tak sengaja menembak seekor tupai. Alih-alih berusaha membunuhnya sesuai anjuran bapaknya demi segera mengakhiri penderitaan si tupai, ia malah berlari ke tengah hutan sambil membopong si tupai malang hingga tibalah ia di depan pintu gerbang kediaman Dolittle. Dan masuklah ia untuk meminta pertolongan.
Saat hendak menemui sang dokter, ia tak sengaja berjumpa dengan Lady Rose (Carmel Laniado, ‘A Christmas Carol’), cewek sebayanya dari golongan bangsawan, yang juga hendak menemui sang dokter untuk memintanya menyembuhkan Ratu Victoria yang tengah sakit keras. Seorang Lady datang sendirian ke tengah hutan rimba tanpa ditemui pengawal istana.
ADVERTISEMENT
Skip. Skip. Dokter Dolittle menolong si tupai dengan melakukan tindakan operasi dibantu gorila, bebek, beruang kutub, dan entah hewan apa lagi saya lupa. Tommy dan Lady menonton sambil senyum-senyum entah mengapa. Lady memohon agar Pak Dokter mau menolong Ibunda Ratu Inggris, tetapi Pak Dokter enggan (kurang ajar sekali menolak titah Baginda Ratu). Lantas Lady memberitahunya bila Sang Ratu tewas, kediamannya akan disita negara dan ia bersama kawan-kawan hewannya terancam kena gusuran.
Skip. Skip. Pak Dokter pun pada akhirnya dengan semangat bergelora, menaiki seekor burung unta pergi ke istana menemui Baginda Ratu. Skip. Skip. Baginda Ratu sekarat, entah sakit apa, tetapi yang jelas wajahnya tak nampak pucat, barangkali kena guna-guna. Pak Dokter berujar bahwa Sang Ratu hanya dapat diobati oleh buah ajaib yang hanya dapat ditemukan di sebuah pulau bernama Eden (surga), dan buah itu mesti diberikan kepada Baginda Ratu sebelum bulan sabit terbit. Skip. Skip. Tanpa menunggu surat perintah jalan terbit, Pak Dokter pun berlayar menaiki sebuah kapal besar, hanya dia sendiri dan kawan-kawan hewannya.
ADVERTISEMENT
Saya pikir dari sini cerita bakal jadi menarik ala film ‘Pirates of the Caribbean’ misalnya, ealah cerita berjalan datar-datar saja nyaris tanpa konflik dan rintangan berarti. Memang ada sesosok penjahat, yakni Dr. Blair Mudfly yang diperankan Michael Sheen (‘Doctor Who’, ‘Apostle’) yang entah atas dorongan apa, berusaha untuk menggagalkan misi Dolittle. Lantaran sama-sama berprofesi dokter, saya berasumsi barangkali semata-mata karena persaingan yang tidak sehat. Intinya Michael Sheen hanya jadi ondel-ondel di film ini, yang sama sekali, jangankan berbahaya, punya peran penting saja tidak.
Sederet karakter hewan diisi suara oleh para superstar Hollywood saat ini seperti Rami Malek, John Cena, Kumail Nanjiani, Tom Holland, Ralph Fiennes, Selena Gomez, Octavia Spencer, dan lain-lain termasuk Marion Cotillard yang mengisi suara seekor rubah dan kebagian sebaris dialog saja “Viva le resistance!” Dan dialog itu ada dalam film tanpa konteks apa-apa selain gimik saja bahwa sang aktris merupakan orang Prancis.
ADVERTISEMENT
Hewan-hewan di film ini heboh sendiri, seolah semua ingin direken (dihitung), “Hey gue John Cena lho... Hallo gue Tom Holland nih.. denger suara gue gak?” Dan begitulah bila penulis skrip gagap bercerita dan tak mampu menciptakan dialog-dialog, jangankan yang lucu, yang sekadar biasa dan terdengar normal saja, gagal total. Secara visual juga tampilan mereka tidak impresif amat bila dibandingkan dengan misalnya ‘The Jungle Book’ atau ‘Lion King’, malah ada karakter seekor capung betul-betul terlihat kartun seperti karakter dari 'Toy Story' yang nyasar masuk ke dunia film ini.
RDJ menjadi RDJ di film ini dengan pesona charming-nya yang maksimal. Jika bukan karena dia, rating satu bintang film ini terpaksa saya cabut hingga menjadikan film ini satu-satunya, sepanjang karier saya menulis ulasan film di Kumparan, yang selaiknya diberi rating 0 (nol). Menjadi charming saja tidaklah cukup, dan usahanya di film ini untuk melafalkan dialog dalam aksen keminggris, entahlah saya bukan seorang ahli bahasa khususnya ahli logat, namun yang pasti ada nuansa kepura-puraan yang kentara sekali dan terdengar jelas setiap kali ia berdialog. Lalu gesturnya di film ini? Jelas sekali ia seolah mawas diri bahwa ia seorang RDJ, seperti Johnny Depp yang juga selalu demikian dalam sebagian besar film yang dibintanginya.
ADVERTISEMENT
Ok, kembali ke cerita film. Disebutkan sebelumnya bahwa Baginda Ratu mesti ditolong sebelum bulan sabit terbit. Tetapi sepeninggal Pak Dokter Dolittle melanglang buana mencari buah ajaib, tak pernah disebutkan kapan bulan sabit itu muncul, berapa lama waktu yang dimiliki Pak Dokter untuk menyelesaikan misinya. Bila toh sudah tahu tak kan dijelaskan persoalan itu, mbok ya kenapa itu disinggung-singgung sebelumnya, Malih!
Jika Anda penasaran kedunguan apa lagi yang dapat Anda jumpai di film ini, atau sekadar ingin menemani anak atau keponakan berumur di bawah empat tahun—sebab anak di atas empat tahun saya pastikan sudah cukup cerdas untuk tak terpedaya—monggo ditonton saja di bioskop kesayangan. Saya sih masih terguncang hebat, dan sedang berusaha menata alam pikir saya agar tetap waras.
ADVERTISEMENT