news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

'Dua Garis Biru': Bukan Sekadar Edukasi Seks

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
15 Juli 2019 19:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Jumpa pers film 'Dua Garis Biru', di kawasan Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6). Foto: Giovanni/kumparan.
Tentang Menjadi Ibu
Menjadi ibu bukan sekadar perkara melahirkan dan memberi makan anak, tetapi juga perkara komitmen untuk mencurahkan cinta dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan agar proses tumbuh-kembang anak (secara fisik, emosi, dan psikis) berjalan baik.
ADVERTISEMENT
Sejumlah psikolog meyakini bahwa seseorang yang kesulitan untuk percaya bahkan terhadap dirinya sendiri, cenderung di antaranya: tetapi tak terbatas, karena memiliki 'masalah' dengan ibunya sendiri. Terkadang hubungan ibu-anak tidak berjalan semestinya atau seidealnya.
Ibu adalah orang pertama yang hadir dalam pengalaman hidup anaknya; jika si ibu mempercayai anaknya, jika si ibu mencintai anaknya, maka si anak akan mencintai dan mempercayai ibunya. Melalui ibunya, si anak yang masih bayi mulai awas, mulai memperhatikan dunia di sekelilingnya. Ia mulai tumbuh.
Dan perlahan-lahan, jika tercipta hubungan yang indah antara si anak dengan ibunya, adanya respons timbal-balik, komunikasi dari hati ke hati di antara keduanya, maka si anak pun akan dapat mempercayai orang lain. Sebab dia tahu bahwa pengalaman pertamanya berinteraksi dengan dunia (melalui ibunya) demikian indah, dia meyakini pengalaman berikutnya akan sama indahnya, bahwa dunia ini adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuknya bermain.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermaksud agar terdengar seperti seorang psikolog, saya meyakini bahwa anak yang dibesarkan dengan cara-cara seperti itu, dalam lingkungan dan pengasuhan yang penuh cinta, niscaya akan tumbuh menjadi pribadi yang compassionate (penuh kasih), yang mampu mengekspresikan perasaannya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain tanpa kendala berarti.
Bima (diperankan Angga Yunanda), seorang siswa SMA yang baru berusia 17 tahun, menjadi arketipe bagi sosok anak yang dibesarkan oleh seorang ibu yang penuh kasih itu tadi, di film ini.
Tentang Cerita Film
Angga Yunanda dan Zara JKT 48. Foto: Giovanni/kumparan
Syahdan, Bima, anak bontot dari Bu Yuni (Cut Mini, Orang Kaya Baru, Posesif) dan Pak Rudy (Arswendy Bening Swara, Pengabdi Setan, Pintu Terlarang), berpacaran dengan Dara (Zara Jkt48, Keluarga Cemara, Dilan 1990), anak dari Bu Rika (Lulu Tobing, Negeri 5 Menara, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) dan Pak David (Dwi Sasono, Kartini, Jakarta Hati), teman sebangku Bima di kelas.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika saat sedang bermain bersama di kamar Dara, tanpa pengawasan orang tuanya di rumah, mereka melakukan hubungan seksual. Dan hal tersebut terjadi sekali itu saja. Dara bahkan terlihat menyesal dari gestur yang ia tunjukkan setelah kejadian.
Bima dan Dara Anak yang Baik
Hubungan seksual yang dilakukan sekali itu saja mengisyaratkan bahwa kedua tokoh utama kita adalah anak-anak yang baik (dalam standar moral umum), yang innocent. Memang mereka telah berbuat salah, tetapi segera setelah itu menyesalinya dengan sungguh-sungguh.
Padahal kegiatan seksual seperti meraba-raba tubuh pasangan, berciuman, dan bersenggama dapat menimbulkan rasa ketergantungan, terlebih bagi pemula seperti mereka, dan umumnya anak-anak pada usia mereka yang sudah 'kelewat batas' cenderung akan mengulangi kegiatan seksual tersebut sebagai kegiatan rekreasi yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, Bima dan Dara adalah anak yang baik. Sayang, nasib mereka yang tidak baik. Dara hamil, dengan konsekuensi besar yang mesti mereka tanggung bersama. Lantas bagaimana keduanya dapat mengatasi persoalan pelik tersebut, adalah konflik film berjudul Dua Garis Biru besutan Gina S. Noer, penulis naskah yang kini mencoba untuk pertama kalinya menyutradarai film.
Bukan Tentang Edukasi Seks
Bahkan sebelum penayangan perdananya pada Kamis, 11 Juli 2019, film ini sudah menuai banyak kecaman dari para netizen-yang-maha-benar-itu, yang mencap film ini sebagai sebuah gerakan yang dapat memprovokasi perilaku seks bebas bagi anak-anak remaja. Padahal film berdurasi 113 menit ini justru memiliki misi sebaliknya, yakni menunjukkan pengalaman seksual (pranikah) sebagai sesuatu hal yang traumatis dan mengerikan.
ADVERTISEMENT
Adegan Angga dan Dara bersenggama tidak diperlihatkan sama sekali, bahkan adegan ciuman pun tidak ada. Untuk menjadi sebuah film yang memiliki misi mengedukasi perihal seks, film ini jelas gagal, malah lebih jauh bisa lebih menyesatkan, bagi penonton yang cukup lugu, barangkali akan terpikir olehnya, “Oh, jika berdua-duaan di dalam kamar bersama lawan jenis, yang perempuan akan hamil,” misalnya.
Jangan salah, di zaman yang katanya sudah mendekati kiamat ini, di luar sana banyak orang yang meyakini bahwa jika laki-laki dan perempuan berenang dalam satu kolam renang yang sama, maka si perempuan bisa hamil karena sperma bisa menembus pori-pori kulit!
ADVERTISEMENT
Tetapi, jika sampai ada adegan seksual, baik eksplisit maupun tidak, kontroversi yang timbul terhadap film ini akan jauh lebih besar lagi, mengingat budaya untuk berdialog secara sehat di negara yang kita cintai ini nyaris tidak ada. Dalam hal ini kita masih terbelakang. Maka, argumentasi bahwa adegan seksual diperlukan agar maksud cerita tersampaikan, alih-alih bantahan melalui dialog yang diterima, barangkali bogem mentah bisa mendarat ke muka si pembuat film! Duh, amit-amit.
Mengedukasi seks jelas bukan misi utama Gina, baik sebagai penulis skenario maupun sutradara. Tidak ada dialog-dialog yang menyoal kegiatan seksual, tidak ada elaborasi lebih untuk membicarakan perihal seks setelah Bima menghamili Dara. Di hal ini film menjadi tidak realistis, padahal anak cowok seumuran Bima biasanya sedang asyik-asyiknya belajar masturbasi, semua orang seusianya melakukannya, beberapa orang malah keterusan hingga kakek-kakek.
ADVERTISEMENT
Seks adalah suatu fenomena alamiah yang wajar terjadi, tanpanya kehidupan di muka bumi niscaya tak ada. Seks (baik yang halal maupun yang haram) tidak disinggung atau dibicarakan dalam koridor di film ini. Tidak ada istilah penetrasi, petting, 'keluar di dalam', dan sejenisnya—yang justru bagian terpenting agar remaja yang masih pada bau matahari itu bisa lebih memahami soal seks. Terlebih soal bagaimana prosesnya—yang masih tabu dibicarakan, jangankan di sekolah, di rumah pun pasti dihindari.
Apa? Bicara soal teknik-teknik seks? Mau mengajari seks bebas ya? Mau menghancurkan generasi bangsa ya? Kira-kira komentar seperti itu yang bakal bermunculan jika misalnya Dua Garis Biru membicarakan seks seperti halnya dalam serial Sex Education yang bisa Anda tonton di Netflix itu.
ADVERTISEMENT
Tentang Menjadi Orang Tua
Dua Garis Biru seolah menganggap bahwa penontonnya (yang berusia 13 tahun ke atas) sudah memahami apa itu seks (sekali lagi, baik yang halal maupun yang haram). Lantas mencoba memberikan pemahaman bagaimana jika sepasang remaja melakukan hubungan seks sebelum menikah? Bagaimana jika si perempuan hamil? Apa yang mesti diperbuatnya, dan bagaimana lingkungan terdekatnya bakal bereaksi? Lebih kurang persoalan itu, tentang betapa besar tanggung jawab dan komitmen yang mesti dimiliki untuk menjadi orang tua.
Pada momen kehamilan Dara diketahui pihak sekolah, setelah disembunyikan sekian lama, kita disuguhi adegan an instant classic! dalam khasanah perfilman Indonesia; Bima dan Dara berada di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), lantas ayah Dara meluapkan kekesalannya kepada Bima dengan menarik kerah bajunya, menyeretnya ke tembok sambil memaki memarahinya, lalu ibunya Bima, tak terima anaknya diperlakukan demikian, dan menghardik ayahnya Dara. Kepala sekolah lantas datang untuk menengahi.
ADVERTISEMENT
Di luar UKS kita melihat ada sejumlah guru dan anak-anak bisik-bisik, kepala sekolah lantas memberi sinyal kepada bawahannya yang ikut bersamanya di ruangan itu untuk menutup gorden jendela dan pintu, suasana masih tegang. “Saya siap bertanggung jawab!” Celotah Bima dengan lugunya.
“Kamu mau tanggung jawab? Iya kan? Mulai hari ini!” Ibunya Dara memilih pergi meninggalkan anaknya di UKS. “Enggak bisa begini dong, Mah!” Suara Bapaknya Dara yang tengah menyusul isterinya itu terdengar pelan dari dalam UKS. Lantas Ibu Bima menampar keras pipi anaknya—air muka Ibu Bima menyiratkan rasa kecewa, bukan marah yang mendalam. Bima hanya tertegun, tertunduk.
Seluruh rangkaian kejadian tadi difilmkan lewat sebuah long take yang berdurasi kira-kira lima menit. Saya pun tertegun, akan betapa luar biasanya adegan tersebut dipresentasikan dengan perhitungan yang cermat, dengan penuh ketelitian, dan dukungan permainan ensambel dari aktor-aktris yang amat kuat, bahkan pemeran sang kepala sekolah, Ucok R. Siregar—seorang aktor debutan, mampu mengimbangi penampilan terbaik dari Cut Mini, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara, juga Angga Yunanda, dan Zara. Adegan tersebut jelas akan selalu dikenang sebagai salah satu adegan terbaik sepanjang masa yang pernah tampil dalam film Indonesia.
ADVERTISEMENT
Betapa realistisnya adegan tersebut. Dan selepas itu, semangat realisme itu menjadi landasan yang terus dipijak Gina hingga ke penghujung film.
Tes pack atau tes kehamilan negatif. Foto: Shutterstcok
Tentang Pengasuhan Anak
Bima berasal dari keluarga sederhana. Ibunya tukang gado-gado, bapaknya pengangguran-yang-rajin-ke-mesjid-layaknya-bapak-bapak-lain-pada-umumnya-yang-ingat-akan-ajal-yang-sudah-dekat, tinggal di dalam gang sempit di tengah himpitan gedung pencakar langit di ibu kota, entah punya rumah sendiri entah ngontrak.
Sedangkan Dara berasal dari keluarga kelas menengah. Ibunya masih berjiwa muda dan fashionable, selalu sibuk entah urusan apa, bapaknya entah kerja apa yang jelas terlihat sudah mapan. Rumah mereka terlihat cukup mahal, entah beli cash entah KPR, yang pasti harganya miliaran.
Kedua orang tua Bima dan Dara sama-sama kecewa, sama-sama marah, sama-sama kesal terhadap anak mereka. Tetapi, sikap yang ditunjukkan keduanya berlainan.
ADVERTISEMENT
Ibunya Bima, walau hancur hatinya, belum lagi rasa malu dari hujatan tetangga sekampung yang mesti ditanggungnya, tetapi ia tak menyerah terhadap Bima. Ia masih mempercayainya, bahwa Bima masihlah anaknya yang baik. Sebentuk dukungan moral dan compassion seperti itu diperlukan Bima, juga Bima-Bima lain di luar sana yang senasib sepenanggungan.
Ibunya Dara bersikap lain lagi. Ia sempat mengabaikan Dara dan menyatakan secara langsung kepadanya bahwa ia telah gagal menjadi orang tuanya. Dara sering cekcok dengan ibu dan bapaknya, ada semacam ketegangan di antara mereka yang konstan. Jelas ada sesuatu yang salah di sana. Mengutip apa yang diucapkan Ibunya Dara. “Jadi orang tua itu bukan cuma hamil sembilan bulan sepuluh hari, itu pekerjaan seumur hidup.”
ADVERTISEMENT
Ironis, petuah sebijak itu yang keluar dari mulutnya tak dapat ia amalkan untuk dirinya sendiri. Tentu saja petuah itu ia lontarkan untuk 'mendidik' anaknya yang hamil di luar nikah. Untuk memberikan pemahaman bahwa tidak mudah menjadi seorang ibu. Dan, begitulah manusia memang lebih suka dan mudah memberi nasihat, padahal dirinya sendiri perlu dinasihati.
Film ini bukan hanya soal Bima dan Dara, tetapi juga soal orang tua mereka. Soal kelindan cerita mereka yang pada akhirnya memberikan sebuah gagasan ideal tentang menjadi orang tua.
Tentang yang Gagal dan yang (Mesti) Berhasil
ADVERTISEMENT
Lantaran dianggap tak akan bisa mengurusi anak yang sebentar lagi akan dilahirkan Dara, Ibunya Dara mengusulkan agar kelak setelah lahir, sang jabang bayi diberikan kepada sanak familinya yang lebih dewasa untuk diadopsi. Sebuah gagasan yang cukup masuk akal.
Film Lion garapan Garth Davis yang rilis di tahun 2016, dimainkan Dev Patel dan Nicole Kidman, berkisah ihwal sepasang suami istri yang mengadopsi seorang anak, mencurahinya kasih sayang, pembuat filmnya melempar dialog kepada penonton bahwa menjadi orang tua yang baik tidak melulu mesti melahirkan terlebih dahulu. Bahwa menjadi orang tua adalah pengabdian atas nama cinta, bukan pekerjaan seperti yang dikatakan ibunya Dara.
Tetapi, Gina tidak mengambil jalan itu. Dikisahkan dalam film bahwa Dara hendak kuliah di Korea, ia masih punya banyak mimpi yang ingin diwujudkannya. Kedua orang tuanya sepakat agar Dara melanjutkan studinya. Maka, pada saat Adam, begitu bayi yang dikandung Dara diberi nama oleh Bima, lahir, diserahkan kepada Bima untuk diurusnya, dan Dara pergi bersama orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Gina barangkali percaya bahwa akan lebih baik bagi si anak untuk dibesarkan oleh orang tuanya sendiri, terlebih bila orang tuanya itu orang yang baik, yang penuh kasih sayang. Terlalu naif andaikan film ini memberi happy ending; Bima dan Dara pada akhirnya bahagia bersama membesarkan Adam, padahal belum tentu rasa cinta di antara mereka akan tetap terjaga, mengingat usia mereka yang masih belia, dan begitu banyak pengalaman hidup yang belum mereka lalui.
Tentang Ending Dua Garis Biru
Menurut saya ending film ini sempurna. Di tangan Bima dan neneknya yang suportif, Adam akan baik-baik saja, dan berkelimpahan cinta. Setidak-setidaknya itu modal utama dalam hal membesarkan anak.
Sudah lama saya tidak mengulas film sepanjang ini, walau terkesan ngalor-ngidul, dan saya sadari betul itu, setidaknya saya ingin membuat Anda berpikir bahwa film ini sedemikian penting. Dua Garis Biru adalah film terbaik sepanjang tahun ini, sejauh ini. Jarang ada film yang sedemikian baik ditulis, sedemikian cermat penyutradaraannya, dan didukung jajaran pemain yang tampil maksimal. Film ini memiliki itu semua. Untuk itu, di penutup ulasan ini, saya ingin memuji Gina S. Noer. Sebelumnya ada Joko Anwar, dan Mouly Surya.
ADVERTISEMENT