Film 1917: Lebih Mentingin Gaya Ketimbang Substansi?

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
23 Januari 2020 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Poster film '1917' Foto: Dok. IMDb
‘1917’ bercerita tentang dua orang prajurit perang dunia pertama, Schofield (George McKay, ‘Captain Fantastic’, ‘Pride’) dan Blake (Dean-Charles Chapman, ‘Game of Thrones’, ‘The King’) yang diberi tugas maha penting nan genting, yakni berangkat ke wilayah musuh untuk menemui komandan dari 1.600 rekan-rekan seangkatan dan memberitahunya bahwa mereka tengah menuju sebuah perangkap. Schofield dan Blake tak punya waktu banyak untuk menjalankan misi tersebut.
ADVERTISEMENT
Film dimulai dari sebuah frame wide shot yang menangkap lanskap ilalang hijau kekuningan, lantas kamera tracking out (mundur), menampilkan medium shot Blake dan Schofield tengah santai tiduran di bawah pohon. Enter (masuk ke dalam frame) seorang prajurit lain yang wajahnya tak nampak karena kepalanya berada di luar frame bagian atas. Fokus kita tertuju pada Blake dan Schofield yang sedang diberitahu oleh si prajurit tersebut untuk menemui komandan mereka.
Blake dan Schofield beranjak, kamera kembali melakukan track out, menampilkan dua tokoh protagonis yang berjalan ke arah kita (penonton). Semakin lama kamera lantas semakin jauh melakukan track out hingga komposisi shot berubah-ubah dari medium shot ke wide shot yang menangkap background di sekeliling dua protagonis kita manakala mereka bergerak.
ADVERTISEMENT
Dari awal hingga akhir, film ini menyajikan rangkaian sekuel yang diciptakan seolah melalui satu kali pengambilan gambar tanpa pernah putus, seolah-olah kamera tak ada hentinya melakukan tracking, dan seolah-olah film ini tak perlu diedit! — kan sekali pengambilan gambar, ceritanya.
Tetapi, justru kepiawaian editor dan sinematografer Roger Deakins ('No Country for Old Men', 'Blade Runner 2049') perlu sinkron satu sama lain hingga ilusi ‘satu kali pengambilan gambar’ tersebut betul-betul terwujud dengan sempurna.
Dengan cerita setipis itu dan jualan film yang lebih ke soal teknis, apakah film arahan Sam Mendes ini (‘Skyfall’, ‘Revolutionary Road’) jatuh ke dalam kategori film yang lebih mentingin gaya ketimbang substansi (style over substance)?
Sejak dahulu kala dari awal industri film bermula, dan di sekolah-sekolah film mana pun di dunia, ada ajaran (dogma) yang menitahkan bahwa setiap pengarahan sutradara, dan itu termasuk namun tak terbatas pada, misalnya pilihannya ketika membangun adegan (di dalamnya ada blocking, pergerakan kamera, angle, pilihan jenis shot; close up, medium, full shot, dll) mesti memiliki motivasi. Kenapa misalnya seorang karakter, ditangkap kamera bagian wajahnya saja saat ia berdialog, dan motivasi sutradara bisa jadi agar penonton fokus pada emosi atau reaksi yang ditampilkan si karakter tersebut. Begitu pula dengan hal-hal lain, misalnya kenapa ada shot extreme close up seperti dari sebuah tangan seorang karakter (wajahnya tentu tak kelihatan karena yang disoroti kamera bagian tangannya saja), pasti ada tujuan tertentu yang ingin disampaikan sutradara.
ADVERTISEMENT
‘1917’ dibuat seolah untuk mematahkan dogma tersebut di atas. Bahwa film ini dibuat seolah hanya dengan satu motivasi, yakni cerita film justru mesti mengikuti style (sisi teknis) yang dipakai pembuatnya, bukan sebaliknya. Dalam film ini tak ada perdebatan soal mengapa kamera melakukan tracking mengikuti seorang karakter, apa motivasinya? mengapa suatu adegan tidak disyut dengan teknik camera on tripod (still, tak bergerak) misalnya, lantaran cerita di film ini dibuat dengan terlebih dahulu ditentukan batasan-batasan teknisnya.
Jadi, apakah ‘1917’ sejenis film yang lebih mentingin gaya ketimbang substansi? Menurut saya ya, dan itu sah-sah saja.
Dengan cerita yang sederhana serta plot yang linier, dan kita dipaksa untuk hanya melihat perspektif cerita lewat satu dua tokoh saja, agar pacing (ritme cerita) tak menjadi kendor, agar kita tak dibuat bosan, kita diberikan action yang secara konstan hadir setiap, misalnya 10 menit sekali. Lantas ruang bagi pembangunan atau pengembangan karakter memang menjadi hampir nihil. Nah, apakah itu hal yang buruk yang terdapat dalam sebuah film? Tidak juga.
Adegan di film '1917' Foto: YouTube/Universal Pictures
Sam Mendes bersama Krysty Wilson-Caims (‘Penny Dreadful’) menulis naskah film ini dengan intensi yang tak hanya jualan spektakel, tetapi kita juga masih diberi momen-momen drama, walau secuil-secuil, setidaknya, dan berkat penampilan luar biasa dari George McKay, Dean-Charles Chapman serta sejumlah cameo nama-nama besar di film ini, karakter-karakter mereka tak tampil satu dimensi amat. Terutama penampilan duo aktor utama kita yang berhasil membuat kita peduli terhadap karakter mereka, dan kita dibuat selalu merasa harap-harap cemas akan nasib yang akan menimpa mereka.
ADVERTISEMENT
Ini film yang penuh ketegangan dan adrenalin, laiknya sebuah film perang mesti dibuat seperti itu. Dan, ini yang saya sukai, bahwa film ini tak jualan kesadisan per se, seperti ‘Dunkirk’, di sini pun hampir tak pernah muncul sosok-sosok musuh dari lawan para jagoan kita. Bagaimana mereka terancam namun sosok pengancam itu tak pernah terlihat, bagaimana kesadisan perang diperlihatkan — bukan lewat adegan-adegan duel senjata, tetapi lewat gambaran seperti misalnya ratusan ekor ternak yang dibantai, pohon-pohon yang tumbang, dan rumah-rumah yang luluh lantak, adalah sebuah pernyataan sikap anti perang yang tersampaikan dengan baik. Kita tahu kengerian perang tanpa perlu dicekoki adegan perang yang "porno".
Pada akhirnya, ‘1917’ adalah film yang memang lebih mentingin gaya, tapi ia juga memiliki substansi yang, jika kita cermat memerhatikan film ini, lumayan berbobot juga. Emosi kita sebagai manusia dibuat terusik. Adegan di akhir yang menampilkan cameo dari seorang bintang 'Game of Thrones', walau singkat namun meninggalkan kesan yang mendalam. Dan sebaik-baiknya film adalah yang mampu menyentuh perasaan (emosi) kita.
ADVERTISEMENT