Foxtrot Six: Ketika Masa Depan Dikuasai Anak Jaksel

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
27 Februari 2019 20:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foxtrot Six: Ketika Masa Depan Dikuasai Anak Jaksel
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
Foxtrot Six karya debut Randy Korompis sebagai produser, penulis skenario sekaligus sutradara ini, digadang-gadang sebagai film Indonesia rasa Hollywood, lantaran ada nama Mario Kassar, seorang produser/produser eksekutif kenamaan dari Hollywood dengan sejumlah judul yang sempat ditanganinya.
ADVERTISEMENT
Sebut saja First Blood alias Rambo, Rambo Part 2, Terminator, Total Recall, Basic Instinct, Chaplin, dan sederet judul lain yang tak kalah tersohor. Kini ia berperan sebagai eksekutif produser di film Foxtrot Six dengan juga budget-nya yang konon mencapai Rp 70 miliar.
Bila sudah begitu, ekspektasi pun tentu menjadi auto-tinggi. Lantas, se-Hollywood apa film action yang mengambil latar Indonesia di masa depan distopia ini?
Syahdan di masa depan yang tak begitu jauh, yakni di tahun 2031, Indonesia dikisahkan menjadi negara yang kuat di bidang ekonomi karena ketersediaan pangannya yang melimpah, sedangkan negara-negara lain di dunia terpuruk imbas perubahan iklim global.
Seorang presiden (diperankan Miller Khan--Takut Kawin, Cintapuccino) digulingkan, lantas digantikan oleh Barona (Willem Bivers--Lima, Satu Suro) sebagai Presiden baru dari partai Piranas, sebuah partai politik yang berkantor pusat di sebuah gedung pencakar langit yang lokasinya jauh dari pusat kota.
ADVERTISEMENT
Dan, nampaknya kontrol pemerintahan dilakukan dari gedung ini.
Angga (Oka Antara--Aruna & Lidahnya, Sang Penari), seorang kader Partai Piranas, di luar penampilannya yang necis bak sales bank, cukup bodoh—untuk tak menyebutnya naif, bahwa ia tak mengetahui partai tempatnya mengabdi diisi orang-orang kotor yang bertindak semena-mena dengan mengekspor pangan ke luar negeri sedangkan rakyat sendiri dibiarkan menderita kekurangan pangan demi memperkaya diri sendiri.
Situasi tersebut kemudian melahirkan kelompok yang menamai dirinya Reformasi, sebuah gerakan bawah tanah untuk memberontak melawan kesewenang-wenangan pemerintah di bawah rezim Piranas dan kroni-kroninya.
Kemudian ketika Angga berhadapan dengan kelompok Reformasi dan mendapati tunangannya yang ia kira sudah mati (diperankan Julie Estelle--The Raid 2, Milly & Mamet) ternyata masih hidup dan bahkan sudah beranak, lantas sang tunangan yang hilang itu pun membujuknya untuk bergabung dan bersama-sama berjuang melawan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Angga pun menjadi buronan negara, dan untuk melawan sekaligus “menyelamatkan” jutaan manusia yang tertindas, ia merekrut empat orang teman bekas marinir seperjuangannya di antaranya Oggi (Verdi Solaiman--Love for Sale, Reuni Z), Bara (Rio Dewanto--Modus Anomali, Filosofi Kopi), Ethan (Mike Lewis--Hafalan Shalat Delisa, Message Man), dan Tino (Arifin Putra--The Raid 2, Rumah Dara), serta seorang jagoan misterius berpenampilan urakan bernama Spec (Chicco Jerikho--Filosofi Kopi, A Copy of My Mind).
Mereka pun berperang melawan tentara-tentara Piranas di bawah komando Wisnu (Edward Akbar, Street Society, Pinky Promise), rivalnya Angga, yang memiliki anak buah bengis yang dilengkapi baju perang tembus pandang (diperankan Godfred Orindeod dari The Raid) dan beberapa ada yang menaiki Kodiak, semacam kendaraan tempur robot berkaki dua yang dikendalikan seorang pilot ala District 9.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, sudah terdengar Hollywood belum?
Di atas kertas, perpaduan Mario Kassar dan budget Rp 70 miliar, ditambah deretan aktor kelas wahid tanah air, mestinya film ini tampil jor-joran dari segala lini. Sial, duit sebanyak itu ternyata belum cukup untuk mengemas film ini menjadi tontonan seperti yang dijanjikan.
Pangkalnya, naskah skenario yang ditulis Randy Korompis masih mentah seperti draft 1 yang mesti direvisi setidaknya 70 kali lagi agar menjadi mendingan, lalu departemen desain produksi dan artistik yang semestinya berperan mewujudkan tampilan Indonesia di masa depan distopia agar terlihat meyakinkan.
Tak kentara sumbangsihnya sama sekali selain kerajinan tangan mereka untuk menyulap sebuah mikrolet menjadi terlihat seperti mobil gembel dari film Mad Maxtetapi anak bengkel vespa juga bisa bikin begituan mah, siapa pun yang bekerja di departemen artistik seolah tak memiliki gagasan apa-apa, sama halnya dengan sang sutradara sendiri yang seolah tak mengenal budaya dan sosiologi bangsanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Penggunaan bahasa Inggris secara penuh sebagai pengantar dialog dalam film Indonesia pernah dicoba lewat film Modus Anomali karya Joko Anwar dan terbukti gagal, kini film ini mencobanya kembali, barangkali sama halnya seperti Modus Anomali yang beralasan demi market film internasional yang lebih luas.
Penggunaan bahasa Inggris di film ini semakin mengalienasi kita untuk dapat terhubung dengannya. Bukan lantaran seberapa fasih para aktor film ini berbahasa Inggris, dan rata-rata dari mereka ternyata amat fasih, tetapi pembuat cerita tak memberi alasan mengapa penduduk Indonesia di film ini berbahasa Inggris.
Padahal bisa saja diceritakan bahwa di masa depan hanya kawasan Jakarta Selatan saja yang selamat dari sebuah bencana alam misalnya, dan maka dari itu warga Jakarta Selatan yang tersisa inilah yang mengubah tren berbahasa di Indonesia dan meninggalkan bahasa ibu kita sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi, persoalan bahasa bukanlah yang paling krusial, sebagai orang Jakarta Selatan, saya sih fine-fine saja. Yang paling krusial, sebagai film action berbiaya mahal, semestinya action yang hadir di film ini minimal bisa menyamai standar yang telah dibuat oleh The Raid atau The Night Comes for Us.
Tetapi gelaran action yang koreografinya ditangani Very Tri Yulisman ini tampil kurang nampol, dan tak pernah terlihat seinventif kedua judul film terakhir. Satu adegan ketika Bara dikeroyok misalnya, lawannya maju satu-satu nunggu giliran, padahal tak ada satu pun dari mereka terlihat mengambil nomor antrian.
Hal lain yang tak kalah krusial adalah logika dalam, plot, dialog-dialog one liner yang seolah dicomot dari film-film action kelas B tahun 80-an.
ADVERTISEMENT
Hal itu menunjukkan bahwa Randy Korompis terlalu berambisi tanpa dibarengi keterampilan memadai dalam menulis naskah, seolah naskah tulisannya ini berangkat dari naskah film action yang gagal diproduksi di Hollywood lantas ia adaptasi mentah-mentah dengan mengganti nama tempat dan karakter, sehingga elemen reka percaya (make-believe) film ini absen, untuk tak menyebutnya gagal total.
Bagaimana perang antara enam orang mantan marinir melawan para petinggi partai politik dapat menyelamatkan jutaan orang? Kenapa mesti enam orang? Mengapa enam orang yang melawan negara ini terlihat seperti sedang menghadapi lawan sekelurahan—bukan setanah air?
Mengapa sekuen perekrutan anggota Foxtrot Six dibuat seperti sekuen perekrutan di film D.P.O. yang dibintangi AA Gatot itu; tanpa set up, tiada motivasi, dan tiada latar belakang cerita? Apa itu Foxtrot Six dan mengapa logonya demikian?
ADVERTISEMENT
Semua itu tak pernah terjelaskan. Oh, dan mengapa di masa depan distopia ada mobil Alphard model tahun 2018—dan bila pembuat film ini sebegitu ignorant-nya, mengapa kita mesti peduli?
Pada dasarnya, film ini hanyalah bercerita tentang enam cowok ganteng yang gemar menghajar orang tanpa motivasi dan konteks. Gambar-gambar tangkapan Ical Tanjung (Pengabdi Setan, Ave Maryam) yang lumayan sinematis.
Namun terkadang mesti terganggu grafis visual effect setengah matang nyaris luput dari perhatian lantaran penceritaan film ini yang tak koheren. Belum tentu 10 tahun sekali bakal ada film semacam ini (baca: berbiaya sebesar ini), tetapi juga belum tentu setiap 10 tahun sekali kita membutuhkannya.
Saya heran, dari sekian banyak talenta luar biasa yang terlibat dalam film ini, apakah tidak ada satu pun dari mereka yang membaca naskah skenarionya lantas menghampiri Randy Korompis sambil membisikinya, “Saya punya kenalan penulis skenario hebat lho. Mau saya telepon untuk Anda?”
ADVERTISEMENT