Hotel Mumbai: Lebih Horor dari Film Horor

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
12 April 2019 1:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★★ | Shandy Gasella
Dev Patel sebagai Arjun, staf hotel yang berusaha menyelamatkan para tamu ketika serangan teror terjadi — Screen Australia
'Hotel Mumbai' adalah film co-produksi terbaru antara Australia dan India setelah 'Lion' (Garth Davis, 2016), dan merupakan debut penyutradaraan dari penulis/produser Anthony Maras. Kisahnya sendiri berdasarkan kejadian nyata aksi serangan teroris yang terjadi di Mumbai pada November 2008, yang menewaskan 164 orang dan sedikitnya 300 orang terluka selama empat hari aksi teror tersebut berlangsung.
ADVERTISEMENT
Tetapi, demi dramatisasi cerita, di film ini kejadian teror tersebut hanya berlangsung selama 12 jam.
Barangkali mudah bagi sebagian dari kita untuk melupakan sebuah kejadian terorisme, terlebih bila kejadian tersebut terjadi di negeri orang. Belum lama ini kita dikejutkan oleh aksi terorisme yang menewaskan 50 orang muslim dan 50 lainnya luka-luka di sebuah masjid di kota Christchurch, Selanda Baru, oleh seorang penganut ideologi supremasi kulit putih yang mempercayai bahwa dirinya dan golongannya lebih superior ketimbang ras lain.
Sebuah video aksi terorisme yang memperlihatkan Brenton Harrison Tarrant, warga Australia berusia 28 tahun yang begitu membenci kaum imigran dan ideologi Islam, menembaki secara membabi buta setiap orang yang ia temui yang mengikuti salat Jumat di masjid di Christchurch, tersebar di media sosial.
ADVERTISEMENT
Video tersebut begitu menakutkan dan mengguncang jiwa bagi siapa pun yang menyaksikannya. Seluruh dunia mengutuk aksi terorisme tersebut.
Begitu pun dengan 'Hotel Mumbai', tak mudah untuk menonton film ini. Saat para teroris menembaki orang-orang secara serampangan dengan kejinya, film ini menampilkannya dengan begitu nyata dan semengerikan mungkin. Jantung kita dipacu tiada henti, dan di saat bersamaan, kita diajak untuk merenungi hakikat menjadi manusia.
Nampaknya tak ada makhluk lain di muka bumi ini, selain manusia, yang mampu dengan begitu keji melukai sesama manusia lainnya.
Still adegan film Hotel 'Mumbai'— Screen Australia
'Hotel Mumbai' adalah sebuah masterpiece filmmaking, ditulis oleh John Collee ('Master and Commander: The Far Side of the World' dan 'Happy Feet') bersama Anthony Maras sang sutradara sendiri, naskah dan penggarapannya begitu efektif dan tertata secara cermat hingga ketika menyaksikannya; hati saya dibikin remuk, pikiran dipenuhi sejumput pertanyaan tentang humanisme, dan kesadaran saya selalu berada di tepi kursi.
ADVERTISEMENT
Suatu pagi 10 orang teroris asal Pakistan yang masih muda belia mendatangi kota Mumbai dengan menaiki perahu karet. Mereka menenteng dan menggendong ransel besar. Segera setelah perahu karet yang mereka tumpangi menepi, mereka berpencar menaiki taksi. Ada yang pergi ke stasiun kereta api, ada yang pergi ke sebuah kafe, rumah sakit, sisanya ke Hotel The Oberoi dan Hotel The Taj.
Film ini berfokus pada kejadian teror yang berlangsung di Hotel The Taj. Empat orang teroris bersenapan AK-47 dan granat memasuki hotel dan menembak mati siapa pun yang mereka temui. Para teroris ini mendapatkan bimbingan dan instruksi dari seseorang yang mereka sebut sebagai Brother (kakak) Bull melalui percakapan seluler.
Lewat skenario yang ditulis dengan begitu cermat dan cerdas, kita diajak mengikuti pergerakan beberapa tokoh teroris, dan juga beberapa tokoh protagonis yakni staf hotel dan beberapa tamu hotel dari berbagai kebangsaan yang terjebak dalam serangan teror tersebut.
Nazanin Boniadi sebagai Zahara dan Jason Isaacs sebagai Vasili — Screen Australia
Arjun (Dev Patel, 'Slumdog Millionaire' dan 'Lion'), seorang pelayan hotel The Taj, pagi itu berpamitan kepada istrinya yang tengah hamil tua dan anaknya yang masih balita, untuk berangkat kerja. Sepatunya tertinggal secara tak disengaja. Sesampainya di hotel ia dimarahi oleh Chef Hemant Oberoi (Anupam Kher yang legendaris, ini filmnya yang ke-501!) dan disuruh pulang.
ADVERTISEMENT
“Saya mohon izinkan saya bekerja hari ini, istri saya sebentar lagi akan melahirkan, saya butuh pekerjaan ini,” rengek Arjun kepada atasannya itu. “Ada sepatu di ruangan saya, sana ambil, kau pakailah.”
Lalu kita juga dikenalkan pada karakter lain, yakni para tamu hotel; David (Armie Hammer, 'Call Me by Your Name' dan 'The Man from U.N.C.L.E.'), istrinya Zahara (Nazanin Boniadi, 'Iron Man' dan 'Passengers'), anak bayi mereka, dan pengasuhnya Bree (Natasha Liu Bordizzo, 'The Greatest Showman' dan 'Detective Chinatown 2'), ada juga seorang pengusaha asal Rusia bernama Vasili (Jason Isaacs, 'The Patriot' dan 'Harry Potter and the Chamber of Secrets').
Bisa jadi para tokoh tersebut merupakan amalgam—campuran karakter dari beberapa tokoh nyata, atau barangkali murni hasil rekayasa karangan si penulis cerita. Tetapi John Collee dan Anthony Maras sempat menghabiskan waktu selama setahun mewawancarai para korban yang selamat, dan keduanya juga sempat menginap selama sebulan di The Taj untuk riset sekaligus mengamati para staf hotel.
ADVERTISEMENT
Chef Hemant Oberoi barangkali satu-satunya karakter, yang tak terbantahkan, memang ditulis berdasarkan tokoh nyata. Ia dianggap sebagai pahlawan yang dengan begitu gigih berusaha menyelamatkan para tamu hotel selama serangan teror berlangsung.
Adegan demi adegan antara aksi teror dan pengenalan beberapa tokoh protagonis ditampilkan silih berganti dengan porsi yang pas, seiring durasi kita semakin melihat dan memahami mereka; para teroris dan para korbannya.
Sedari awal film ini sudah menghentak dengan bahasa visual lewat sinematografi arahan Nick Remy Matthews yang berhasil menangkap kontras antara kumuhnya kota Mumbai dan luar biasa mewahnya Hotel The Taj beserta para tamunya yang diperlakukan bak Dewa.
Akting para pemainnya luar biasa meyakinkan, pun para teroris tak tampil satu dimensional, mereka juga dibekali latar belakangnya sendiri—bukan agar kita berempati, tentu saja, tetapi mereka juga manusia yang memiliki alasan tersendiri ketika berbuat sesuatu, dalam kasus mereka; bocah-bocah miskin tak berpendidikan yang diperalat dengan dogma tertentu, dan demi imbalan sejumlah uang untuk keluarga mereka di rumah. Juga janji surga atas kematian “syahid” mereka.
ADVERTISEMENT
Bila ini sebuah film Hollywood—yang selalu klise, kita tahu para tokoh protagonis kita bakal selamat di pengujung cerita. Tetapi, tidak di film ini.
Still adegan film Hotel Mumbai — Screen Australia
Salah satu hal yang saya sukai dari 'Hotel Mumbai' adalah bahwa ia tidak berupaya menciptakan tokoh/sosok pahlawan secara artifisial dengan cara-cara yang mungkin sekali bakal dilakukan oleh para filmmaker Hollywood.
Di film ini manakala tokoh-tokohnya mencoba bertindak heroik, mereka ditembak mati begitu saja. Di film ini juga, kita tahu bahwa rumor polisi India selalu datang belakangan, ternyata memang benar adanya. Film ini betul-betul mempermalukan citra kepolisian India di mata dunia!
Saya cukup terkejut mengetahui bahwa 'Hotel Mumbai' merupakan film panjang pertama sutradara Anthony Maras. Dia cekatan membangun ketegangan, menciptakan karakter-karakter yang kita pedulikan, lantas menempatkan mereka dalam bahaya yang begitu mengerikan.
ADVERTISEMENT
'Hotel Mumbai' adalah perayaan atas ketegaran dan keberanian manusia dalam menghadapi kejahatan. Dengan berfokus pada sisi kemanusiaan, film ini menghormati para korban yang selamat, juga mereka yang kehilangan nyawa dalam serangan teroris tersebut.
Adegan-adegan penembakan yang dilakukan para teroris di film ini ditampilkan—entah berapa kali sudah saya katakan—sangat keji dan mengerikan. Untuk memahami seorang iblis, kita memang mesti melihat, menatap matanya secara langsung. Film ini menyajikan perspektif itu. Sebuah perspektif yang memuakkan, memilukan, dan juga meremukkan hati.
Bukan sekadar terbaik, tetapi ini sebuah film yang penting, barangkali yang paling penting yang pernah saya tonton dalam beberapa tahun terakhir ini. Selepas film usai, sulit bagi saya untuk beranjak dari kursi, dan untuk waktu yang lama selepas menyaksikannya, perasaan yang meremukkan hati itu terus menggelayuti.
ADVERTISEMENT