Konten dari Pengguna

'Kembang Kantil': 'Amburadul' dalam Segala Aspek

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
21 April 2018 11:32 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
49
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rating ★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Kembang Kantil (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Kembang Kantil (Foto: istimewa)
Poster film 'Kembang Kantil' -- Dok. Dee Company
ADVERTISEMENT
Pascakesuksesan 'Danur: I Can See Ghost' (Awi Suryadi, 2017), 'Jailangkung' (Jose Poernomo & Rizal Mantovani, 2017) dan 'Pengabdi Setan' (Joko Anwar, 2017), horor nampaknya semakin dan akan selalu dianggap "seksi" setidaknya untuk beberapa tahun mendatang oleh sejumlah rumah produksi film di tanah air, bahkan beberapa rumah produksi yang tak pernah menyentuh genre ini, ikut-ikutan juga. Dee Company, rumah produksi yang secara khusus hanya tertarik memproduksi horor dan komedi, jelas tak ingin ketinggalan hype dan seolah ingin memantapkan diri sebagai rumah produksi horor No. 1 di Indonesia!
Dee Company adalah rebranding dari K2K Production yang telah memproduksi sebanyak 35 judul film di antaranya seperti 'Genderuwo' (2007), 'Anda Puas Saya Loyo' (2008), 'Mas Suka Mas Ukin Aja' (2008), 'Hantu Binal Jembatan Semanggi' (2009), 'Pelukan Janda Hantu Gerondong' (2011), 'Mr Bean Kesurupan Depe' (2012), dan masih banyak sederet judul lainnya.
ADVERTISEMENT
Saya ingin menulis lengkap judul-judul filmografi dari K2K Production, namun saya pun mafhum bila Anda barangkali mual-mual akibat membaca sejumlah judul tadi, maka saya cukupkan saja demikian, sebatas ingin memberi gambaran sedikit profil rumah produksi di balik film yang akan saya ulas dalam artikel ini.
Sama halnya seperti K2K Production, bosnya sendiri, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai KK Dheeraj, juga ikut-ikutan rebranding menjadi Dheeraj Kalwani. Nama boleh berubah, namun kemampuan sama saja. Berpengalaman menangani lebih dari 30 judul film tak membuat Dheeraj memiliki craftsmanship yang dibutuhkan oleh seorang produser di skena perfilman Indonesia yang sedang asyik-asyiknya bertumbuh ini.
Selera buruk bisa diasah, apalagi dibarengi pengalaman 11 tahun di industri film, namun nyatanya, 'Kembang Kantil', film terbaru yang diproduserinya ini tak sedikit pun lebih baik dari film 'Genderuwo' yang ia buat di tahun 2007!
ADVERTISEMENT
K2K Production yang kini berganti nama menjadi Dee Company, saya anggap berhasil, bukan menjadi nomor satu, melainkan menjadi satu-satunya rumah produksi di Indonesia yang tidak pernah sekali pun menunjukkan perkembangan berarti, tidak pernah memproduksi satu pun film yang memiliki nilai seni, estetika dan craftsmanship, seolah mereka tak pernah berhenti untuk belajar dan belajar, tanpa menyadari keterbatasan potensi yang dimiliki.
Perhatikan poster film 'Kembang Kantil' di atas, ada tiga figur yang tampil dalam poster; pertama, gadis cilik dengan rambut panjang hitam legam yang menutupi seluruh wajahnya, mengenakan dres putih vintage -- klise sekali, kita yang terbiasa menyaksikan film horor dapat menduga-duga bahwa ialah sosok hantu atau sosok yang diganggu hantu di film ini. Kedua dan ketiga, dua sosok wanita dewasa dalam balutan dres warna hitam.
ADVERTISEMENT
Ketiga figur dalam poster digambarkan sebagai boneka dengan kedua tangan dan tubuh mereka yang diikat tali seperti boneka marionette, mengindikasikan bahwa hidup mereka ada yang mengendalikan. Itukah yang terjadi kepada mereka dalam cerita film?
Ternyata tidak. Dan tak ada hubungannya sama sekali. Saya membayangkan desainer poster film ini ketika menyodorkan idenya kepada produser/sutradara, kira-kira dengan pitch seperti ini, "Ide gue keren nih, Bos, gue bikin karakter utama jadi marionette, belum pernah ada lho di Indonesia. Sangat-sangat original dan sangat arthouse, Bos." Katanya dengan semangat menggebu-gebu.
Si Bos tampak terkesima dan spontan mencubit pipi si desainer poster saking gemasnya, "Very good, Brother. You are brilliant. Kamu bilang arthouse... very well thank you, Brother! Dan saya suka karena you are very very good." Balasnya tak kalah menggebu-gebu. Dan, poster pun jadi, tanpa revisi.
ADVERTISEMENT
Kisah film dimulai di sebuah panti asuhan. Jangan bayangkan panti asuhannya seperti ini;
'Kembang Kantil': 'Amburadul' dalam Segala Aspek (1)
zoom-in-whitePerbesar
Foto diambil dari sini
Atau seperti ini;
'Kembang Kantil': 'Amburadul' dalam Segala Aspek (2)
zoom-in-whitePerbesar
Foto diambil dari sini
Beginilah tampilan panti asuhan di film 'Kembang Kantil';
'Kembang Kantil': 'Amburadul' dalam Segala Aspek (3)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar diambil dari tangkapan layar trailer 'Kembang Kantil' milik channel Youtube MD Pictures
Tania (Richelle Georgette Skonicki, 'This is Cinta'), gadis cilik usia TK B berwajah indo, tak disukai oleh teman-teman sebayanya di panti asuhan. Alasannya tak begitu jelas. Pokoknya ia tak disukai saja. Si penulis skenario, La Ode Muhammad Farhan ('Rumah Belanda'), berharap kepada kita sebagai penonton agar dapat menerimanya begitu saja, agar kita menaruh simpati kepada Tania secepat itu.
Tanpa latar belakang memadai, tanpa adegan perkenalan karakter yang menggugah rasa simpati, saya jelas tak tertarik dan tak peduli dengan keberadaan karakter Tania, yang sedari awal digambarkan sebagai anak pemurung. Kita seolah didikte untuk merasa takut terhadapnya. Tetapi, gestur dan ekspresi yang ditunjukkan Tania sepanjang durasi film sama sekali tak menakutkan. Keberadaannya sama sekali tak mengancam dan ia juga bukan sosok penderita. Justru peran itu diberikan kepada kita, penonton film ini.
ADVERTISEMENT
Di panti asuhan itu, yang begitu mewah dan tampak lebih luas dari rumah Anang Hermansyah, tetapi hanya dihuni sekitar 10 orang anak asuh, teman-teman Tania bermain bersama. Tania ingin ikutan, tetapi teman-temannya menolaknya, sampai pada akhirnya, Novi (Sarwendah Cherrybelle, 'Nighmare Side', 'Love is U'), pemilik panti asuhan, meyakinkan semua anak asuhnya agar menerima Tania dan mau mengajaknya bermain.
Novi sendiri yang mengasuh mereka sekaligus mengelola panti asuhan, ditemani seorang pembantu. Anak-anak kemudian bermain petak umpet dan Novi kembali ke meja kerjanya, di sana di atas mejanya, terdapat sebuah mesin tik kuno.
Seorang teman Tania terjatuh dari balkon dengan luka serius. Dari tempat ia terjatuh, di atas balkon, Tania berdiri terpaku. Kita dapat menduga bahwa Tanialah pelakunya, atau barangkali hantu. Teman Tania yang malang itu bersimbah darah tak sadarkan diri dan Novi hanya kaget sekenanya, lantas berlalu mencari Tania.
ADVERTISEMENT
Saking luasnya panti asuhan, butuh waktu lama baginya untuk menemukan Tania bersembunyi di sebuah kamar. Saat ditemukan, pergelangan tangan Tania terlihat menghitam seperti bekas terkena luka bakar yang parah. Jeng jeng. Lalu ada hantu lewat dan kita disuruh kaget.
Kecelakan tersebut berlalu dan dilupakan begitu saja. Pun tak dilaporkan kepada kepolisian. Selang beberapa saat kemudian, datanglah Anton (Fadika Royandi, 'Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati') dan Santi (debut layar lebar Nafa Urbach), sepasang suami-istri muda, yang hendak mengadopsi Tania. Saat ditemui, Tania murung saja. Anton mendekati, lantas menemukan tanda luka di lengan Tania, dan ia tidak terkejut sama sekali, tidak bertanya soal luka tersebut, dan tidak pernah membawa Tania ke rumah sakit untuk memeriksakannya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Tania dibawa pulang ke rumah Anton. Kita diperlihatkan sebuah adegan perpisahan antara Tania, pemilik panti asuhan dan teman-temannya. Lantas Tania menaiki mobil Toyota Alphard dan saya baru tahu bahwa ternyata setting waktu film ini adalah masa sekarang, bukan di masa lalu. Nah, keberadaan mesin tik kuno di meja kerja Novi itu untuk apa? Apakah ia anggota sekte anti-elektronik? Kita tak pernah diberi tahu.
Anton dan Santi rupanya sepasang suami istri kaya raya, sangat kaya hingga akses menuju pintu utama rumahnya saja dibuat seperti lobi hotel bintang lima. Begini penampakan rumah mereka via aerial shot;
'Kembang Kantil': 'Amburadul' dalam Segala Aspek (4)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar diambil dari tangkapan layar trailer 'Kembang Kantil' milik channel Youtube MD Pictures
Rumah sebesar itu, sebesar Wayne Manor -- rumah Bruce Wayne, bilyuner dari Gotham, dan untuk mengurusi kebersihan rumah, mereka hanya mempekerjakan seorang asisten rumah tangga! Setibanya Tania di sana, teror hantu pun dimulai. Yang meneror ternyata hantu ibunya Tania sendiri. Bagaimana ia bisa meneror dan apa motivasinya, hanya penulis skenario, sutradara, dan produser film ini saja yang tahu. Kita diminta menebak-nebak. Sungguh teganya.
ADVERTISEMENT
Alisa (Irish Bella, 'Kuntilanak Kesurupan', 'Tiger Boy'), adik Anton dari luar kota, datang berkunjung untuk tinggal bersama sementara waktu. Ia dikisahkan sebagai aktris panggung teater, datang ke Jakarta untuk pementasan di mana ia ikut bermain di dalamnya.
Suatu hari, ketika sedang asyik menghapalkan dialog di bangku taman halaman rumah, ia dikejutkan seorang cowok yang yang nampaknya sudah lama memperhatikannya. Si cowok memperkenalkan dirinya sebagai Aldy (Kevin Kambey), datang ke rumah Anton untuk mengantarkan pesanan kembang kantil yang dipesan Santi.
Aldy adalah anak dari pemilik toko kembang, yang sepertinya akan segera bangkrut karena membayar gaji karyawan saja sudah tak bisa sampai anak sendiri dijadikan kurir. Tunggangan Aldy ketika mengantar kembang adalah motor Royal Enfield seharga ratusan juta. Untuk menambah element of surprise, Aldy ini ternyata aktor panggung teater juga, yang akan pentas bareng dengan Alisa. Jika Anda mengidap penyakit jantung dan tensi darah tinggi, saya sarankan untuk menghindari film ini, sebab bila tidak, nyawa Anda sendiri taruhannya.
ADVERTISEMENT
Dalam 'Pengabdi Setan' karya Joko Anwar, kehadiran rumah angker di film itu memiliki alasannya tersendiri yang masuk akal. Para karakter di film itu harus tinggal di rumah angker karena mereka tak punya pilihan lain. Dalam 'Kembang Kantil', rumah mewah hadir karena sebatas produser film ini mampu membayar sewa rumah tersebut untuk dijadikan lokasi syuting, tanpa memikirkan fungsinya dalam cerita.
Di kehidupan nyata, karakter muda usia awal 30-an seperti Anton di film ini, jika pun ia sukses dan setajir para pejabat koruptor, rasa-rasanya ia akan memilih hunian yang berkelas di kawasan BSD atau Gading Serpong seharga 7-10 Milyar, memilih rumah dua lantai dengan estetika modern kekinian, bukannya membeli rumah sebesar Gedung Kantor Walikota Jakarta Selatan dengan desain murahan yang hanya dapat diapresiasi oleh para pejabat koruptor usia 70 tahun ke atas.
ADVERTISEMENT
Keseharian Anton tak dijelaskan dengan baik, kita tak tahu apa pekerjaannya. Yang kita tahu, nampaknya, sutradara film ini hanya memberikan satu instruksi kepada aktor Fadika Royandi, yakni untuk berpura-pura menjadi maskulin, dan satu intstruksi lainnya diberikan kepada Penata Kostum lewat catatan singkat; "Tolong siapkan setelan jas untuk Anton!" Maka, sepanjang durasi film kita hanya melihat Anton berpenampilan necis, tak peduli ketika sedang di rumah, bahkan ketika makan malam pun ia berpakaian dalam setelan jas lengkap dengan dasi dan sepatu pentofel.
Jika satu per satu elemen film ini saya bahas, barangkali tulisan saya akan menghasilkan sebuah buku setebal 400 halaman tentang bagaimana caranya membuat film horor murahan a la Dheeraj. Tetapi, saya tak punya banyak waktu dan kesabaran untuk melakukannya.
ADVERTISEMENT
Film ini gagal dalam segala aspek. Naskah skenario amburadul -- hasil jerih payah La Ode Muhammad Farhan, yang saya sarankan agar segera mengikuti kursus penulisan skenario di lembaga pendidikan yang mumpuni. Ubay Fox (Co-director 'Valentine'), sutradara film ini, menghargai namanya sendiri saja untuk ditulis di credit title, gagal ia lakukan, apalagi menghargai penonton. Arahannya amatiran.
Pengalaman sebelas tahun di industri perfilman nasional tak membuat Dheeraj Kalwani menjadi tahu bagaimana cara membuat film horor yang bermartabat, menghormati kecerdasan penonton, atau setidak-tidaknya membuat film yang lumayan. 'Kembang Kantil' tak meninggalkan jejak bukti sedikit pun bahwa film ini dihasilkan oleh sekelompok manusia yang memiliki kreativitas.
'Kembang Kantil' adalah film yang mengkhianati semangat pembaharuan dalam sinema Indonesia kontemporer. Di saat sineas lain berlomba membuat film sebaik-baiknya demi menarik penonton agar percaya terhadap (kualitas) film nasional, pembuat film ini malah merusaknya.
ADVERTISEMENT
*untuk membaca ulasan film lainnya dari Shandy Gasella, klik di sini.