'Koboy Kampus': Orde Baru dalam Kenangan Pidi Baiq

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
29 Juli 2019 17:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jason Ranti di film terbaru 'Koboy Kampus' Foto: IG @filmkoboykampus
zoom-in-whitePerbesar
Jason Ranti di film terbaru 'Koboy Kampus' Foto: IG @filmkoboykampus
ADVERTISEMENT
Koboy Kampus
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Tidak banyak orang yang memiliki privilese (hak istimewa) agar kisah hidupnya diangkat ke dalam biografi, bisa buku, bisa juga film. Ia mesti dianggap seorang tokoh terlebih dahulu, baru biasanya kisah hidupnya dianggap layak dan perlu untuk di-biografi-kan.
ADVERTISEMENT
Tokoh-tokoh besar seperti Sukarno, Habibie, Jamin Ginting, atau misalnya dari dunia seni ada Chrisye, adalah beberapa nama yang kisah hidupnya pernah difilmkan karena ketokohan mereka.
Kini kita punya Pidi Baiq. Laman Wikipedia menyebutnya sebagai seniman multitalenta: ia menulis novel, buku, dosen, ilustrator, komikus, musisi, pencipta lagu, dan barangkali masih banyak lagi talenta lainnya yang belum sempat tercatat dan diketahui publik. Hebatlah pokoknya.
Banyak yang menduga kisah dalam novel Dilan yang sudah difilmkan dua kali lewat Dilan 1990 dan Dilan 1991, bahwa karakter Dilan adalah Pidi Baiq di masa lalunya ketika SMA di Bandung. Celetukan-celetukan Dilan dalam novel/film merupakan celetukan-celetukan yang sama yang sering disampaikan Pidi ketika dia berkesempatan untuk tampil di muka umum.
ADVERTISEMENT
Lihat saja video di bawah ini, perhatikan dengan saksama, begini ia memperkenalkan dirinya: “Saya Pidi Baiq, imigran dari surga, diselundupkan oleh ayahku ke Bumi di kamar pengantin ....” Dan persis seperti itulah Dilan memperkenalkan dirinya di novel/film.
Diakui atau tidak oleh Pidi sendiri tentang rumor tersebut, yang jelas sekarang ia sudah tidak malu-malu lagi untuk menunjukkan ketokohannya.
Film Koboy Kampus yang digarap oleh Pidi tandem dengan Tubagus Deddy (penulis skenario film Jenderal Soedirman dan Mursala), dengan naskah skenario yang juga ditulis mereka berdua, adalah biografi Pidi Baiq semasa ia kuliah di ITB pada tahun 1995. Karakter utama kita bernama Pidi Baiq, bukan Dilan, diperankan pemusik folk bernama Jason Ranti.
Alkisah film diawali sebuah adegan orasi seorang mahasiswa di kampus ITB. Tentu saja sang orator sedang mengkritik pemerintahan Soeharto. Lalu kamera bergerak, panning ke kiri, dan berhenti tepat pada two shots; Pidi sedang berbicara, atau tepatnya sedang memberi nasihat kepada seorang mahasiswi yang ternyata kekasih sang orator.
ADVERTISEMENT
“Lihat tuh pacar kamu, dia mah lebih cinta negara ketimbang cinta kamu ....” Saya tak ingat persis dialognya, tetapi kira-kira seperti itulah. Pidi beranggapan bahwa demonstrasi itu hal yang sia-sia dan tak berfaedah. Lantas, apa yang ia lakukan sebagai seorang mahasiswa jurusan Seni dan Desain ITB?
Pidi di tahun 1995 mendirikan sebuah 'negara' baru yang ia namai The Panas Dalam. The-nya dari Atheist, Pa-nya Paganisme, Nas-nya Nasrani, Da-nya Hindu dan Buddha (kenapa dua agama ini disatuin ya!), dan Lam-nya adalah Islam. Kasian Konghucu dan Sunda Wiwitan tidak kesebut, Njir! Dan negara ini berdiri di ITB, di sebuah ruangan tempat para mahasiswa seni dan desain ngumpul untuk belajar dan sekadar 'nongkrong'.
ADVERTISEMENT
Film tak menjelaskan secara persis mengapa Pidi menyebut The Panas Dalam itu 'negara', padahal yang ia maksud adalah nama sebuah geng, atau kenapa tidak terang-terangan menyebutnya sebagai nama sebuah band musik yang didirikan Pidi? Siapa Pidi di film ini? Wallahu’alam.
Pokoknya ia punya pengikut yang ia sebut sebagai teman, di antaranya Ninu (Ricky Harun, Bajaj Bajuri the Movie, From London to Bali ), Dikdik (Miqdad Addausy, Salah Bodi, Bangun Lagi Dong Lupus), Deni (Bima Karisma, Mendadak Kaya, Juara), dan Erwin (David John Schaap, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Mama Mama Jagoan). Tidak usah dihapalkan nama-nama tersebut, saya sendiri enggak hapal, dan pembuat filmnya sendiri juga tidak peduli-peduli amat terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Ricky Harun, Miqdad Addausy, Bima Karisma, dan David John Schaap diperlakukan bak aktor-aktor ekstra alias figuran yang diberi sebaris dua baris dialog saja, yang jika dibayar secara profesional, honor mereka bermain di film ini mestinya 500.000 rupiah per hari, David John Schaap paling kasian, lebih sering terlihat linglung lantaran enggak kebagian dialog tapi mesti setiap saat satu frame bersama Pidi!
Jadi, film Koboy Kampus ini tentang apa sih?
Sutradara sekaligus penulis novel, Pidi Baiq. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Tentang betapa beruntungnya jadi seorang Pidi Baiq, sang imam besar imigran surga, yang diberi keleluasaan membuat film tentang diri sendiri, digarap dengan suka-suka sendiri, dan mestinya dinikmati sendiri! Teman dekat dan keluarga bolehlah ikut menikmati.
Secara naratif, film ini tak memiliki cerita utuh, film tak dibangun atas sebuah premis apa-apa! Ajaib, film yang tidak memiliki premis kok bisa dibiayai pembuatannya oleh sebuah PH yang cukup besar di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Umumnya film dibangun dari sebuah premis, gagasan atau permasalahan apa yang diangkat lewat perspektif sang tokoh utama. Ceritanya apa, siapa karakternya, permasalahan apa yang ia hadapi, lalu apa yang ia lakukan untuk mengatasinya—kira-kira begitulah naratif film pada umumnya.
Atau apakah ini bukan film yang umum, bahwa ini film yang nyeleneh yang nyeni? Bolehlah bila Koboy Kampus bukan film naratif, jika ia menawarkan pengalaman sinematis yang lebih lewat bahasa gambar atau suara, tetapi tak ada tawaran lain yang istimewa itu.
Pidi berbicara tentang politik, tentang cinta, atau tentang dirinya yang lahir ke dunia diselundupkan oleh bapaknya dari surga—terus kita mesti wow gitu?!—di hadapan teman-temannya, dan teman-temannya, ya, cuma manggut-manggut. Sesekali menimpali, tetapi seringnya sih manggut-manggut saja. Lalu, Pidi bernyanyi dengan iringan musik dari gitarnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana proses Pidi belajar di ITB, bagaimana ia sampai pada posisi sebagai 'Imam Besar' yang dituakan di sana dan disegani, tak jelas. Pokoknya Pidi happy-happy saja, cengar-cengir, main gitar, bicara ngalor-ngidul, terus teman-temannya manggut-manggut. Terus saja seperti itu sepanjang film.
Setting ruangan di ITB itu bahkan bisa diganti oleh setting apa pun, pos ronda misalnya, tidak akan mengubah apa-apa, toh hampir semua dialog, adegan, dalam film tampil tanpa konteks tertentu.
Saat karakter Pidi berbicara soal demonstrasi mahasiswa di kampusnya di tahun 1995, saya pikir Pidi punya tawaran lain, punya cara sendiri untuk menyuarakan pandangan politiknya. Saya pikir 'Negara Kesatuan Republik The Panas Dalam' yang ia dirikan adalah sebentuk perlawanan secara metaforik, terhadap pemerintah Orde Baru, misalnya.
ADVERTISEMENT
Saya pikir yang dimaksud dengan 'koboy' adalah para petarung, pejuang, jagoan, atau vigilante yang senantiasa menyuarakan kebenaran. Duh, saya terlalu serius.
Nyatanya, Pidi hanya sedang bersenang-senang, dan asyik sendiri. Lantas semesta berputar mengelilinginya. Barangkali sebutan 'imam besar' untuk Pidi yang disampaikan seolah lewat canda di film ini, ternyata hal yang sungguh-sungguh. Kita mafhum mengapa Sukarno disebut seorang singa podium, seorang proklamator—oh, ia seorang pemikir. Kita mafhum mengapa Habibie adalah seorang tokoh—oh, ia seorang teknokrat.
Saya tidak dapat mafhum mengapa Pidi Baiq disebut seorang 'imam besar', sedangkan lewat film ia hanya ditampilkan sebagai seorang cowok cengengesan, yang ajaibnya dikagumi banyak orang, termasuk seniman-seniman besar di luar kampus yang entah bagaimana caranya bisa tahu reputasi 'keimaman' Pidi, lantas datang ke ITB minta gabung ke 'Negara Kesatuan Republik The Panas Dalam', hanya untuk ditolak oleh Pidi Baiq sendiri. Kata ajaib saja saya rasa kurang ngena untuk menggambarkan keajaiban tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, yang dapat saya mengerti, setelah tersiksa selama lebih dari satu setengah jam, saya memahami alasan akan kesinisan Pidi terhadap sesama koleganya yang sering demo di kampusnya. Pidi terlihat happy-happy karena ia simpatisan Orde Baru. Seorang fanboy, bak 'kecebong' yang mengidolakan Jokowi atau 'kampret' yang mengidolakan Prabowo.
Di akhir film, di Dago Tea House, Pidi berkumpul bersama teman-temannya. “Hai, Imam Besar!” Kira-kira begitu sapa Dikdik kepada junjungannya itu. Pidi Sang Imam lantas bersada, “Semestinya kita itu bersyukur kepada Soeharto. Kita mesti berterima kasih kepadanya ....”
Di saat tak semua orang punya kesempatan cerita hidupnya difilmkan, dimodalin sebuah PH, kesempatan tersebut digunakan seorang Pidi Baiq hanya sebagai medium dirinya berbicara ke khalayak ramai, mengumumkan bahwa ia seorang simpatisan Soeharto. Tetapi, di era post-truth seperti sekarang, apa poinnya?
ADVERTISEMENT