Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lagi-lagi Ateng: Lagi-lagi Jualan Pseudo-Nostalgia
15 Januari 2019 15:25 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Kho Tjeng Lie alias Andreas Leo Ateng Suripto — atau lebih dikenal sebagai Ateng saja, merupakan komedian legendaris tanah air bertubuh boncel, yang muncul lebih dulu ketimbang Benyamin S, Warkop DKI, Doyok-Kadir, bahkan saat Sule (komedian paling terkenal saat ini) baru lahir di tahun 1976, Ateng sudah 14 kali bermain film sejak debutnya lewat Si Djimat di tahun 1960. Ia wafat di tahun 2003 dalam usia 61 tahun.
ADVERTISEMENT
Ateng dulu sempat tergabung dalam sebuah kelompok lawak yang juga amat legendaris, yakni Kwartet Jaya, bersama Bing Slamet, Eddy Sud dan Iskak. Ketika grup lawak ini bubar, Ateng membentuk grup duo bersama Iskak, dan selepas itu namanya lekat satu sama lain, ibarat paket combo — di mana ada Ateng di situ ada Iskak.
Penggemar Ateng yang dahulu tumbuh dewasa sambil menyaksikan film-filmnya berjaya di tahun 70-an saya yakini saat ini barangkali sudah pada sepuh, dan banyak juga yang sudah meninggal saya duga.
Saya sendiri sempat menyaksikan beberapa film Ateng yang sebetulnya rilisan tahun 70-an seperti Ateng Minta Kawin, Ateng Raja Penyamun, Ateng Sok Tahu, Ateng the Godfather, dan masih banyak yang lain, di tahun 90-an ketika saya remaja. Sosok Ateng terlalu berjarak — sangat jauh — dengan penonton film masa kini, terlebih bagi para milenial.
ADVERTISEMENT
Adalah sebuah keputusan yang berani, untuk tidak menyebutnya gegabah, membuat film berjudul Lagi-lagi Ateng besutan Monty Tiwa ini dengan usaha memperkenalkan kembali kepada penonton masa kini sambil mengorek sentimen nostalgia para kaum jompo agar mau kembali mendatangi bioskop, menyaksikan Ateng yang kini coba dihidupkan kembali oleh Augie Fantinus (Pokun Roxy, Jailangkung), aktor/komedian, yang sayangnya tak terlihat cukup mirip, gendutnya saja yang sama. Perawakannya kurang boncel — ia bahkan terlihat sepantaran dengan Julie Estelle, lawan mainnya di film ini. Padahal ciri khas Ateng salah satunya ya boncelnya itu.
Alkisah Ateng tinggal bersama ayahnya, orang tua tunggal, keturunan ningrat Jawa, di sebuah rumah yang besar sekali di Salatiga. Sepanjang hidupnya selama dua puluhan tahun Ateng meyakini bahwa ia anak satu-satunya — hingga ia kemudian jalan-jalan ke Jakarta dan lantas bertemu dengan saudara kembarnya yang tak ia ketahui keberadaannya sebelumnya!
ADVERTISEMENT
Ateng diceritakan berperilaku kekanak-kanakan, tak hanya sikapnya tapi juga IQ-nya yang sederajat dengan anak umur tujuh tahun, tak diceritakan mengapa, pokoknya begitu. Yang paling ajaib, bapaknya diperankan oleh Surya Saputra — yang bila Anda sering nonton film nasional Indonesia akhir-akhir ini Anda bakal ngeh bahwa ia belakangan memang sering kebagian peran sebagai Bapak.
Seperti misalnya sebagai Bapaknya Aliando dalam 'Asal Kau Bahagia', Bapaknya Amanda Rawles dalam 'Something in Between', Bapaknya Jefri Nichol dalam 'Dear Nathan Hello Salma'.
Mohon maaf, tanpa bermaksud apa-apa nih, tapi kok Surya Saputra sebagai Bapaknya Augie Fantinus rasa-rasanya lebih terkesan seperti penyangkalan terhadap hukum alam. Lantas saya berpikir, barangkali Ibunya yang jelek. Oalah saya salah! Ibunya ternyata diperankan oleh Unique Priscilla yang luar biasa cantik.
Singkat cerita, Ateng bertemu dengan Agung (juga diperankan Augie Fantinus), saudara kembarnya, seorang motivator yang masih tinggal serumah bersama ibunya. Lantas Ateng dan Agung bertukar tempat, Ateng menjadi Agung, Agung menjadi Ateng demi misi untuk lebih mengenal sosok orang tua yang sebelumnya tak pernah mereka kenali.
ADVERTISEMENT
Premis yang sangat kuno, sudah banyak diangkat barangkali ribuan kali dalam film-film India, film terbaru yang memiliki premis semacam ini dapat Anda temukan dalam 'The Princess Switch' yang tersedia di Netflix.
Pembuat film terlihat berupaya menghadirkan tokoh Ateng dan Agung sebagai karakter yang kontras satu sama lain; Ateng sebagai orang lugu dibenturkan dengan Agung yang mata duitan dan kurangnya rasa simpati dan empati terhadap orang-orang di sekelilingnya, konon keadaannya demikian selama 10 menit awal durasi film.
Kemudian tak ada hujan tak ada angin, Agung berubah seketika menjadi orang yang lebih baik secara moral. Karakter dirinya selama dua puluhan tahun yang ia kembangkan setahap demi setahap lenyap seketika, semudah membalikkan telor ceplok di atas wajan teflon.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi Ateng bukanlah sebuah komedi, ditulis sendiri oleh Monty Tiwa, ia nampaknya kebingungan — untuk tak menyebutnya kurang berbakat dalam ngebanyol, hingga porsi drama penguras air mata jauh lebih dominan ketimbang komedi yang saya percayai sesungguhnya menjadi jualan utama film ini.
Komedi dan drama dalam film ini tak hadir organis, terasa dipaksakan, lebih sering muncul sendiri-sendiri di luar konteks dialog/cerita.
Iskak diperankan oleh Soleh Solihun yang lagi-lagi tampil sebagai dirinya sendiri. Soleh Solihun adalah Soleh Solihun dalam film apa pun, Soleh Solihun adalah brand dengan citranya sendiri, jelas sebuah kesalahan mendapuknya menjadi Iskak manakala setiap kita melihat dirinya muncul, image Soleh Solihun lebih kuat ketimbang Iskak.
Ia bahkan tak terlihat berupaya sedikit pun untuk meniru gaya bicara Iskak, bagaimana mulutnya bergerak ala Iskak, bagaimana caranya berjalan, bagaimana bahasa tubuhnya. Duh, Soleh kok begitu amat. Padahal namanya Soleh lho.
ADVERTISEMENT
Secara tawaran cerita dan penyutradaraan, film ini amat medioker, diangkat untuk FTV rasanya lebih pas, dan kalau bisa disiarkan lewat tengah malam biar tidak mengganggu program lain yang jauh lebih berfaedah.
Tak hanya tawaran ceritanya yang menggelikan (bukan lucu tapi kok gini amat?), yang paling konyol adalah semua karakter yang tampil di film ini, seolah pembuat film ini tak pernah bergaul dengan manusia sungguhan — lantaran setiap karakter di film ini tak ada yang tampil nyata.
Menamai karakter yang diperankan Julie Estelle dengan nama Cemplon misalnya — entah bercandaan macam apa, dan kok mau-maunya ia main di film ini.
Tak ada nostalgia apa-apa dari film-film Ateng terdahulu, bahkan tanpa kata “Ateng” di judulnya pun, tanpa karakter bernama Ateng, sesungguhnya film ini bisa tetap jalan, dan barangkali dapat tampil jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
'Lagi-lagi Ateng' berakhir sebagai tontonan yang sederajat dengan 'Benyamin Biang Kerok' bikinan Hanung Bramantyo itu. Teu pararuguh kalau kata orang Sunda mah.