Konten dari Pengguna

Lola Amaria Konsisten Bercerita tentang Perempuan dalam '6,9 Detik'

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
30 September 2019 12:32 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shandy Gasella. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Shandy Gasella. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Pada hari Kamis, 26 September 2019, saya diajak nonton bareng film '6,9 Detik' oleh sutradaranya sendiri, Lola Amaria, di sebuah bioskop yang berlokasi di Pondok Indah Mall (PIM), Jakarta. Hari itu adalah hari pertama film tersebut ditayangkan untuk umum. Semula kami janjian bakal menonton film yang bercerita tentang kisah hidup Aries Susanti Rahayu, atlet panjat tebing perebut medali emas Asian Games 2018 itu, di Kemang Village, Jakarta. Tetapi, pada hari H, film tersebut rupanya tak ditayangkan di sana.
ADVERTISEMENT
"Aku bete nih, padahal aku udah minta (kepada eksibitor) jauh-jauh hari supaya filmku ini ditayangin di Kemang Village, karena di sana ada komunitas panjat tebing yang mau pada nobar (nonton bareng), enggak didengerin sama mereka!" Curhat Lola seketika kami bertemu di lobi bioskop.
Saya merasa perlu menyertakan omongan Lola tersebut, karena hal-hal yang ia utarakan berkaitan dengan bagaimana industri film di Indonesia berjalan, khususnya soal tata edar yang diurus, bukan oleh undang-undang, melainkan sepenuhnya oleh pihak bioskop. Sekehendak hati mereka.
Berpakaian santai dengan rok yang sedikit menutupi lutut, tanpa riasan wajah dan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai, Lola terlihat persis, masih se-ayu dahulu seperti kali pertama saya temui pada tahun 2006 sewaktu ia baru merampungkan 'Betina', film kedua yang diproduseri olehnya setelah 'Novel Tanpa Huruf ‘R’' (2003).
ADVERTISEMENT
Ditemani Tika Pramesti, Co-Directornya di film ini, mereka berdua memang sengaja nongkrong di lobi bioskop untuk menyambut orang-orang yang mau ikut nobar, dan Lola sendiri yang membagikan karcis nonton kepada satu per satu orang yang diundangnya.
“Enggak fair nih mereka (pihak bioskop). Aku enggak minta dikasih layar banyak, tapi tiga tempat yang aku minta, satu pun enggak dikasih!”
Dan saya cukup paham mengapa Lola sedemikian kecewa dan marah atas perlakuan eksibitor yang dianggapnya tak berlaku adil. Film yang disutradarai sekaligus diproduserinya ini memang bukan tontonan yang mewah. Film ini tidak diisi jajaran pemain beken, bintang utamanya sendiri malah sang tokoh betulan, Aries Susanti Rahayu, yang berperan sebagai dirinya sendiri. Maka, tak heran eksibitor cenderung menyepelekan film ini dengan mengalokasikan delapan layar untuknya, di hari pertama, yang tersebar di Jakarta paling pinggiran, dengan pengecualian; Plaza Senayan dan PIM.
ADVERTISEMENT
Berkiprah di belakang layar sebagai produser dilakoni Lola sejak 2003 via 'Novel Tanpa Huruf ‘R’', lantas sejak 2013 melalui Lola Amaria Production, rumah produksi yang ia dirikan, sudah enam film diproduserinya, lima di antaranya juga disutradarainya. Praktis Lola bukan orang baru di skena perfilman tanah air.
Walau begitu, pun dengan sederet karyanya yang senantiasa berbicara tentang suatu permasalahan yang cukup penting dan relevan; lewat 'Kisah 3 Titik' (2013) misalnya, ia berbicara ihwal ketiadakeadilan yang menerpa kaum buruh pabrik, lewat 'Jingga' (2016) ia berbicara ihwal kaum difabel, para tunanetra, yang jarang sekali ditampilkan sedemikian representatif dalam kebanyakan film Indonesia, tetapi Lola mampu menghadirkan mereka yang berkebutuhan khusus itu sebagai karakter-karakter yang ‘normal’ yang memiliki kisah hidupnya sendiri-sendiri yang sama normalnya dengan kebanyakan orang.
Film '6,9 Detik'. Foto: Dok. Lola Amaria Production
Lewat 'Lima' (2018), Lola mencoba membangun simulasi kehidupan bermasyarakat yang berasaskan falsafah hidup negara kita, yakni Pancasila, dan dengan adanya film tersebut, Kemendikbud mestinya tak perlu susah payah membuat rancangan buku ajar Pendidikan Pancasila bagi peserta didik, toh cukup dengan menonton film itu, nilai-nilai Pancasila bakal dengan mudah meresap dengan sendirinya ke dalam batin mereka.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, sedemikian konsisten membuat film yang sarat pesan dalam kemasan dengan nilai artistik di atas rata-rata, tak menjadikan Lola lebih istimewa dari sineas lain bagi eksibitor. Film-film bikinannya memang belum ada yang ditonton sampai sejuta orang (ukuran box office film Indonesia). Filmnya yang paling terkenal barangkali masih dipegang 'Minggu Pagi di Victoria Park' (2010), itu pun bukan film box office, Lola berperan sebagai sutradara dan pemain, tetapi kursi produser diisi orang lain.
“Bikin film (sebagai sutradara) tapi kamu enggak punya hak terhadap film itu, misalnya kamu mau bawa film itu ke sebuah festival atau event tertentu, dan kamu mesti minta izin dulu ke produser, itu ibarat kamu punya anak tapi kamu enggak dikasih hak asuh atas anak tersebut. Nyesek, enggak?”
ADVERTISEMENT
Kira-kira pemikiran itu yang mendasarinya untuk membangun rumah produksi sendiri, dan Lola berkilah salah dua alasan lainnya agar biaya pembuatan filmnya tak terlalu mahal karena ia dapat merangkap jabatan sebagai produser/sutradara/penulis sekaligus tanpa bayaran ekstra, dan kadang-kadang sekalian ikut jadi cast.
Tetapi, justru saya melihat bahwa caranya membuat film yang demikian itu, adalah sebuah privilese yang sedikit sekali dimiliki sineas lain, bahwa ia bisa memilih cerita apa yang ingin ia filmkan, yang ingin ia bagi kepada penonton, dan sejauh ini ia konsisten mengangkat kisah-kisah perempuan pejuang ke layar lebar.
Kali ini, lewat '6,9 Detik', Lola mengangkat kisah kehidupan seorang atlet perempuan panjat tebing peraih emas Asian Games 2018. Film biografi, tentang perempuan, tentang olahraga yang tidak populer, tentang perjuangan dan kemenangan, film ini menjadi istimewa bahkan sejak masih berupa premis.
ADVERTISEMENT
Ditulis Sinar Ayu Massie (Cinta dari Wamena, Lima), cerita dimulai di sebuah kampung di Grobogan, Jawa Tengah. Aries kecil (diperankan Kayla Ardianto), dipanggil Ayu, lebih sering menghabiskan waktunya bermain gundu, memanjat pohon, dan berlari-larian bersama teman-teman lelakinya. Potongan rambut pendeknya semakin menegaskan ketomboyannya. Saat Bapaknya, diperankan Rukman Rosadi yang selalu tampil mengesankan, sedang menerima tamu di teras depan rumah sementara Ayu sedang bermain gundu, si tamu berkomentar ihwal Ayu, anak perempuan kok bermain gundu. Sambil berjalan masuk ke dalam rumah melewati Bapak dan tamunya, dengan lantang Ayu berujar, “Aku anak lanang!” Dan Bapak terkekeh saja. Tak ada adegan klise Bapak memarahi anaknya, berceramah soal apa yang benar dan tak benar.
Film '6,9 Detik' Foto: YouTube
Di sekolah, Ayu aktif bermain permainan yang menguras tenaga fisik, seringkali dilakukan bersama teman-teman lelakinya tentu saja, hingga guru di sekolahnya pun melihat bakat Ayu dan memilihnya untuk mewakili sekolah dalam lomba lari, dan Ayu berhasil membawa pulang piala.
ADVERTISEMENT
Namun, ada yang mengganjal dalam diri Ayu kecil yang terus terbawa hingga ia dewasa, ada rasa kesal, marah, dan kecewa yang seolah bercampur aduk dalam dirinya, dan itu terpancar lewat raut muka dan gelagatnya. Ayu hanya sempat bersama berkumpul dengan ibunya sesaat saja, lantaran sang ibu mesti bekerja ke Arab Saudi menjadi babu.
Subplot ibu bekerja ke Arab Saudi memang tak dieksploitasi betul oleh pembuat film, tidak dibikin menjadi drama tersendiri, tetapi bagi penonton yang cukup peka, pasti ngeh bahwa pembuat film sesungguhnya sedang menyajikan sebuah konteks sosial dengan cara yang subtil; tentang kemiskinan, tentang perjuangan kaum perempuan—Ibu berani bekerja di negeri orang demi menghidupi keluarganya, dan kita dapat mengerti itu tanpa perlu dijelaskan panjang lebar lewat untaian dialog.
ADVERTISEMENT
Kepergian ibunya meninggalkan rongga dalam diri Ayu. Tak ada tempatnya untuk mengadu atau berkeluh kesah lantas mencari senderan kepala, kepada sang ibu ia merindu. “Bu, aku kangen...” Ratap Ayu sambil menatap air di dalam gentong, sesuatu yang diajarkan ibunya jika ia sedang rindu. Ritual ini ia lakukan bahkan hingga ia dewasa. Selain tekadnya dan sifat 'kelaki-lakiannya' yang kuat, sosok ibu ikut memacunya menjadi pribadi yang penuh determinasi.
Cara penceritaan seperti ini yang saya sukai, walau ia sebuah film bergenre olahraga, film mestilah punya cerita, karakter utama mestilah punya latar belakang, mengapa ia demikian, pengalaman apa yang ia tempuh hingga ia sampai di sebuah persimpangan hidup, secara halus pembuat film ini mampu menghadirkan kisah manusia, mampu mengunci kenyataan—dalam hal ini, kisah hidup sang atlet menjadi tontonan yang penuh akan rasa dan karsa.
ADVERTISEMENT
Ayu kecil lantas beranjak remaja (diperankan Nesya Chandria) dan mulai mengenal olahraga panjat tebing. Namanya direkomendasikan gurunya kepada seorang pelatih (diperankan Rangga Djoned) yang sedang mencari atlet perempuan untuk digemblengnya. Tentu saja Ayu—kemudian namanya berganti jadi Aries, menjadi atlet yang diharapkan. Hingga, ia pada akhirnya direkrut Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) dan dimasukkan ke pemusatan latihan nasional di Yogyakarta, bersiap untuk diturunkan pada Asian Games 2018.
Film bergenre olahraga langka dibuat di negeri ini, apalagi yang dibuat dengan kedalaman cerita, lebih langka lagi. Bahwa ini adalah film pesanan, ya memang film ini didanai FPTI, tetapi lantas tak menjadikannya propaganda semata.
Atlet panjat tebing, Aries Susanti Rahayu. Foto: Dok Priadi/Aries Susanti Rahayu
Sebagai sebuah produk seni, ia karya yang indah. Saya mengapresiasi betul penggunaan bahasa Jawa yang dituturkan dengan logatnya yang sesuai, juga pemilihan lokasi yang berhasil membetot kita seolah ikut menapak tilas bersama Aries, mengenang masa-masa kecilnya dahulu di Grobogan.
ADVERTISEMENT
Film ini indah lantaran karakterisasi tokohnya kaya, juga adanya pendalaman masalah, dan terutama masalah batin yang dihadapi tokohnya, hingga apa yang kita saksikan tidak sama dengan apa yang banyak tersaji sebagai berita dan cerita di lini masa Twitter atau portal-portal berita. Bila ada yang perlu disayangkan, adalah babak penutup yang terkesan ditulis secara tergesa-gesa. Episode masa kecil Aries hingga remaja mengalir cukup enak dan terjaga, sebaliknya episode ia dewasa bergerak menyamai kecepatan Aries dalam memanjat tebing, melesat cepat, satu dua kedip tiba-tiba ia sudah di ujung saja.
Pengarahan Lola juga dalam mereka ulang adegan pamungkas, yakni pertandingan panjat tebing Asian Games, kurang maksimal. Lola menggabungkan real footage, seluruhnya dalam full shot yang menampilkan Aries dan lawan-lawannya berlomba adu cepat, dan footage yang ia syut, sayangnya tidak dalam variasi shot yang lain, sama-sama dalam full shot sehingga sulit membedakan mana yang asli dan mana yang hasil syutingan. Padahal adegan Asian Games tersebut semestinya jadi kulminasi atas segala jerih payah Aries, adegan ini mesti penuh adrelin, dan thrilling (mendebarkan). Medium shot atau close up bahkan big close up dalam slow motion misalnya bakal menarik bila dipakai untuk menangkap emosi Aries tatkala ia melesat memanjat tebing meninggalkan lawawannya di belakang.
ADVERTISEMENT
Dalam ketergesaan, dalam durasi tujuh detik, diperlihatkan dari kejauhan, sulit rasanya untuk saya ikut terlibat secara emosi atas kemenangan yang diraih Aries di pengujung film. Terasa hambar, dan seolah terlalu mudah ia raih. Dalam storytelling semacam ini, tentang hero to zero, adegan pertandingan, demi efek dramatik, memang selaiknya dilebih-lebihkan, tak mengapa, toh ini bukan dokumenter. Dan, saya berharap ada adegan penutup yang menjadi rekonsiliasi antara Ibu dan Aries, sayang, sudah dengan begitu baik ditulis dari babak awal hingga tengah, justru di ujung dibiarkan begitu saja, seolah tak ada apa-apa antara Ibu dan Aries.
Tetapi, secara keseluruhan saya cukup puas dengan apa yang dicapai Lola lewat film ini. Unsur teknis tak begitu mengganggu saya tatkala menyaksikan film apa pun, asal ia punya narasi yang kuat, dan didukung para pemain yang cekatan memainkan perannya masing-masing. Dan film ini memiliki itu.
ADVERTISEMENT
Membuat cerita pesanan menjadi indah dan bernilai seni tentu tidaklah mudah. Hanya segelintir yang berani dan mampu melakukannya. Lola Amaria adalah satu dari segelintir itu, yang konsisten dan selalu berhasil memadukan propaganda dan kesenian itu.