Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Long Shot: Ringan, Kocak, dan Sarat Makna
7 Mei 2019 12:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★1/2☆☆ | Shandy Gasella
Di era industri film Hollywood yang tengah gencar jualan film superhero dan film waralaba, saya kira genre komedi romantis sudah memasuki masa senja kalanya, untuk tak menyebutnya sudah tak laku lagi.
ADVERTISEMENT
Lihat saja beberapa tahun belakangan ini, film komedi romantis lebih sering muncul lewat Netflix--sebagai film panjang original bikinan studio kecil. Komedi romantis sudah jarang diproduksi studio besar untuk kemudian dijajakan di layar-layar bioskop.
Kemunculan Long Shot karya Jonathan Levine (50/50, Warm Bodies) bak hidangan takjil yang menyegarkan setelah sekian lama kita berpuasa menonton komedi romantis. Dan sudah selayaknya kita cicipi dengan segera--apa tidak bosan kalian menonton film superhero melulu?
Long Shot yang naskahnya ditulis Dan Sterling (The Interview) dan Elizabeth Hannah (The Post) ini adalah sejenis film yang dapat mengajak kita tertawa happy-happy, melupakan rutinitas sejenak, dan syukur-syukur kita bisa membawa 'pelajaran' atau sesuatu hal untuk diperbincangkan lebih jauh setelah khatam menyaksikannya.
ADVERTISEMENT
Adalah tugas pembuat film komedi romantis untuk dapat meramu sebuah kisah cinta agar menjadi asyik, menjadi seru, sehingga walaupun kita sadari bahwa film yang tengah kita tonton adalah cerita bohongan, tetapi kita dibikin rela untuk menepis realitas dan logika. Pembuat film ini berhasil, setidaknya bagi saya, untuk terpesona dan jatuh hati pada kisah yang disajikannya.
Secara premis, film ini sekilas mirip dengan Notting Hill (Roger Michell, 1999) yang berkisah ihwal seorang superstar Hollywood, Anna Scott (Julia Roberts), pada satu hari masuk ke sebuah toko buku kecil, lantas jatuh cinta kepada William Thacker (Hugh Grant), lelaki biasa-biasa saja, sekaligus pemilik toko buku tersebut. Walau bukan hal yang mustahil memang, Hugh Grant sebagai karakter orang biasa tampaknya tak tampil biasa-biasa amat. Ia memiliki karisma yang menawan, dan barangkali oleh sebab itu kita ingin agar mereka dapat bersama dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Dalam Long Shot, sutradara Jonathan Levine punya tugas yang lebih berat untuk meyakinkan kita bahwa wanita seglam Charlize Theron dapat dibuat klepek-klepek oleh sesosok pria seperti Seth Rogen! Sudahlah tidak ganteng, pengangguran pula.
Alkisah Fred Flarsky (Seth Rogen, Superbad, Knocked Up), seorang wartawan idealis, baru menyadari bahwa perusahaan tempatnya bekerja baru saja dibeli oleh seorang pengusaha/politikus bernama Parker Wembley (Andy Serkis, Mowgli, Black Panther), yang amat ia benci dan ia anggap sebagai penjahat media. Sebagai perwujudan protesnya, ia mengundurkan diri.
Padahal ia baru saja berhasil menyusup ke sebuah perkumpulan white supremacist, dan hampir celaka, demi sebuah laporan investigatif yang sedang ia persiapkan. Adegan ini menjadi pembuka yang sungguh jenaka, sekaligus menjadi babak perkenalan karakternya yang efektif. Kita langsung tahu tabiat seperti apa yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Bete karena dibikin menganggur, ia menemui sahabatnya, Lance (O’Shea Jackson Jr, Straight Outta Campton, Den of Thieves), untuk mendapatkan penghiburan. Lance lantas membawanya ke sebuah pesta amal di mana Boyz II Men menjadi pengisi acaranya.
Nah, anak milenial yang baru lahir di tahun 90-an enggak akan ngerti nih apa kerennya boyband berkulit hitam tersebut. Tetapi, masih ada satu dua hal lain yang bakal bikin kalian ngakak kok.
Di pesta amal tersebut, Fred bertatapan dengan Charlotte Field (Charlize Theron, Mad Max: Fury Road, Monster), Menlu AS, yang ternyata pernah menjadi babysitter-nya, dan sekaligus seorang yang pernah ia taksir saat ia masih bocah. Kebetulan di pesta itu pun si penjahat media hadir. Fred melabraknya, dan Charlotte memerhatikannya.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, Charlotte meminang Fred untuk menjadi penulis pidatonya. Ia tengah mempersiapkan dirinya untuk pemilu 2020 sebagai bakal calon presiden, didukung presiden yang tengah menjabat, Presiden Chambers (Bob Odenkirk, Better Call Saul), bekas bintang TV terkenal yang kemudian ingin lebih fokus menjadi bintang film.
Terdengar familiar? Itu karena film ini memang tengah mengomentari situasi politik Amerika sekarang, termasuk peran media yang dapat disetir oleh sekelompok konglomerat.
Maka, bersama dua orang staf Charlotte (dimainkan dengan amat kocak oleh Diane Raphael dan Ravi Patel), Fred dan Charlotte pun keliling dunia, menghadiri acara anu dan anu, sambil pada akhirnya pedekate, menyadari bahwa keduanya tengah jatuh cinta.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita sudah bisa menebak ke mana arah tujuan film. Charlotte dan Fred semakin dekat seiring waktu, dan seiring kebersamaan mereka ketika menggarap naskah-naskah pidato. Tetapi, hubungan mereka tak selalu mulus, terkadang mereka mesti ngotot-ngototan mempertahankan argumen masing-masing. Seperti misalnya dalam sebuah adegan ketika Fred memarahi Charlotte lantaran kecewa kepadanya, yang berkompromi, menyisihkan nilai-nilai luhur yang ia perjuangkan, demi karier politiknya tetap berjalan.
“Kali ini kau sudah kelewat batas. Lagi pula aku ini bosmu!” hardik Charlotte kepada Fred, memberi bumbu-bumbu agar film ini tak kehabisan konflik.
Pada mulanya saya tak mengira bahwa Charlize Theron dan Seth Rogen dapat bertukar chemistry satu sama lain, tetapi percayalah, keduanya tampil meyakinkan sebagai orang yang sedang dimabuk cinta. Charlize dan Seth menunjukkan perpaduan unik antara gaya berkelas dan kampungan, humor dan kebesaran hati, dan berhasil!
ADVERTISEMENT
Percikan cinta beterbangan. Dan, sebelum Anda menyadarinya, film ini sudah melangkah ke wilayah yang lain, yang sudah cukup baik kita akrabi, yakni kisah Pretty Woman yang terbalik, atau Notting Hill yang kebetulan melibatkan unsur politik (lengkap dengan komentar-komentar sinisnya atas situasi politik kekinian).
Tetapi kemudian, film yang tak berhenti menggedor saraf-saraf tawa kita ini, berjalan lebih dalam dari itu, ia tak sekadar menjadi film ringan yang nihil makna. Ada banyak 'pesan' yang tersirat, misalnya tentang perlakuan tak adil terhadap perempuan dari media, praktik politik yang dangkal, dan isu-isu gender seperti perlunya kaum laki-laki untuk mendukung para perempuan dalam hidup mereka, bahkan jika para perempuan itu lebih sukses daripada mereka.
ADVERTISEMENT
Pikiran-pikiran semacam itulah yang membuat saya merenung sehabis menyaksikan film ini, ternyata film komedi romantis yang begitu ringan ini, jelas bukan kelas Oscar, justru dapat menjadi katalis untuk memulai perbincangan yang serius di dunia nyata.