Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mile 22: Ketika Mark Wahlberg Kalah Karismatik dari Iko Uwais
23 Agustus 2018 14:20 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Mark Wahlberg reuni kembali bersama sutradara Peter Berg ('Lone Survivor', 'Patriots Day') dalam sebuah action-thriller berjudul 'Mile 22', menjadikannya reuni ke-4. Namun kali ini hasil kolaborasi mereka tak sesuai harapan saya-- bila menilik kembali tiga film hasil kolaborasi mereka sebelumnya yakni 'Lone Survivor'; drama-thriller yang berkisah tentang sebuah misi Angkatan Laut Amerika yang berakhir berantakan, 'Deepwater Horizon'; tentang para pekerja tambang minyak di laut lepas yang mesti bertahan hidup ketika tambang tempat mereka bekerja meledak, dan 'Patriots Day'; film berdasarkan peristiwa pemboman di Boston yang terjadi pada tahun 2013-- ketiga film berdasarkan kisah nyata tersebut cukup baik digarap oleh Berg, sedangkan 'Mile 22' ini berakhir sebagai tontonan yang lebih menyerupai sebuah episode awal dari serial TV berbujet mahal.
ADVERTISEMENT
Film yang juga dibintangi aktor dan ahli bela diri silat Iko Uwais ini memang tak mengecewakan dari segi suguhan action, tetapi secara keseluruhan film ini gagal membangun thriller yang menarik lantaran narasinya yang membingungkan, heboh sendiri, dan terlalu maksa menjual film ini sebagai awal dari sebuah franchise seperti 'Jack Ryan' atau 'Mission Impossible' misalnya.
Namun, kedua judul terakhir yang saya sebutkan memberikan kita tontonan dengan satu cerita utuh, urusan kemudian ada sekuel itu perkara lain. Nah, 'Mile 22' dari awal sadar betul bahwa ia adalah episode 1 dari episode-episode lanjutan yang direncanakan bakal hadir. Film ini memiliki ending seperti kebanyakan film kita dengan judul-judul yang diberi akhiran "Part 1".
ADVERTISEMENT
Barangkali selain menemukan Iko Uwais, Hollywood juga kini belajar dari industri perfilman Indonesia tentang bagaimana memecah sebuah film yang semestinya selesai dalam satu film menjadi dua bagian atau lebih agar lebih banyak lagi uang yang mereka dapatkan. Sebagai catatan, film ini tak termasuk golongan blockbuster, dibiayai hanya 35 Juta Dolar Amerika, menjadikannya film yang tergolong berbiaya murah dalam standar produksi Hollywood.
Film dibuka sebuah adegan yang memperkenalkan jagoan kita, James Silva (Mark Wahlberg, 'The Big Hit', 'Lone Survivor') dan para anak buahnya ketika sedang beraksi dalam sebuah misi penyergapan teroris berkebangsaan Rusia yang bersembunyi di sebuah safe house. James menunggu di luar dengan senapan snipernya, sedangkan para anak buahnya mendekati pintu rumah terduga, dan lantas memaksa masuk dengan menodongkan senjata dan meledakkan bom tangan.
ADVERTISEMENT
Nun jauh di sana, James dan para anak buahnya ini diberikan perintah oleh seorang atasan (dimainkan John Malkovich sebagai "Mother") yang juga bekerja bersama anak buahnya dari lokasi rahasia, James dan anak buahnya ia panggil dengan sebutan "Child 1", "Child 2", dan seterusnya. Target operasi mereka ini diawasi sebuah drone yang dikendalikannya, tanda-tanda vital seperti detak jantung James dan krunya juga dimonitor.
Kita yang menonton barangkali akan tercengang dan terkejoed, wow canggih banget. Misi mereka sederhana; menyergap rumah tersebut dan mengambil beberapa barang bukti dan material bom berbahaya. Sayang, operasi berakhir berantakan, barang bukti tak dapat diraih dan semua orang Rusia di rumah itu mesti dihabisi, termasuk seorang pemuda yang nyawanya direnggut oleh James.
ADVERTISEMENT
"Kau melakukan sebuah kesalah besar!" Ujar sang pemuda sesaat sebelum batok kepalanya bolong ditembus peluru dari jarak dekat.
16 bulan kemudian, James dan anak buahnya, Alice (Lauran Cohan, 'Batman vs Superman: Dawn of Justice', 'The Boy'), dan Sam (Ronda Rousey, 'Furious 7', 'The Expendables 3') berada di sebuah kota bernama Indocarr City di Asia Tenggara (tak disebut secara rinci negara mana tetapi penduduk setempat berbicara dalam bahasa Indonesia). Misi mereka mencari tahu lokasi-lokasi di mana bom berkekuatan gabungan bom atom Hiroshima-Nagasi akan diledakkan teroris Rusia.
Informasi mengenai hal tersebut dimiliki oleh Li Noor (Iko Uwais, 'The Raid', 'Star Wars: Episode VII - The Force Awakens'), seorang polisi setempat yang mendatangi kedutaan Amerika lantas menawarkan informasi tersebut yang tersimpan dalam sebuah disk terenkripsi password dengan imbalan suaka untuknya ke Amerika. Li Noor adalah informan Alice dan ia yang meyakinkan James bahwa dirinya dapat dipercaya.
ADVERTISEMENT
Li berunding dengan James dan menyatakan bersedia memberikan password untuk membuka disk berisi lokasi-lokasi tempat penyimpanan material bom tersebut bila ia sudah diantarkan masuk ke pesawat menuju Amerika. Judul 'Mile 22' merujuk pada jarak sejauh 22 mil dari Kedubes Amerika ke titik penjemputan di mana sebuah pesawat militer Amerika bersiap untuk mengantarnya mendapatkan suaka yang diminta.
Tetapi perjalanan sejauh 22 mil tersebut begitu berat dan memakan tumbal nyawa yang banyak lantaran Li dikejar sepasukan khusus pemerintah setempat yang tak menginginkannya untuk meninggalkan negara dengan potensi dapat membocorkan rahasia negara ke pihak asing. Maka, aksi kejar-kejaran seru penuh adrelin, tembak-tembakan, dan juga pertarungan tangan kosong mematikan nan brutal hadir sepanjang film berdurasi 94 menit ini.
ADVERTISEMENT
Ketika establishing shot Indocarr City muncul, lantas ada penampakan orang beretnis India, seorang penonton di samping saya ketika kami sama-sama menontonnya di bioskop bergumam pada teman di sebelahnya, "Oh, ini di India." Dan sekian detik kemudian ketika beberapa wajah orang melayu tampil ia lantas menebak lagi, "Oh, di Filipina kali nih." Jelas ia tak yakin bahwa kota yang ditampilkan film ini adalah sebuah kota di Indonesia. Dan, memang amat disesalkan bahwa keputusan pembuat film untuk memfiktifkan nama kota di mana sebagian besar kisah film ini berlokasi tak memiliki justifikasi apa-apa.
Si penonton yang duduk di sebelah saya ini semakin mumet manakala Li Noor dan Alice sempat saling bertukar dialog dalam bahasa Indonesia. Dan ketika Li diperlihatkan memainkan jari-jemarinya dalam beberapa adegan, dengan polosnya -- saya tak berani menyebutnya dungu, kembali berujar, "Oh, dia lagi dzikir." Tanpa kehadiran si penonton ini, barangkali saya akan sedikit ngantuk menyaksikan film yang dipenuhi dialog-dialog sok njelimet biar terkesan pinter padahal omong kosong karangan penulis skenario debutan Lea Carpenter disertai editan yang bikin mumet juga hasil kerja Melissa Lawson Cheung (Serial TV 'Outlander') dan Colby Parker Jr. ('Ant-Man', 'Battleship').
James ngoceh terus sepanjang film, dan manakala Li muncul saya mengucap hamdalah dalam hati lantaran untuk sekian menit telinga saya tak tersakiti, dan ada bonus adegan-adegan kelahi yang seru ala 'The Raid' yang koreografiya dikerjakan sendiri oleh Iko.
ADVERTISEMENT
Peter Berg menggunakan teknik syuting gerilya seperti yang dipakainya kala menggarap 'Patriots Day' dengan insert-insert footage kamera CCTV yang amat banyak, dan cuma sekadar itu tanpa diimbangi upaya-upaya lain. Ia mempercayakan departemen sinematografi pada seorang mantan operator kamera, Jacques Jouffret, untuk merekam sekuen-sekuen action yang penuh kericuhan, mestinya sekuen-sekuen itu tampil menegangkan nan seru bikin merinding, tapi di tangannya malah tampil biasa saja, bahkan kacau sebab editingnya juga ancur-ancuran.
Iko Uwais jelas menjadi bintang sesungguhnya di film ini. Karakter, dan motifnya dalam film ini jauh lebih menarik ketimbang karakter James sang tokoh jagoan utama, dan keterlibatannya sebagai seorang aktor Indonesia dalam film Hollywood barangkali baru ini yang betul-betul dianggap serius, bukan sekadar ada aktor asia-nya lantas diberi peran ala kadarnya. Iko, lewat film ini, menorehkan sejarah yang akan dikenang terus dalam khazanah perfilman dunia.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari segala kekurangannya, sekuel film ini yang skenarionya sedang digarap saat ini, jelas saya nantikan. Menilai dari ending film ini, porsi Iko Uwais bakal jauh lebih banyak lagi. Mudah-mudahan Peter Berg mengganti penulis skenario, penata kamera dan editor untuk film selanjutnya. Kalo enggak, itu sih kebangetan.