'Once Upon a Time in Indonesia' Menggeser 'D.P.O.' sebagai Film Action Terjelek

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
24 November 2020 15:48 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
0/☆☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Empat tahun lalu pernah ada film berjudul 'D.P.O.' yang saya sebut, bahwa dengan menilai film tersebut sebagai tontonan yang jelek, adalah penghinaan terhadap kata 'jelek' itu sendiri. Menurut penilaian saya kala itu, film arahan LM Belgant tersebut tak ada tandinganya dalam hal kejelekan. Ia lebih jelek dari jelek, core of the core.
Media promosi film Once Upon a Time in Indonesia yang ditayangkan Disney+ Hotstar | Dok. Disney+ Hotstar
Lantas, siapa yang menduga, di pengujung tahun 2020 Asun Mawardi, sutradara lulusan New York Film Academy, Los Angeles, merilis film arahannya berjudul 'Once Upon a Time in Indonesia' melalui platform streaming Disney+ Hotstar, ironisnya bukan untuk menghibur keluarga Indonesia sebagaimana misi mulia dari Disney, tetapi untuk meneror dan menyiksa mental kita. Kejam! 'Once Upon a Time in Indonesia' pun secara sah merebut posisi teratas sebagai film action terjelek dalam segala aspek, yang telah dipertahankan 'D.P.O.' selama empat tahun terakhir!
ADVERTISEMENT
Percayalah yang saya katakan ini tak lebih kejam dari filmnya sendiri. Selepas menonton rasanya saya ingin pergi ke dokter bedah otak, lantas minta operasi untuk menghilangkan memori tentang film ini, sebab ia meninggalkan kesan yang teramat buruk. Berhari-hari mood saya rusak karenanya. Bahkan menurut teman saya yang seorang dokter, gejala yang nampak pada diri saya pasca menonton film berdurasi dua setengah jam ini mirip dengan yang ditemukan pada pasien-pasiennya yang menderita depresi. Teman saya kemudian meresepkan obat penenang. Jadi, ulasan ini saya buat dalam keadaan tenang, sama sekali tak terpengaruh sentimen atau rasa kesal apa pun.
Sang jagoan kita, Max (eks banker berambut gondrong) yang jatuh hati pada anak buah musuhnya sendiri bernama Kay (diperankan Ryana Dea, kiri) | Dok. Disney+ Hotstar
Once upon a time... atau dalam bahasa kita, pada suatu ketika... hiduplah seorang banker bernama Max (Franki Darmawan) yang ngantor di Bank Mandiri KC Jakarta Kebon Sirih. Memperhatikan dirinya duduk di belakang meja yang terletak di lantai dasar dan di aula bank tersebut, nampaknya ia seorang customer service officer (CSO). Tetapi, ia tak bekerja dan tak nampak laiknya seorang CSO bank. Pertama, rambutnya gondrong. Dan tak ada upaya untuk menyembunyikan kegondrongannya dengan misalnya menyisir klimis rambutnya ke arah belakang, untuk meminimalisir efek gondrong tersebut. Ia biarkan rambut gondrongnya tergerai begitu saja. Kedua, ia hanya melayani nasabah yang memohon pinjaman. Di bank konvensional, petugas yang bekerja menangani pinjaman biasanya disebut Account Officer, bekerja secara tim, walau diberi target sendiri-sendiri, tetapi biasanya kubikel kerjanya berdekatan atau bahkan nimbrung dengan sesama kolega, bukan nongkrong sendiri-sendiri di front office.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan Max selalu menyetujui permohonan pinjaman dari para nasabah yang menemuinya, terlepas memenuhi syarat atau tidak. Maka, atasannya pun, yang seumuran dengannya, memecatnya. Janggal seorang atasan, dalam hal ini yang dapat memecat pegawai bank BUMN, seumuran dengan seorang frontliner, padahal ia mestinya seorang Kepala Cabang, itu pun ia hanya dapat merekomendasikan pemecatan, departemen kepegawaian di kantor pusatlah yang kemudian bakal menurunkan SK pemecatan, dan tentu ada pesangonnya bila Max seorang pegawai tetap. Tetapi, jarang pegawai bank BUMN dipecat karena masalah kecil, kecuali melakukan fraud yang fatal yang melanggar pidana. Anyway, selepas dipecat, Max tak punya uang sama sekali.
Still adegan film Once Upon a Time in Indonesia | Dok. Disney+ Hotstar
Kemudian Max menemui sahabatnya bernama Leo (Djaitov Tigor) yang tampak 30 tahun lebih tua darinya. Leo bekerja sebagai security klub malam dan tempat perjudian ilegal. Bla bla bla seiring cerita bergulir, bosnya Leo yang juga seorang rentenir kemudian mengenal Max dan memintanya untuk menyerahkan daftar nama para nasabahnya untuk mereka garap. Max menolak. Baku hantam terjadi, dan Max babak belur hingga dilarikan ke RSUD Pasar Minggu di Cilandak KKO, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Leo dan istrinya, yang ternyata adik Max sendiri, kewalahan mencari uang untuk membayar biaya pengobatan rumah sakit. Padahal mereka tinggal di rumah yang besar dan mevvah. Rumah yang saya taksir seharga minimal 10 Miliar jika berlokasi di Jakarta. Dan mobil yang mereka kendarai saja bukan kaleng-kaleng. Kok mereka bisa pusing hanya karena persoalan biaya rumah sakit akibat kena pukul?
Max tak luka serius, tak sampai masuk ICU, hanya jidatnya saja diperban seperti yang biasa kita lihat di sinetron-sinetron. Apakah mukanya bonyok? Tidak. Tak nampak lecet segores pun. Mana dirawatnya di RSUD Pasar Minggu pula, bukan RS Pondok Indah atau Siloam misalnya, lalu kenapa mereka begitu kebingungan mencari biaya berobat? Masa BPJS saja tidak punya? Masa hal se-tak-masuk-akal dan semenggelikan itu bisa kepikiran oleh Asun Mawardi dan Matthew Ryan Fischer sebagai duo penulis naskah?
ADVERTISEMENT
Apakah di mata mereka kita sebagai penonton sedemikian bodohnya? Mentang-mentang kuliah film di luar negeri, lantas memandang penonton film di Indonesia sedemikian terbelakangkah? Saya sungguh merasa terhina, diperlakukan sebagai penonton bodoh dan dimanfaatkan begitu saja, dikelabui dengan disodori film yang dibuat seolah secara asal-asalan ini, asal-asalan dalam soal gagasan dan juga teknis.
Agar saya tak terdengar asal kecap, mari saya lanjutkan sedikit ceritanya. Max kemudian dikisahkan keluar dari rumah sakit, tetapi biaya berobatnya belum dilunasi! Baru kali ini saya tahu bahwa kita dapat keluar atau pulang dari pengobatan rumah sakit tanpa terlebih dahulu melunasi tagihan. Max luntang lantung di jalanan Bandung mencari pekerjaan. Di Bandung lho! Tepatnya di sekitaran Jalan Braga. Lalu dia pun sempat masuk kembali ke kantor lamanya, yakni di Bank Mandiri KC Jakarta Kebon Sirih, tetapi ditolak oleh orang yang sama yang memecatnya. Berjalan keluar dari kantor lamanya itu, lalu dia kembali terlihat menyusuri jalanan Bandung! Aduh, Gusti... pararusing!
ADVERTISEMENT
Saya paham bagaimana proses syuting sebuah film. Saya paham bila pembuat film berniat membuat jalanan Bandung itu seolah-olah berada di Jakarta, misalnya. Ya, tetapi hal itu dapat tercapai bila tempat-tempat ikonis atau nama jalan yang sebenarnya tak ikut terekam! Malahan dengan sengaja pembuat film ini juga menghadirkan shot-shot yang menampilkan landmark ikonis seperti jalan layang Pasupati Bandung yang terkenal itu! Jadi, semesta tempat film ini di mana? Jakarta atau Bandung? Ratno Andhy Syamsuarry, siapa pun Anda yang bertindak sebagai penata artistik di bawah komando Asun Mawardi tentu saja gagal bekerja, tak terlihat ada effort-nya sama sekali. Nutupin plang nama jalan saja tak becus.
Berdurasi dua setengah jam, Asun berfoya-foya menghadirkan babak demi babak drama yang tak perlu, padahal jualan utamanya action. Mestinya to the point saja, tak perlu banyak cingcong, bak bik buk saja, mungkin film ini bakal jadi sedikit lebih dapat dinikmati. Entah apa yang ada di benak sutradara untuk bersikukuh memaksakan para pemain yang memang terlihat jago kala beradu koreografi kelahi, tetapi untuk berakting, bahkan untuk berdialog saja, masih amat kaku, melebihi kakunya kanebo kering. Dan ya Tuhan... dialog-dialognya ditulis seolah bukan oleh manusia, tetapi oleh seekor burung beo yang baru belajar bicara.
Still adegan film Once Upon a Time in Indonesia | Dok. Disney+ Hotstar
Menyaksikan para pemain ini berdialog dengan barisan kalimat yang terlontar, sungguh menguras otak saya untuk memprosesnya kembali agar saya mengerti konteks dan nuansanya. Tetapi, lebih sering saya kepayahan menerjemahkan kembali dialog-dialog tersebut di benak saya, dan itu membuat frustrasi. Belum lagi rasa geli di telinga yang tak tertahankan, juga secara visual film ini pun amat mengganggu. Sungguh sebuah paket combo yang mematikan!
ADVERTISEMENT
Iwan Kustiawan sebagai penata kamera dan Lilik Sutriono sebagai operator kamera jelas tak menguasai teknik-teknik maupun teori-teori dasar sinematografi. Teknik yang mereka kuasai betul nampaknya cuma satu, yaitu teknik astrada. Asal terang gambar ada. Begitu film masuk pascaproduksi, diedit oleh Saniya Dewi yang bahkan skill editing-nya saya anggap di bawah rata-rata skill editor yang mahir Windows Movie Maker. Belum lagi film ini tak nampak dipoles teknis pewarnaan tertentu (color grading), menjadikannya terlihat belang bentong. Mungkin bila disaksikan lewat layar ponsel seukuran lima inci masih oke, tetapi saya menyaksikan film ini lewat layar TV pintar bermonitor 4K 55 inci, maka terang benderanglah segala kekurangan yang ada pada film ini. Makanya saya dapat menulis review sedetail ini. Dan saya sedang tak mengada-ada.
ADVERTISEMENT
Film produksi Creative Motion Pictures ini masuk Disney+ Hotstar dengan cara "nebeng" lewat production house RA Pictures milik Raffi Ahmad. Menimbang sedemikian rendah kualitas film ini dari segala aspek, saya heran bagaimana kurasi dari pihak Disney+ Hotstar berjalan. Apakah kurator Disney+ Hotstar tak punya taste soal film atau memang mereka seputus asa itu mencari konten film lokal untuk dapat ditambahkan ke dalam library mereka setiap hari Jumat? Entahlah.
Satu hal yang pasti, bila di dunia kedokteran kita dapat menjumpai adanya kasus malpraktik yang diakibatkan seorang dokter yang lalai atau tak menguasai profesinya hingga mengancam keselamatan pasien, maka Asun Mawardi bertindak serupa itu. Ia juga malpraktik dengan membuat film ini.
Sebagai lulusan New York Film Academy, banyak sekali prinsip filmmaking yang ia langgar, bukan dalam semangat indie filmmaking yang secara sadar melabrak pakem mainstream filmmaking misalnya, tetapi memang nampaknya ia kurang menguasai bidang yang ditekuninya ini hingga teknik syuting yang baik yang paling sederhana pun dilabraknya. Atau bisa juga referensi-referensi film yang dimilikinya kurang beragam. Entahlah, kita hanya dapat berasumsi seliar mungkin. Seorang teman saya sempat nge-tweet menyebut film ini serupa film action Hong Kong era 90-an. Oh tidak, dibandingkan film action Hong Kong era mana pun, film ini jauh dari mendekatinya.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, saya heran apakah tim kurasi Disney+ Hotstar tidak menelaah terlebih dahulu, menonton preview screener film ini sebelum mengakuisisi hak tayangnya? Saya sebagai salah seorang pelanggan setia Disney+ Hotstar yang percaya akan nilai-nilai yang dijunjung Disney dalam hal inovasi, kualitas, komunitas, storytelling, optimisme dan kepatutan, merasa terganggu dan terkhianati akan hadirnya film ini, sebab 'Once Upon a Time in Indonesia' garapan Asun Mawardi ini tak memiliki sedikit pun nilai-nilai yang dijunjung Disney seperti yang saya sebutkan tadi, yakni inovasi, kualitas, komunitas, storytelling, optimisme, dan kepatutan.
Baca ulasan film lainnya dari Shandy Gasella di sini.