Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Onward: Formulaik, tapi Meninggalkan Kesan Mendalam
6 Maret 2020 14:29 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dahulu ada semacam petuah yang menyatakan bahwa film-film “pilihan” dari studio-studio besar di Hollywood akan selalu diedarkan di musim panas (untuk film-film hiburan berbujet besar), dan di musim gugur-dingin (untuk film-film berbintang kelas A yang caper agar di-notice Academy Awards). Film-film yang rilis di luar dua musim tersebut cenderung dianggap sebagai film biasa aja.
ADVERTISEMENT
Tapi, itu dulu. Sejak beberapa tahun belakangan, petuah itu sudah tak berlaku lagi. ‘Avengers: Infinity War’ tayang di bulan April 2018, sekuelnya rilis di bulan April 2019, ‘The Lego Movie 2’ tayang di Februari 2019, ‘Pacific Rim: Uprising’ tayang di bulan Maret 2018, ‘The Fate of the Furious’ tayang di bulan April 2017, ‘Batman v Superman’ tayang di bulan Maret 2016, itu contoh beberapa judul film “besar” yang sudah tak ditayangkan di musim panas lagi.
‘Onward’ rilisan Disney/Pixar menjadi film pertama dari studio animasi nomor wahid di dunia itu yang rilis di bulan Maret! Film ini sedang tayang sejak Rabu lalu (4/3/2020), dan itu seolah menegaskan bahwa tanggal rilis kini memang sudah tak sepenting dulu. Kualitas film akan bicara sendiri. Kita biasanya mendapatkan film-film rilisian Pixar di musim panas, paling cepat di bulan Mei atau Juni, tepat saat libur sekolah. Atau di bulan November saat Thanksgiving tiba, sambil caper biar di-notice masuk nominasi film animasi terbaik Oscar.
Tapi, betulkah demikian? Tentu ini terbuka untuk diperdebatkan. Yang berpunggungan dengan opini saya, yang menganggap tanggal rilis masih sepenting itu, barangkali dapat menganalisis bahwa ‘Onward’ bisa jadi disadari sepenuhnya oleh para pembuat film dan para petinggi Disney, bahwa secara kualitas jatuh ke kategori di bawah standar tertinggi mereka. Film middlebrow-nya Pixar lah. Tidak sejelek ‘Cars 3’ tapi juga tidak sebagus ‘Up’, ‘Ratatouille’, atau ‘Inside Out’. Di tengah-tengah.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya Pixar dianggap sebagai studio animasi panutan, baik oleh penggiat industri film maupun para penonton pada umumnya. Sejak merilis ‘Toy Story’ di tahun 1995, hingga film ‘Up’ di tahun 2009 (selama 14 tahun), bisa diperdebatkan, itulah masa-masa gemilang mereka, tak sekali pun di periode tersebut mereka merilis film yang di bawah standar. Mereka lantas menjadi tak konsisten setelah ‘Up’. Terlebih ketika mereka menggarap sekuel.
‘Onward’ karya Dan Scanlon (‘Monsters University’) ini merupakan film original, bukan sekuel atau prekuel, tetapi impresi storytelling yang ditinggalkan film ini mirip-mirip dengan sejumlah film animasi buatan studio Hollywood lain.
‘Onward’ memiliki premis yang mirip dengan film rilisan Netflix berjudul ‘Bright’, bersettingkan sebuah dunia di mana makhluk-makhluk gaib, makhluk gaib dari dunia barat ya, bukan dari dunia kita, hidup layaknya kita sehari-hari. Maka, di dunia tersebut ada peri, centaur (setengah manusia setengah kuda), orc, naga, dan lain sebagainya. Tetapi, keseharian mereka membosankan, lantaran mereka sudah tak mengenal dunia gaib lagi. Seperti di dunia kita, dunia gaib dalam film ini perlahan hilang begitu teknologi ditemukan. Centaur sudah tak mau lagi berlari, walau pun mereka berkaki kuda, tetapi lebih memilih untuk menyetir mobil. Peri, bukannya terbang mengepakkan sayap mereka, malah mengendarai motor. Premis film ini sebetulnya asyik.
ADVERTISEMENT
Karakter utama kita kali ini bernama Ian, dan suaranya diisi oleh Tom Holland (‘Spider-Man Homecoming’, ‘Avengers: Infinity War’), seorang ABG yang memiliki tekad kuat tapi selalu gamang dalam merealisasikannya ke tindakan nyata. Ia memiliki kakak bernama Barley, suaranya diisi Chris Pratt (‘Guardians of the Galaxy’, ‘Avengers: Infinity War’), yang tampil sok bad boy dengan mengenakan jaket ala anak punk, padahal mah anak baik-baik yang nerd banget dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia gaib.
Ketika Ian masih dalam kandungan ibunya, dan Barley masih amat kecil, ayah mereka meninggal. Kini mereka hidup bersama ibu dan ayah tiri (atau pacar ibunya?) yang seorang polisi sekaligus centaur. Pada ulang tahun Ian yang ke-16, ibu memberikan kado istimewa dari sang ayah yang disimpannya selama itu. Dan kado tersebut berisi sebilah tongkat ajaib, sebuah permata, dan secarik kertas berisi mantra untuk memanggil sang ayah dari kematian agar dapat hadir di hadapan mereka selama 24 jam.
ADVERTISEMENT
Barley berusaha merapalkan mantera tersebut seharian, tetapi tak kunjung berhasil jua, dan ternyata darah gaib sang ayah menurun kepada Ian. Tetapi, merapal mantera itu ada tekniknya sendiri yang membuatnya jadi gampang-gampang susah. Ian melakukannya dengan setengah berhasil. Ketika mantra diucapkan dan tongkat dan permata bersatu mengeluarkan sinar dan kekuatan gaibnya, perlahan dari ujung kaki, lutut, paha sang ayah mulai mewujud nyata, hingga kemudian permata ajaib itu meledak, meninggalkan proses pengembalian sang ayah dari alam baka berhenti sampai raga sang ayah mewujud dari kaki hingga pinggangnya saja! Untuk menyelesaikan mantra tersebut, demi bertemu dan bicara dengan sang ayah, Ian dan Barley mesti bertualang sesegera mungkin mencari permata lainnya. Pergilah mereka menaiki mobil van butut milik sang kakak. Seiring waktu ikatan kakak-adik di antara mereka semakin kuat. Biasa lah, premis road movie/adventure!
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan, pada satu momen, mereka dihadapkan pada dua pilihan; naik tol atau lewat jalan biasa yang berliku. Ian memilih tol dengan alasan itu jalan tercepat menuju tujuan, sedangkan Barley memilih jalan biasa karena menurutnya itu sesuai dengan instingnya saja. Di kehidupan nyata kita tentu pernah berhadapan dengan situasi yang mirip. Lewat kiri atau kanan. Hingga kemudian salah satu pihak keliru, kita lantas menghardiknya dengan, “Apa gue bilang...?!” Hal itu menciptakan konflik di antara Ian dan Barley, sekaligus memberi kita gambaran tentang sifat mereka yang berbeda satu sama lain.
Hubungan kakak-adik di film ini tergambarkan dengan sangat kuat. Realistis dan memberi kesan so sweet, mereka sering berantem tapi tetap sayang satu sama lain — yang lantas membuat kita sebagai penonton peduli terhadap mereka. Tetapi elemen lain dalam penceritaan terasa familiar, untuk tak menyebutnya formulaik, katakanlah formula Disney dalam menghadirkan kisah “orang tua yang meninggal”, itu saja diulang-ulang sedari dulu.
Ide menghadirkan sosok sang ayah si ahli gaib semasa ia hidup mewujud sebagai sepasang kaki tanpa badan dan kepala, saya akui itu cukup gokil, dan seolah memberikan satu pengharapan akan sesuatu yang jauh lebih gila lagi menunggu untuk terungkap di separuh akhir durasi film. Saya menunggu momen itu datang, tapi tak pernah kunjung ada. Babak petualangan yang dilalui Ian dan Barley repetitif, terasa dipanjang-panjangin saja.
ADVERTISEMENT
Seperti Ian yang memiliki checklist (daftar hal-hal yang ingin ia lakukan), penulis film ini pun seolah-olah menggunakan checklist serupa kala menulis, oh ini sekuen untuk Ian dan Barley bicara dari hati ke hati, oh ini sekuen untuk mereka bertengkar dan menghadirkan konflik, dan memang disadari atau tidak, film-film Pixar sedari dulu memiliki formula tertentu dalam hal storytelling, banyak film Pixar yang memiliki ending atau berakhir dengan cara yang mirip satu dengan yang lainnya. Tetapi, ‘Onward’ terasa sekali dibangun di atas formula itu, se-obvious itu. Misalnya pada bagian di mana penonton mesti menangis. Kali ini, mata saya berkaca-kaca saja, tak sampai jatuh membasahi pipi. Tapi, terasa sekali, seolah pembuat film ini berusaha mati-matian agar kita menangis — di adegan itu, tentu tak perlu saya sebutkan adegan yang mana biar tidak spoiler.
ADVERTISEMENT
Tapi, tak berarti itu tak mengharukan. Walaupun dibangun di atas formula dengan sekentara itu, ‘Onward’ tetap berakhir meninggalkan kesan yang dalam, dan reflektif. Dan itu kekuatan Pixar yang hingga kini masih sulit ditandingi studio animasi lain.