Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengalaman Pertama di Busan Film Festival: Sebuah Catatan Kecil
13 Oktober 2024 16:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selama lebih dari satu dasawarsa, saya telah berkeliling ke pelbagai festival film internasional sebagai jurnalis film paruh waktu. Mengunjungi festival sebagai jurnalis tentunya memiliki dinamika tersendiri. Jadwal padat di luar agenda pemutaran ratusan film yang tak terhindarkan, mulai dari konferensi pers, sesi wawancara dengan pembuat film dan cast, hingga kewajiban menulis artikel berita dan ulasan film yang ditonton selama festival. Ada tekanan besar untuk terus produktif di tengah kemeriahan dan intensitas festival yang selalu berlangsung dari pagi hingga menjelang pagi kembali!
Namun, pasca tiga tahun terakhir mengelola festival film Jakarta World Cinema, peran saya manakala menghadiri festival film mulai berubah. Saya tak lagi datang sebagai jurnalis, melainkan sebagai wakil dari institusi yang saya kelola. Ada juga perubahan lain: kadang perjalanan saya dibiayai oleh kantor, dan di lain kesempatan, seperti dalam kunjungan ke Busan ini, saya didukung oleh Kemendikbudristek melalui program Dana Indonesiana. Kali ini, saya hadir bukan untuk meliput atau menulis artikel (walaupun saya menulis artikel ini juga – insting wartawan saya belum hilang nampaknya!), tetapi untuk belajar lebih banyak tentang bagaimana sebuah festival film diorganisir.
Busan: Dari Cuaca hingga Rasa
ADVERTISEMENT
Menghadiri Busan International Film Festival (BIFF) tahun ini memberikan pengalaman yang sangat berbeda dari festival sebelumnya yang pernah saya hadiri, seperti Cannes dan Tokyo Film Festival. Selain cuaca yang cukup menantang—sering kali hujan dan berangin di bulan Oktober—Busan menghadirkan pemandangan kota tepi laut yang mengesankan. Meskipun harus berjibaku dengan payung yang sering kali melawan arah angin, sungguh tantangan tersendiri ketika harus berlari dari satu venue ke venue lain dengan payung yang hampir selalu terbalik!
Namun, di balik angin kencang dan hujan yang tak jarang datang tiba-tiba, Busan menawarkan pengalaman kuliner yang luar biasa. Makanannya enak-enak, terutama seafood-nya yang segar luar biasa. Saya bahkan memberanikan diri mencoba gurita hidup! Pengalaman yang menegangkan tapi memuaskan dahaga kuliner saya. Namun, saya harus akui, makan di Busan cukup menguras kantong. Harga makanan di sini terasa lebih mahal dibandingkan Tokyo misalnya (apalagi Jakarta!), meskipun kualitasnya memang tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT
Menggarap Pasar Film seperti Cannes, dengan Sentuhan Asia
Festival ini dikenal sebagai "Cannes"-nya Asia, dan bukan hanya karena lokasinya yang berada di tepi pantai Haeundae. Asia Contents & Film Market (ACFM) di BIFF menawarkan dinamika serupa dengan Marche du Film di Cannes. Produser, sutradara, distributor, sales agent, dan profesional film dari seluruh dunia berkumpul untuk bernegosiasi, menjajaki kolaborasi, dan menandatangani kesepakatan. APROFI, salah satu asosiasi produser film di Indonesia (diwakili Edwin Nazir dan Linda Gozali menandatangani banyak MoU dengan lintas institusi di sini). Ada kehangatan khas Asia yang membuat pertemuan-pertemuan ini terasa lebih dekat dan kolaboratif, meskipun tetap sibuk dan intens.
Salah dua acara yang menarik perhatian saya adalah keikutsertaan KlikFilm dalam Asia OTT Conference Session: Asian Local OTT Business Strategies di ACFM dan peluncuran teaser trailer untuk 2nd Miracle in Cell No. 7 karya Herwin Novianto (‘Kang Mak’, ‘Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti’).
Acara ini dihadiri oleh crew dan cast seperti produser Frederica, sutradara Herwin Novianto, penulis naskah Alim Sudio, sutradara animasi Daryl Wilson (bakal ada series animasi Miracle in Cell No. 7), cast Graciella Abigail, dan termasuk perwakilan dari Contents Panda sang pemilik IP original Miracle in Cell No. 7, Danny Lee, yang masing-masing berbagi pandangan tentang proses kreatif di balik film tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak kalah menarik, HB Naveen sang CEO Falcon Pictures, yang biasanya jarang sekali tampil di depan publik, juga hadir melengkapi diskusi yang dipandu oleh editor dari Screen Daily – memberi saya banyak wawasan tentang dinamika produksi film, terutama soal remake, dan pengelolaan IP.
Film Indonesia Bersinar di Busan
Tahun ini, saya merasa senang betul menyaksikan dua film panjang Indonesia yang meraih sorotan di BIFF. 'Crocodile Tears' karya Tumpal Tampubolon diputar dalam seksi A Window on Asian Cinema, dan melihat penonton internasional menyambut hangat karya tersebut membuat saya tersenyum bangga.
Dan, yang lebih membanggakan lagi adalah pencapaian 'Tale of the Land' karya Loeloe Hendra yang tak hanya diputar dalam seksi kompetisi New Currents, tetapi juga membawa pulang Fipresci Award, sebuah penghargaan bergengsi dari kritikus film internasional. Melihat Loeloe, Yulia Evina Bhara dan timnya di panggung penghargaan adalah momen yang mengukuhkan posisi film Indonesia di kancah internasional.
Selain itu, serial 'Gadis Kretek' juga meraih penghargaan bergengsi di ajang Asian Contents Awards & Global OTT Awards di BIFF. Kamila Andini dan Ifa Isfansyah dianugerahi Best Director untuk serial tersebut, yang menariknya, world premiere Gadis Kretek juga berlangsung di BIFF setahun lalu.
Berbagi Malam Bersama Teman-teman Sineas
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di sela-sela kesibukan festival, ada momen tak ternilai ketika saya bertemu dengan banyak pembuat film Indonesia yang juga hadir di Busan. Saya bertemu dengan Makbul Mubarak, Yulia Evina Bhara, Mandy Marahimin, Ifa Isfansyah, Kamila Andini, Tumpal Tampubolon, Loeloe Hendra, Yusup Mahardika, Shenina Cinnamon, Zulfa Maharani, Marissa Anita, Arswendi Bening Swara, Alim Sudio, dan pegiat festival seperti Ajish Dibyo, Vivian Idris, Rina Damayanti, Alex Sihar, Nazira C Noer, dan banyak lagi orang film lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu per satu.
Malam-malam panjang di Haeundae dihabiskan dengan ngobrol film hingga larut bersama mereka, bahkan Dian Sastro dan Raline Shah pun turut bergabung. Dan, foto-foto yang saya sertakan dalam artikel ini hampir seluruhnya diambil oleh fotografer paling hits di Jakarta saat ini: Arman Febryan. Haeundae yang tak pernah tidur dengan deru ombaknya menjadi latar yang sempurna bagi perbincangan hangat tentang mimpi-mimpi perfilman Indonesia.
Ticket War yang Melelahkan
Satu lagi yang mirip dengan Cannes adalah perjuangan mendapatkan tiket film di BIFF. Setiap pagi, tepat pukul 8.30, saya harus bersiap di depan gawai untuk berburu tiket. Sistem ini mengingatkan saya pada Cannes, di mana kita harus cepat dan beruntung untuk mendapatkan tiket yang diinginkan. Namun, bedanya di Cannes masih ada last minute queue yang cukup bisa diandalkan jika gagal mendapatkan tiket online. Di Busan, antrean tersebut tidak memberikan banyak harapan.
Tapi, volunteer di BIFF sangat ramah-ramah, senang menolong dan dapat diandalkan. Mereka dapat mencarikan kita informasi dan sekaligus memesankan tiket film apa saja di hari itu yang masih tersedia. Di Cannes? Hampir seluruh volunteer di sana bertingkah bak petugas keamanan, dan manakala kita bertanya dalam bahasa Inggris, respons mereka selalu, “Désolé, pas d'anglais.” – untuk menegaskan bahwa mereka tak sudi berbicara bahasa Inggris, padahal mereka (mungkin) bisa.
Busan, dengan segala tantangan cuaca dan dinamika festivalnya, memberikan pelajaran berharga bagi saya. Melihat bagaimana festival ini dikelola, dari pemutaran film hingga market-nya, memberi saya banyak inspirasi untuk dibawa pulang ke Jakarta.
Saat saya meninggalkan kota ini, ada harapan untuk bisa kembali dan menjadikannya sebagai agenda tahunan. Busan International Film Festival adalah salah satu festival paling penting saat ini di Asia, dan saya berharap bisa terus belajar, bertemu, dan berkembang bersama komunitas film global di sana.
ADVERTISEMENT