Konten dari Pengguna

'Ananta': Naif dan Tak Meyakinkan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
7 Mei 2018 17:08 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
'Ananta': Naif dan Tak Meyakinkan
zoom-in-whitePerbesar
Poster film 'Ananta' - Hak Cipta milik MD Pictures
ADVERTISEMENT
Demam 'Avengers: Infinity War' masih belum mereda. Namun, per Kamis (3/5/2018) kemarin, tayang juga tiga film Indonesia yang lumayan bernyali untuk "adu jotos" dengan kehebatan film yang mengisahkan kiprah anti-hero Thanos dan kekuatan "batu akiknya" tersebut.
Film tersebut adalah 'Ananta' produksi MD Pictures, 'Sajen' produksi Starvision, dan 'Sunset di Pantai Losari' produksi SKV Movie Entertainment. Melihat tren raihan penonton film Indonesia terkini, nampaknya 'Sajen' yang paling berpeluang mengumpulkan pemasukan terbesar ketimbang 'Ananta' atau 'Sunset di Pantai Losari'.
Genre horor, terlepas dari kualitasnya, ternyata masih begitu digemari, terbukti film 'Kembang Kantil' yang sempat saya review di sini misalnya, sejauh ini sudah ditonton tak kurang dari tiga ratus lima puluh ribuan penonton. Selain itu, film 'The Secret: Suster Ngesot Urban Legend' yang secara kualitas bahkan lebih buruk malah jauh lebih laku.
ADVERTISEMENT
Tak ingin berkontribusi ikut ngeramein film-film horor yang... maaf kata nih, jelek, maka minggu ini saya lewatkan untuk tidak mereview 'Sajen' (saya sudah nonton dan membuktikannya sendiri), maka pilihan review minggu ini ditujukan untuk 'Ananta' yang dibintangi aktris ngehits masa kini, Michelle Ziudith ('London Love Story', 'One Fine Day'). Filmnya sendiri diarahkan oleh Rizki Balki yang baru membuat satu film sebelum ini, yaitu 'A: Aku, Benci, dan Cinta'.
Diangkat dari novel berjudul 'Ananta Prahadi' karya Risa Saraswati, penulis skenario paling produktif, Alim Sudio ('Nini Thowok', 'Ayat-ayat Cinta 2'), ketiban rezeki untuk mengalihkan kisah novel tersebut menjadi naskah skenario. Saya sendiri belum sempat membaca novelnya, tetapi dengan melihat filmnya lantas membandingkan dengan sejumlah film lain yang skenarionya ditulis Alim Sudio, saya percaya bahwa Alim tak banyak melakukan improvisasi, terlebih pada bagian dialog yang terdengar sangat bukan khas Alim, dan itu bagus, bila Anda mengerti maksud saya.
ADVERTISEMENT
Memindahkan cerita novel ke dalam medium film gampang-gampang susah. Bahasa novel dan bahasa film tentulah berbeda.
Misalnya, seorang penulis novel dapat saja menceritakan seorang tokoh yang pandai melukis, dalam novel, si penulis cukup menggambarkan tokoh tersebut mempunyai keahlian melukis bak Picasso, Monet, Rembrandt, atau Basuki Abdullah, yang ketika lukisannya dilihat orang, seketika itu yang melihatnya merinding dipenuhi decak kagum. Pembaca novel diberikan gambaran seperti itu, tentu mereka akan berangan-angan membayangkannya.
Penulis skenario idealnya tak boleh mendeskripsikan adegan yang tidak konkrit seperti itu, pun sutradara akan kewalahan merealisasikannya ke dalam bahasa gambar. Bahasa film adalah how to show bukan how to tell. Namun, apa yang dilakukan Alim Sudio rasa-rasanya lebih terkesan sebagai pekerjaan penulis novel, bukan penulis naskah skenario.
ADVERTISEMENT
Alkisah Tania (Michelle Ziudith) tengah menyelesaikan tahun terakhirnya di sebuah SMA di Jakarta. Dikisahkan ia seorang yang sulit bergaul, galak, sok hebat, dan satu-satunya keahlian yang ia banggakan adalah kemampuannya dalam melukis yang dianggap memiliki kualitas kelas pelukis profesional.
Tak cuma di sekolah, di rumah pun Tania juga kesulitan berkomunikasi baik dengan ibunya sendiri maupun kedua kakaknya. Cuma asisten rumah tangganya, Bik Eha (Asri Welas, 'Susah Sinyal', 'Cek Toko Sebelah'), yang bisa berkomunikasi dengan Tania di rumah.
Tania dianggap sebagai orang yang aneh, hingga pada satu hari datanglah Ananta (Fero Walandouw, 'Kuntilanak Kesurupan', 'Santet Kuntilanak'), katanya sih cowok udik dan kampungan dari Subang Jawa Barat yang hijrah ke Jakarta menjadi siswa baru di sekolah yang sama dengan Tania. Ananta kemudian mendekati Tania, dan berusaha untuk selalu dekat dengannya.
ADVERTISEMENT
Lantas kita dimanipulasi oleh pembuat film ini untuk sepakat bahwa kehadiran Ananta mengubah Tania menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi menyenangkan, namun sesungguhnya, tak ada perkembangan karakter berarti dari Tania. Ia masih galak dan tak memiliki pendirian yang kukuh, menghadapi permasalahan yang sama dari awal hingga akhir film.
Pemain film Ananta. (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain film Ananta. (Foto: Munady Widjaja)
Barangkali materi novelnya sendiri memang lemah, namun pembuat film sebetulnya memiliki kuasa untuk berimprovisasi, bahkan mengubah materi yang ada dan menyesuaikannya agar hasil akhirnya menjadi film dengan segala elemennya yang sama sekali berbeda dengan novel atau karya sastra lain.
Nah, improvisasi itu tak ada. Sensasi menonton film ini seperti sedang diajak mendengarkan curhatan ABG labil tentang beberapa penggal kisah hidupnya, terdengar berapi-api penuh semangat, padahal heri. Heboh sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada satu adegan di ruang kelas, Tania terlihat tidak memperhatikan apa yang seorang guru seni (diperankan Astrid Tiar) sedang ajarkan di depan kelas, yakni soal teori seni. Di papan tulis terpampang kutipan dari Ki Hadjar Dewantara yang mendefinisikan apa itu artinya seni. Mengetahui Tania yang tak acuh, dan malah asyik sendiri menggambar di buku tulisnya, bu guru yang cantik itu pun marah.
Tetapi, Tania sang tokoh utama kita ini luar biasa, rupanya Tania hapal di luar kepala mengenai definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara, dan bahkan menurut beberapa nama tokoh lain di dunia. Tania bahkan mengoreksi tulisan bu guru di papan tulis yang menurutnya tidak tepat.
Itulah Tania. Hebat bukan? Dan adegan tersebut ada di awal sebagai adegan perkenalan tokoh utama kita. Pembuat film ingin kita terpukau dengan memperlihatkan bahwa Tania tak cuma cantik, jago melukis, tetapi juga pintar (menghapal)! Padahal urusan hapalan, biasanya tak dikuasi oleh para seniman, apalagi seniman lukis.
ADVERTISEMENT
Menggambarkan seorang pelukis yang anti-sosial masihlah lumrah, namun membuatnya menjadi "kutu buku" adalah hal lain, yang terasa begitu mengada-ada, terlebih penggambaran tersebut tidak konsisten. Hanya di adegan itu saja kita diperlihatkan bahwa Tania jago menghapal, lantas tak pernah disinggung lagi.
Barangkali novel 'Ananta' ini ditulis Risa Saraswati ketika ia duduk di bangku SMA. Barangkali lho ya, fakta sesungguhnya saya sendiri tidak tahu, namun yang pasti, kisah yang tersaji memang terasa seolah tulisan anak remaja yang masih naif, dan minim riset.
Namun begitu, pembuat filmnya sendiri saya rasa jauh lebih berpengalaman ketimbang Risa, terlebih Alim Sudio yang sudah berkecimpung di dunia film sejak 2008. Sudah sepantasnya ia memoles kisah novel yang diangkat ke dalam film ini menjadi lebih dapat diterima akal, menjadi tontonan yang meyakinkan, bukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Sesudah lulus SMA Tania dikisahkan tidak melanjutkan kuliah, dibantu Ananta ia kemudian membuka galeri seni di rumahnya yang tanahnya amat luas, mempunyai tanah seluas itu di Jakarta, orang tua Tania sungguhlah kaya raya. Mengapa Tania tidak kuliah? Kita tak diberi tahu. Sehebat apa Tania dalam melukis? Apa aliran lukisan dia? Wallahu a'lam bishawab.
Pembuat film gagal meyakinkan kita akan kehebatan Tania dalam seni lukis, subyek yang di-highlight dalam filmnya sendiri. Bila kita perhatikan dalam satu dua adegan yang memperlihatkan hasil lukisan-lukisan Tania, terlihat begitu random, tidak memiliki ciri khas atau tanda tangannya yang jelas.
Pokoknya kita diminta percaya bahwa Tania itu seniman lukis yang hebat. Titik.
Itu baru Tania. Penggambaran Ananta jauh lebih ngawur. Disebut-sebut sebagai orang udik oleh Tania, justru berlawanan--dalam film tak terlihat kesan itu.
ADVERTISEMENT
Penampilan Fero Walandouw sebagai Ananta jauh dari kesan orang udik, malah dalam balutan T-shirt, jeans, celana pendek yang ia kenakan di film ini, ia jauh lebih terlihat sebagai anak juragan kontrakan di Jakarta. Modis, bersih, kulit wajahnya terlihat seperti hasil facial di spa yang rutin dilakukan setiap pekan, rambutnya seminggu sekali di-creambath. Lalu apa yang membuatnya udik?
Teteh. Ia memanggil Tania dengan sebutan Teteh. Padahal Tania bukan orang Sunda. Yang Sunda kan dia sendiri. Dalam logika pengarang novel dan pembuat film ini, orang Sunda itu memanggil wanita lawan bicaranya dengan sebutan "Teteh". Logat Sundanya sendiri--yang paling krusial--tidak diperhatikan. Padahal identitas kesukuan seseorang itu terlihat dari logatnya, dan Fero gagal menunjukkannya kepada kita.
ADVERTISEMENT
Separuh awal durasi film mengisahkan perjuangan Ananta dalam mendekati Tania. Hingga di tengah-tengah, datanglah Pierre (Nino Fernandez, 'Wa'alaikummussalam Paris', 'Ayat-ayat Cinta 2'), bule pemilik galeri dari Jogja yang tertarik dengan Tania dan lukisan-lukisannya. Kehadiran Pierre ternyata diatur oleh Ananta yang mengendaki keduanya untuk saling jatuh cinta.
Padahal saat Pierre pertama kali hadir lewat sebuah adegan dalam film ini, ia datang bersama Ananta berdua dari Jogja. Ananta pergi ke Jogja tanpa pamitan kepada Tania, hingga membuat Tania linglung dan kehilangan pegangan hidup.
Sekonyong-konyong kemudian Ananta datang bersama Pierre yang mengenakan kaos dengan luaran sweater dan celana pendek warna pastel perpaduan busana winter ketemu summer. Saya kira kita akan diberi kejutan bahwa Ananta adalah penyuka sesama jenis, dan Pierre adalah kekasihnya. Tetapi bukan, walaupun sebenarnya plot ini jauh lebih menarik dan masuk akal ketimbang plot yang sesungguhnya ditawarkan film ini.
ADVERTISEMENT
Lihat deh foto adegan berikut:
'Ananta': Naif dan Tak Meyakinkan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Foto adegan 'Ananta' -- hak cipta milik MD Pictures
Coba perhatikan bagaimana Ananta (tengah) melirik Pierre dalam foto adegan di atas, tatapannya memancarkan percikan kehangatan dan passion bukan?
Secara keseluruhan film ini enggak jelek-jelek amat. Paling tidak, gambarnya bagus, dan terang. Dua bintang yang saya berikan khusus saya tujukan untuk penampilan Asri Welas. Tanpanya film ini amatlah tak tertolong, sebab tak ada bagian yang dapat saya nikmati.
Di dunia yang ideal, film semacam 'Ananta' ini akan diedarkan langsung untuk home video, bukan untuk dikonsumsi di bioskop, sebab secara production value dan bagaimana film ini dikemas, sekelas FTV.
Bagi Anda yang percaya bahwa anak lulusan SMA sudah mesti mikir untuk menikah, atau bagi Anda yang masih lugu dan mudah terlena dengan kisah percintaan penuh kenaifan yang sering diangkat FTV-FTV atau sinetron di layar kaca, boleh saja menjajal film ini. Siapa tahu suka. Saya sih enggak.
ADVERTISEMENT