Konten dari Pengguna

Review 'Di Bawah Umur': Film di Bawah Standar

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
14 November 2020 16:54 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Sejoli anak SMA yang peduli setan cuaca Jakarta yang penting modis pake fashion koleksi winter dalam film Di Bawah Umur | Dok. MD Pictures/Disney+ Hotstar
zoom-in-whitePerbesar
Sejoli anak SMA yang peduli setan cuaca Jakarta yang penting modis pake fashion koleksi winter dalam film Di Bawah Umur | Dok. MD Pictures/Disney+ Hotstar
Merujuk pada laman filmindonesia.or.id, sinopsis film berjudul Di Bawah Umur ini tertulis seperti berikut;
ADVERTISEMENT
"Aryo (Angga Yunanda) selalu tampil apa adanya meski suka bikin rusuh, setia kawan, dan berbakti pada ibu. Ia jatuh cinta dengan siswi baru di sekolahnya, Lana (Yoriko Angeline). Lana tidak berani membalas perasaan tersebut."
Sinopsis pendek yang lebih menyerupai premis tersebut, tak menggambarkan apa-apa tentang filmnya sendiri. Bila itu sebuah premis, jelas itu premis yang mentah. Saya memahami betul bahwa film ini ditulis Sukdev Singh bersama Titien Wattimena, dan Sukdev sendiri merangkap jabatan sebagai produser. Mentang-mentang bikin film sendiri, premis mentah begitu pun jadilah digarap, tak peduli landasan cerita, konflik, dan resolusinya kuat atau tidak.
Still adegan film Di Bawah Umur garapan Emil Heradi | Dok. MD Pictures/Disney+ Hotstar
Di luar sana banyak penulis berbakat yang kepingin masuk industri film, menulis naskah adalah satu hal, tetapi pitching atau presentasi kepada produser untuk meyakinkan bahwa ide cerita yang mereka tawarkan menarik dan perlu diangkat menjadi film adalah sesuatu hal yang lain, dan sering kali sulit di-iya-kan produser dengan berbagai macam pertimbangan. Sukdev tentu tidak punya kesulitan dalam hal pitching, lha ia produsernya. Tapi, sebagai penulis naskah, ah, tak perlulah saya jelaskan secara gamblang penulis seperti apa ia, tonton saja dan nilai sendiri film yang tayang di OTT Disney+ Hotstar ini.
ADVERTISEMENT
Titien Wattimena dengan segunung kredit filmografi penulisan naskah juga tak mampu berbuat banyak. Andaikan, ini asumsi saya, Sukdev melempar ide lantas Titien yang menuangkan ide tersebut ke lembar demi lembar Final Draft, hasilnya kok amburadul begini. Babak pertama gagal mengantar cerita sekaligus memperkenalkan tokoh-tokohnya agar kita sukai, dan terpenting kita peduli akan nasib mereka. Babak kedua seperti filler yang tak jelas juntrungannya, dan babak penutup kok gitu... sok ingin nge-twist, tetapi tanpa substansi apa-apa, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, so what???
Syahdan, di sebuah SMA di Jakarta yang tampilannya lebih menyerupai sebuah museum yang jarang dikunjungi orang, Aryo (diperankan Angga Yunanda dari Dua Garis Biru), tampil sok paling keren, petantang-petenteng pakai jaket kulit berwarna hitam ala polisi reserse, sambil mulutnya selalu mengemut kojek, itu lho permen yang ada pegangannya segede sedotan Yakult, diemut seperti sebatang rokok. Ceritanya dia jagoan, senang berantem, dan ditakuti atau disegani teman-teman satu sekolahannya. Tapi, saya sulit menerima itu sebagai logika dalam film ini yang betul-betul tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Sutradara gagal mencari cara agar kita teryakinkan bahwa Aryo yang imut-imut itu sejagoan itu. Padahal, bila kita telisik lebih dalam, tak ada keharusan bahwa tokoh bernama Aryo ini mesti jadi jagoan. Lagi pula ini bukan film action, walaupun banyak adegan berantem yang ya ampun gak jelas, Bok! Selesai berantem tak ada yang benjol atau memar-memar. Ataukah budget departemen make-up habis buat bikin dempulan agar wajah-wajah pemainnya selalu tampil kinclong?
Aryo (Angga Yunanda) sang jagoan kita yang ditakuti dan disegani seluruh teman satu sekolahannya | Dok. MD Pictures/Disney+ Hotstar
Lanjut. Aryo naksir Lana (diperankan Yoriko Angeline yang jadi si Wati di seri film Dilan), seorang sisiwi baru. Lana ini saudaranya Kevin (Naufal Samudra Weichert), yang memusuhi Aryo karena suatu alasan, dan alasan tersebut bakal terungkap di ending film. Sebuah alasan yang ngadi-ngadi, untuk tak menyebutnya "meh!" demi terciptanya sebuah twist yang alih-alih bikin kita terperanjat terpesona wow, tapi malah bikin tensi darah kita naik saking dongkolnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermakud spoiler (seakan-akan ini suatu hal yang penting saja di film ini. Haha), jadi ceritanya Kevin ini menentang dan tak merestui hubungan Aryo dan Lana karena suatu alasan itu tadi. Tapi, alasan itu sebenarnya bisa diungkap di awal cerita, tak ada alasan kuat mengapa sesuatu hal itu disimpan rapat-rapat oleh Kevin dan Aryo hingga diungkap di pengujung film. Penulis naskah yang baik, mestinya dapat bertanya ke diri sendiri, "Ini kenapa ya Kevin tidak terus terang nanya ke Aryo soal itu? Jadi kan dia tidak salah sangka" Bila jawabannya tak ketemu, berarti premisnya gagal! Film ini sebenarnya tak punya konflik apa-apa. Film ini sebenarnya tak punya sisi artistik apa-apa. Film ini menambah deretan panjang sebagai sebuah produk film yang tak memiliki nilai seni yang pernah diproduksi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Emil Heradi, nomine sutradara terbaik FFI 2017 lewat Night Bus, mengarahkan film ini dengan visi yang entahlah. Rasanya kok klise jika saya menyebut gaya penyutradaraannya mirip sutradara sinetron. Barangkali di luar sana ada sinetron yang justru lebih baik dari film ini, film yang menampilkan para tokohnya, yakni anak-anak SMA Jakarta berjaket dan bermake-up tebal, belum lagi gaya rambut baru balik dari salon. Ini saya baru bicara yang nampak kentara dan mendasar lho ya. Saya belum menyisir sisi artistik lain. Eh, iya lupa, film ini tak memiliki nilai artistik apa pun.
Pembuat film ini gelagapan menyuguhkan atau memperlihatkan sesuatu yang nampaknya asing bagi mereka sendiri. Padahal konon katanya pembuat cerita yang baik selalu berangkat dari hal-hal yang diketahui atau dialaminya sendiri, agar tercipta kisah yang otentik. Film berdurasi 91 menit ini tak memiliki nilai-nilai keotentikan. Sebutlah misalnya adegan Kevin bersama teman-temannya menaiki mobil BMW tengah malam, lalu berburu pekerja seks komersil, di pinggiran jalan! Di zaman Tinder, We Chat, Ok Cupid dan lain sebagainya ini, dan lagi PSK yang nongkrong di pinggir jalan itu tampilannya mirip selebgram tenar dengan job endorse yang banyak. Maaf maaf nih ya, di kehidupan nyata tak ada yang demikian! yang open BO di hotel bintang empat saja, jarang yang tampilannya mirip selebgram tenar. Sudah tahu calon pelanggannya naik mobil mevvah, eh masih nanya, "Punya uang apa tidak?" Beneran deh ini penulis naskahnya!
ADVERTISEMENT
Tapi kan ini cuma film? Tapi, pembuat film memiliki kewajiban membuat produk yang tak asal jadi, kita menonton film ini di Disney+ Hotstar tidak gratis! Belum lagi meluangkan waktu berharga yang sedianya bisa kita alokasikan untuk hal-hal lain yang lebih berfaedah. Mengapa menunjukkan nuansa dan bagaimana kehidupan anak-anak SMA menjadi sesulit itu? Padahal saya percaya para pekerja film ini pasti lulusan SMA dan atau sederajat semua.
Tapi, mengapa tak ada yang nampak nyata? Tak usahlah kita bahas penggambaran karakter para guru yang diperankan Ramzi atau Teuku Rifnu Wikana, duh selain malesin, karakter mereka pun memang ditulis sekenanya dan dibuang begitu saja di tengah cerita, satu lagi bukti bahwa pembuat film ini kebingungan dengan apa yang mereka buat. Ini juga para aktornya yang muda-muda, apa tidak ada di antara mereka yang interupsi sewaktu reading pra produksi dan memberikan masukan bahwa kehidupan anak SMA tuh tak seperti di film produksi MD Pictures ini. Siapa tahu para pembuat film ini sudah pada pikun.
ADVERTISEMENT