Review Film 'Bucin': Fantasi Dangkal Para Fakboi

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
21 September 2020 14:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
"Kejujuran Adalah Kunci" menjadi tema besar film garapan Chandra Liow ini | Rapi Films/Netflix
Terkadang ada baiknya sebuah film tidak rilis di bioskop terlebih dahulu, tetapi langsung ke platform streaming. Ada baiknya bila film itu seperti ‘Bucin’ ini, yang teramat beruntung bahwa Netflix sudi mengakuisisinya, menimbang betapa berantakannya film garapan YouTuber kondang Chandra Liow ini. Terdengar sentimen, tetapi ini murni ekspresi kejujuran saya, buah dari kesabaran dan cobaan tak terperi yang saya lalui selama satu setengah jam menontonnya.
ADVERTISEMENT
Bucin atau budak cinta adalah—tolong koreksi pada kolom komentar bila saya salah—label yang disematkan ke seseorang yang hidupnya dikuasai kekasihnya, sederhananya ia sebutan kepada mereka yang takut sama pacar sendiri, atau rela melakukan apa pun demi sang kekasih. Entah istilah ‘bucin’ ini secara etimologi berasal dari mana, saya sendiri di kehidupan sehari-hari tak pernah menggunakan istilah yang terdengar norak tersebut. Tetapi, istilah ini disebut ratusan kali, disematkan dalam setiap dialog para karakter di film ini seperti “Ah, bucin lo!”, “Dasar bucin!”, “Lo bucin banget!”, dialog-dialog seperti itu bertebaran sepanjang durasi film, diutarakan oleh para karakter dengan mimik MLES BGT (Mending Lo Eggak Speak, Begitu).
"Kesabaran Adalah Kunci" dan sejainya kitalah sebagai penonton yang sedang diuji | Dok. Rapi Films/Netflix
Ceritanya ada empat sobat bernama Andovi da Lopez, Jovial da Lopez, Chandra Liow, dan Tommy Limmm yang berperan sebagai karakter bernama Andovi da Lopez, Jovial da Lopez, Chandra Liow, dan Tommy Limmm—alias nama mereka sendiri, Anjay! Tetapi, di film ini pekerjaan mereka tidak jelas, bukan Youtuber atau selebriti, tetapi apa? Tidur saya hampir tak nyenyak karena mikirin persoalan ini, sebab dalam film, bagaimana mereka mampu tinggal di apartemen bagus dan memiliki kendaraan yang bukan LCGC? Belum lagi mesti jajanin pacar-pacar mereka yang terlihat high-maintained. Kok, Jovial sang penulis naskah atau Chandra sang sutradara tidak kepikiran, misalnya mengarang cerita bahwa mereka ini para seniman sukses atau anak konglomerat kek, sekalian cliche gitu lho, tetapi paling tidak, para karakter ini punya sedikit background yang dapat dipertanggungjawabkan lah demi mengakomodasi cerita.
ADVERTISEMENT
Mereka inilah para bucin yang dimaksud. Andovi menjadi budak pacarnya, ia selalu menuruti apa yang pacarnya mau atau tidak mau, selalu menomorsatukannya ketimbang teman-temannya. Tommy budak cinta dari calon istrinya (diperankan Karina Salim yang menjadi satu-satunya aktor dengan komitmen tinggi untuk bersungguh-sungguh berakting!). Tommy dan pacarnya ini hendak menikah, tetapi Tommy punya prioritas lain dalam hal pengeluaran uang, alih-alih menggunakan uangnya untuk keperluan persiapan pernikahan, dia malah kepengin beli mobli baru!
As if kita-kita ini penonton bego yang mesti nerima begitu saja cerita tak masuk akal karangan Jovial da Lopez, semata-mata biar kita manut dan mengamini bahwa Tommy juga seorang bucin, seolah-olah ada konflik di sana, padahal enggak! Nah, Jovial sendiri ceritanya sedang diterpa rasa bosan berpacaran. Dia bersikap dingin kepada pacarnya, dan di saat yang bersamaan dia naksir cewek lain. Chandra Liow mestinya tak ikut main. Dia tak punya pacar di sini, atau satu persoalan pun yang mesti dihadapi. Tapi, kan ini filmnya dia, ya terserah aja kali ya.
Adegan khas di film elek sebagai filler demi menuhin durasi | Dok. Rapi Films/Netflix
Demi menghadapi atau agar terbebas dari belenggu kebucinan, keempat sobat kita yang keren ini, mengikuti kelas di mana mereka ditempatkan di suatu ruangan “escape room” ala film ‘SAW’ tetapi tentu tidak dengan perangkap mematikan. Oleh seorang guru cinta (diperankan Susan Sameh) mereka dites memecahkan sejumlah teka-teki dengan sedikit petunjuk. Apa konsekuensinya bila teka-teki itu tak terjawab? Tak ada sih sebenarnya, tetapi setiap diberi teka-teki mereka semua heboh sendiri seolah sedang menghadapi persoalan genting menyangkut hidup dan mati. Padahal tidak ada apa-apa. Yang paling aneh, Chandra Liow ngapain berada di ‘escape room’ atau ikutan kelas antibucin tersebut—kan dia tidak punya persoalan? Bukannya menyibukkan diri menyutradarai film ini dengan lebih sungguh-sungguh biar hasil akhirnya agak mendingan dikit.
ADVERTISEMENT
Kata orang komedi itu persoalan selera. Saya tak akan bilang komedi di film ini buruk, tetapi jelas bukan selera saya. Komedi situasi di mana seorang cowok seolah-olah sedang melakukan blowjob kepada orang lain, atau komedi yang menampilkan cowok bugil untuk alasan yang tak jelas, itu komedi yang populer 20 tahun lalu. Seakan itu belum cukup, ada pula komedi yang menampilkan Andovi sedang mengendarai mobilnya lantas berhenti di depan sebuah lobi untuk waktu yang lama, demi menunggu kekasihnya datang, mengakibatkan antrean mobil di belakangnya mengular panjang karena terhalang si Andovi ini. Untuk melucu kan tidak perlu melecehkan akal sehat. Apa ketika menulis skenario, Jovial tidak mikir bahwa di kehidupan nyata, pengemudi lain akan merespon agresif ketika dihalangi dengan sengaja oleh seseorang di depannya. Mestinya bukan mengumpat dengan sok imut, minimal teriakin nama hewan dan klakson sekencang-kencangnya. Dan apa iya seseorang yang diklakson oleh pengemudi lain di belakangnya bakal santai dan cengengesan seperti Andovi di film ini? Apanya yang lucu dari situasi tersebut? Mana diulang-ulang pula!
"Bucin lo!" Kata Jovial da Lopez kepada Andovi da Lopez da kumaha euy cringe! | Dok. Rapi Films/Netflix
Storytelling film ini berantakan. Bukan hanya soal teknis, tetapi juga yang lebih elementer, yakni persoalan isu yang hendak disampaikan. Subplot kisah cinta Andovi dan Tommy sebaiknya saya kesampingkan, nanti artikel ini bakal jadi lebih panjang, demi membicarakan sesuatu yang tak perlu.
ADVERTISEMENT
Mari kita bicara soal subcerita kisah asmara Jovial. Ending film, maaf jika ini spoiler, memberi konklusi pada akhirnya Jovial kembali ke kekasih yang selama ini ia acuhkan, yang ia nyatakan sudah “enggak ada rasa”, lantas karena si cewek malang tersebut memaafkan Jovial si Fakboi yang telah one night stand dengan cewek asing, sekonyong-konyong Jovial “ada rasa kembali” karena dimaafkan tadi, dan dengan entengnya dia berseloroh, “itulah cinta!” Dan mereka pun menikah.
Seluruh kisah selama satu setengah jam adalah demi merendahkan harkat dan martabat perempuan, para perempuan yang diimpikan para fakboi yang diminta dimaafkan atas segala kesilapannya, semua atas nama cinta, ya Lord! Para kaum feminis kejang-kejang dibuatnya.
Semua perempuan yang tampil di film ini tak punya fungsi apa-apa, tak punya arti lain selain sebagai objek stereotipe dan fantasi dangkal para fakboi ini. Karakter seperti Jovial itu setipe karakter lelaki yang minta nikah siri atau poligami lantas minta disetujui oleh istri sahnya hanya karena sang istri mengizinkan dan itu atas nama cinta. Anjay!
ADVERTISEMENT
Saya terkejut mendapati kemampuan akting keempat pemain utama film ini, yang tak perlu lah kita harapkan bakal ngasih performa sekelas aktor peraih Citra, tetapi berakting atau berlaku wajar saja gagal. Misalnya wajar dalam berinteraksi ketika satu adegan dengan teman sendiri, yang hadir adalah atraksi kikuk, dan lebih sering cringe. Andovi, dan saya sarankan yang lainnya juga, tetapi khususon Andovi, mending serius ikut kelas akting bila memang masih ingin tampil dalam film lain lagi. Plis jangan nonton tutorial di YouTube, tapi masuk kelas akting beneran. Setidaknya itu yang perlu dilakukan seorang aktor, siapa pun dia, sebagai bagian dari pertanggungjawaban moralnya, untuk memberikan penampilan terbaik.
Chandra Liow sempat main bagus dalam ‘Hit & Run’ (Ody C. Harahap, 2009) sebagai buddy-nya Joe Taslim di film tersebut. Karakter yang ia bawakan likeable, dan menunjukkan potensinya sebagai aktor yang menjanjikan. Nah, itulah pentingnya kepiawaian dalam menulis naskah dan penyutradaraan— skill yang mesti dimiliki sejak dalam pikiran. Semua berawal dari sana. Namun film ‘Bucin’ ini tercipta entah lewat proses kreatif seperti apa, karena saya tak melihat ada unsur kreativitas di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Saya jadi teringat celotehan seorang teman di Twitter, “Orang tinggal di Indonesia kalau masih ngeluh kekurangan sumber cerita ya kebangetan.” Chandra Liow CS kok ya kebangetan, sudah diberi kesempatan bikin film, kok malah bikin sesuatu dengan cerita dan eksekusi yang secupu ini.
Bucin dapat disaksikan di Netflix.