Sabrina: Salah Judul, Mestinya Andini

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
16 Juli 2018 13:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemain Film Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Film Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Peringatan, ulasan ini mengandung banyak sekali bocoran cerita (duh, spoiler!).
ADVERTISEMENT
Sabrina adalah nama sebuah boneka berukuran sebesar balita umur 4 tahunan atau lebih berwajah jelek, bukan seram, TETAPI JELEK, dibuat sebagai edisi kedua dan limited dari versi boneka Sabrina sebelumnya yang tampil lewat film 'The Doll 2' besutan Rocky Soraya yang juga kembali menyutradarai sekuelnya ini.
Dikisahkan bahwa anak-anak menyukai boneka Sabrina ini, mereka membawanya ke sekolah, memangkunya ketika sedang di bus sekolah, mendapati kenyataan boneka sejelek itu disukai banyak anak membuat saya mempertanyakan kewarasan pembuat film ini yang mengisahkannya demikian.
Boneka Annabelle dari film 'Annabelle' (John R. Leonetti, 2014) walaupun juga sama-sama berwajah jelek, tapi ia bukan boneka produksi massal layaknya boneka Barbie dibuat. Entah apa yang ada dalam benak duo penulis naskah Riheam Junianti dan Fajar Umbara (keduanya menulis 'The Doll 2'), juga sutradara Rocky Soraya yang percaya bahwa boneka sejelek itu memiliki mass-appeal layaknya boneka Barbie, dan kita diminta untuk menerimanya begitu saja tanpa diberi alasan apa yang membuat anak-anak bisa menyukainya.
Boneka Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Boneka Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Satu boneka Sabrina dibuat khusus oleh Aiden (Christian Sugiono, 'Jomblo', 'Cinta Silver'), suami baru Maira (Luna Maya, 'Love', 'Cinta Silver'), dengan ukuran yang paling besar, dihadiahkan kepada Vanya (Richelle Georgette Skornicki, 'Kembang Kantil'), keponakan Aiden yang ia adopsi bersama Maira lantaran kedua orang tuanya meninggal.
ADVERTISEMENT
Maira yang sebelumnya punya pengalaman buruk dengan boneka Sabrina, anaknya meninggal akibat sebuah kecelakaan, lantas ia mencoba berkomunikasi dengan arwah anaknya tersebut lewat medium boneka Sabrina, boneka kesayangan anaknya. Sejak itu hidupnya dipenuhi teror.
Kini boneka Sabrina kembali hadir, dan Maira anteng-anteng saja, seanteng penulis skenario film ini yang sebetulnya mengulang kisah yang sama yang pernah terjadi dalam film 'The Doll 2'. Nyontek karya orang lain barangkali terlalu biasa, tetapi nyontek karya sendiri itu baru luar biasa-- untuk tidak menyebutnya lazy writing.
Kisah dimulai lewat sebuah prolog. Di sebuah rumah mewah, seorang wanita bernama Andini kerasukan roh jahat (atau kerasukan entitas, pembuat film ini menghindari kata "roh", "arwah" lantas menggantinya dengan kata "entitas"). Andini meronta-ronta kesakitan, hingga datanglah pasangan paranormal Laras (Sara Wijayanto, 'Tarot', 'The Doll 2') dan Raynard (Jeremy Thomas, 'Tiger Boy', 'Ten: The Secret Mission'), yang mencoba mengusir entitas tersebut keluar dari tubuh Andini.
ADVERTISEMENT
Lewat sebuah drone-shot, kita melihat sosok Andini berdaster putih sedang menempel di dinding luar tembok lantai dua rumahnya sambil geleng-geleng kepala dan melotot. Rupanya dirasuki entitas dapat membuat tubuh Andini memiliki kekuatan superhero layaknya Spider-Man yang dapat menempel di dinding.
Prolog tersebut seakan memperkenalkan tokoh utama film ini yang semula saya duga Laras dan Raynard, namun saya keliru. Prolog berakhir lantas kita dikenalkan kepada tokoh baru, yakni Aiden.
Jumpa pers film Sabrina. (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Jumpa pers film Sabrina. (Foto: Munady Widjaja)
Aiden adalah sosok pengganti Aldo yang diperankan Herjunot Ali dalam 'The Doll 2'. Aiden juga merupakan kakak ipar Andini. Kini, ia dan Maira mengasuh Vanya, anak semata wayangnya. Tanpa perlu kilas balik, sesungguhnya kita dapat menduga bahwa suami Andini (diperankan Rizky Hanggono, 'Jomblo', 'Ungu Violet') tewas bersama Andini dalam insiden di awal film.
ADVERTISEMENT
Namun, pembuat film ini senang sekali bercerita dengan gaya berbelit-belit lewat kilas balik, bukan demi suspense, tetapi demi membuat film ini seolah terlihat ruwet dan njelimet.
Vanya belum dapat menerima Maira dan Aiden sebagai pengganti orang tuanya. Entah dapat ilham dari mana, Aiden malah memberi hadiah iPad dan boneka Sabrina untuk menghibur hatinya. Lalu, di sekolah ada seorang teman Vanya yang dapat memanggil entitas lewat permainan "Charlie", seperti permainan Jailangkung dengan kata "jailangkung" diganti "Charlie". Sampai di sini paham?
Si bocah yang memperkenalkan permainan Charlie ini, dengan pede menyebut bahwa lewat permainan tersebut ia dapat memanggil entitas untuk hadir di dekatnya dan melakukan interaksi dengannya. "Entitas" dalam KBBI diartikan sebagai (n) satuan yang berwujud, maujud. Dalam bahasa Inggris "entitas" dijabarkan sebagai "a thing with distinct and independent existence" (sesuatu yang keberadaannya mandiri), atau sederhananya, roh atau arwah yang kita ketahui biasanya adalah wujud dari manusia yang telah mati. Mati dulu baru kemudian menjadi setan. Nah, entitas bukan seperti itu.
Boneka Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Boneka Sabrina. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Film ini sadar betul bahwa konsep setan yang diadaptasi bukanlah konsep setan "arwah gentayangan", melainkan konsep setan sebagai setan itu sendiri yang memang ia ada bukan karena ia perwujudan dari manusia yang telah mati, dalam film dijelaskan kemudian bahwa entitas yang merasuki Andini adalah sesosok makhluk bernama Bhagiah.
ADVERTISEMENT
Lantas ketika di rumah, Vanya mempraktikkan permainan Charlie tersebut untuk memanggil ibunya datang kepadanya. Jelas dalam konsep entitas yang ditawarkan film ini, hantu arwah gentayang tidaklah ada. Maka ketika Vanya memainkan Charlie, yang datang adalah sosok lain, sosok yang sama yang dulu merasuki ibunya.
Bila tokoh-tokohnya saja tidak ketakutan, lantas mengapa kita mesti takut?
ADVERTISEMENT
Selepas Vanya bermain Charlie, Maira kemudian diteror oleh sesosok makhluk yang entah bermotif apa, teror hadir semaunya, kadang cuma menakuti, kadang melukai. Sampai akhirnya, ia meminta bantuan Laras dan Raynard untuk mengusir entitas tersebut. Hingga pada akhirnya terkuaklah cerita di balik Andini yang dulu kerasukan hingga membuatnya dan suaminya tewas.
Saya perlu beberkan spoiler terbesar film ini, sebab ia begitu krusial akan penilaian saya terhadap film ini. Bila Anda tak ingin mengetahuinya, sebaiknya berhenti membaca sampai di sini saja.
Baik, Anda masih lanjut membaca. Jadi, yang membuat Andini kerasukan adalah Aiden! Aiden berniat untuk mencelakakan kakaknya lantaran ia ingin menguasai share saham perusahaan yang dimiliki kakaknya agar menjadi bagiannya sendiri. Ia mendatangi dukun untuk mencelakakan kakaknya tersebut, tetapi malah istri sang kakak, Andini, yang kala itu tengah tertidur, yang kena batunya.
ADVERTISEMENT
Saya ngakak luar biasa.
Michael Scott tertawa jahat. (Foto: Tenor)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Scott tertawa jahat. (Foto: Tenor)
Twist film ini saya nobatkan sebagai salah satu momen dalam film nasional Indonesia kontemporer yang paling konyol yang pernah ada. Konyol sebab motif Aiden untuk mencelakakan kakaknya terlalu mengada-ada, murahan, dan konyol, seperti hasil tulisan penulis naskah sinetron kejar tayang yang paling malas. Mbok ya urusan pembagian saham diselesaikan lewat notaris saja, bisa pula lewat trik tipu-menipu, bukan ke dukun!
Kekonyolan berikutnya adalah inkonsistensi watak/karakter Aiden yang sedari awal memperlihatkan sifat-sifat bermoral; mencintai Maira setulus hati, mencintai Vanya, tak ada adegan planting secuil pun yang dapat memberi petunjuk kepada kita bahwa Aiden bukanlah sosok yang kita duga selama ini.
Praktik penulisan naskah yang sembrono seperti ini sebenarnya sering kita jumpai dalam banyak film nasional kita, hanya di film ini, sembrononya luar biasa, dan konyolnya, penulis naskah film ini terlihat seolah-olah sedang memberikan kisah yang selevel dengan 'Memento' (Christopher Nolan, 2000), atau 'Split' (M. Night Shyamalan, 2016), padahal mereka sedang mempermalukan diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Membuat twist adalah satu hal, tetapi membuat naskah skenario yang koheren, yang memiliki reka percayanya sendiri yang dibangun di atas azas kemasuk-akalan, adalah hal lain yang sepatutnya dikuasai terlebih dahulu secara betul-betul. Ia adalah fondasi awal, sebelum gimmick-gimmick lain dimasukkan ke dalamnya untuk lebih memperkayanya.
Rocky Soraya. (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Soraya. (Foto: Munady Widjaja)
Rocky Soraya menyutradarai film ini dengan visi seorang penata spesial efek. Banyak pengadeganan yang dibikin segaya mungkin demi gaya itu sendiri, bukan demi fungsi. Misalnya shot-shot kamera yang track in atau track out menembus pintu/dinding, hingga berkali-kali kita dapat melihat pintu CGI di film ini.
Bagian krusial, yakni bagaimana menghidupkan sosok boneka Sabrina malah luput dari perhatiannya. Sabrina tak pernah diperlihatkan dapat bergerak layaknya boneka Chucky misalnya. Satu-satunya yang dapat dilakukan Rocky Soraya untuk memperlihatkan bahwa boneka Sabrina berbahaya adalah dengan membuat kedua bola mata Sabrina dapat mendelik ke kiri atau ke kanan. Dan ia lakukan berkali-kali. Alih-alih menyeramkan, Sabrina jadi terlihat genit, seperti pengin dimanja.
ADVERTISEMENT
Faktanya, Sabrina tak berperan banyak. Dan, terkesan film ini salah judul. Bukan 'Sabrina', mestinya film ini diberi judul 'Andini' sebab hampir 90 persen plot film bersinggungan dengan kisahnya. Tanpa kehadiran Sabrina, cerita film tak akan jauh berbeda.
Perlu diakui, spesial efek film ini hadir luar biasa dan dikerjakan dengan serius. Bahkan ada tikus CGI yang tampil betul-betul terlihat seperti tikus sungguhan. Penata spesial efek film ini tahu betul caranya mengintegrasikan CGI sehingga tampil halus dan terlihat wajar.
'Sabrina' menyadarkan kita, terlebih bagi para sineas tanah air, tontonlah, dan Anda akan mengerti bahwa bilamana lain kali Anda akan membuat film dengan banyak spesial efek, ajaklah Rocky Soraya menjadi bagian kru Anda, bukan sebagai sutradara, paling tidak jadikan ia semacam Supervisor Penata Spesial Efek, maka insyallah film Anda akan mendapatkan treatment spesial efek yang cukup keren.
ADVERTISEMENT