Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2, I Can Not Relate
2 Maret 2020 13:10 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam film ‘Sebelum Iblis Menjemput (SIM)’ besutan Timo Tjahjanto (‘The Night Comes for Us’, ‘Killers’) yang rilis dua tahun lalu, teror terjadi di sebuah vila di Puncak, entah di kelurahan mana tepatnya, yang pasti vila tersebut berlokasi di tengah hutan, jauh dari keramaian, dan tanpa tetangga.
ADVERTISEMENT
Mengapa sekelompok orang mau bersusah payah untuk mendatangi vila tersebut, yang bukan sembarang vila, tetapi terkutuk pula? Tentu ini pertanyaan yang sah, dan set up film horor yang menggiring para karakternya untuk terisolasi di sebuah tempat bukan hal baru, tetapi yang penting bagaimana meyakinkan penonton bahwa ada alasan logis di balik keputusan para karakter dalam film ihwal mengapa mereka mau mengunjungi sebuah tempat terpencil. Di film-film Hollywood, pada kasus demikian, biasanya motif pergi liburan atau tersesat di jalan dijadikan alasan yang dapat diterima. Simpel. Siapa pun bisa tersesat di jalan, kan?
Dalam ‘SIM’ alasan itu adalah perkara harta gono-gini. Pengusaha kaya (lantaran menyembah setan) bernama Lesmana meninggal, keluarga yang ditinggalkan berencana menjual vila di tengah hutan yang katanya di Puncak itu. Tapi, zaman sekarang Puncak sebelah mana yang terisolasi? Siapa pula yang mau membeli vila reyot puluhan tahun yang jauh dari mana-mana? Keluarga Lesmana bermalam di vila tersebut, lantas teror menghantui mereka.
Secara penggarapan teknis, ‘SIM’ tampil cemerlang, mulai dari tata kamera, special effects, tata suara, hingga adegan-adegan action yang penuh darah dieksekusi secara cermat oleh Timo, yang tak pernah saya ragukan kemampuannya dalam menyutradarai film di genre ini sejak ia membesut ‘Rumah Dara’ bersama Kimo Stamboel. Tetapi, usahanya dalam membangun semesta film, termasuk menciptakan dialog dan bagaimana mengarahkan pemain agar nampak seolah terjadi di dunia kita sehari-hari, selalu mengecewakan. ‘Rumah Dara’ tak nampak seperti terjadi di sebuah tempat di Bandung, SIM tak nampak seperti terjadi di Puncak, begitu pun yang menimpa ‘Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2’ (SIM2). Pengulangan segala yang terbaik dan terburuk dari Timo sebagai sutaradara/penulis film.
ADVERTISEMENT
Kali ini dalam ‘SIM2’ rumah terkutuk itu adalah sebuah panti asuhan, yang lagi-lagi berlokasi di tengah hutan, yang mana sinyal ponsel saja tak ada. Alfie (Chelsea Islan, 'Headshot', 'Rudy Habibie') yang selamat dari teror vila di film sebelumnya, kini mesti membantu sekelompok orang yang tak dikenalnya, untuk mau mendatangi rumah panti asuhan yang dahulu pernah ditinggali sekelompok orang tersebut.
Anehnya, plot ‘SIM2’ ini agak mirip dengan ‘Ratu Ilmu Hitam’ yang disutradarai Kimo Stamboel dengan naskah tulisan Joko Anwar yang sempat edar tahun lalu. Beberapa orang dewasa yang sempat menghuni panti asuhan, tentu saja lokasinya terpencil antah berantah, mendatangi rumah panti demi satu per satu dari mereka pada akhirnya mendapatkan teror mematikan. Para bekas penghuni panti tersebut ternyata menyimpan rahasia gelap, dan berbuat sesuatu yang jahat kepada sang pemilik panti di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Nah, lebih kurang itu pula yang terjadi dalam ‘SIM2’, orang-orang asing yang menyeret Alfie, sang tokoh utama kita, punya masalah yang belum selesai dengan bekas pengasuh mereka di panti asuhan tersebut. Alfie mereka paksa terlibat sebatas karena mereka mengetahui apa yang telah dilewati Alfie dua tahun silam.
Film ini masih memberi kita kesan akan kehebatan Timo dalam hal teknis penggarapan film, sinematografi yang luar biasa, sekuen-sekuan aksi yang menegangkan, adegan penuh darah yang dieksekusi sedemikian cermat, brilian, dan terkadang — sangat kreatif nan imajinatif! Menontonnya sebatas untuk mengapresiasi itu saja, saya cukup senang dan lumayan betah.
Hanya urusan cerita saja yang mengganjal. Lokasi panti asuhan di tengah hutan? Coba pikirkan logistik untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, tak hanya menyusahkan para penghuni panti, tapi siapa pun yang mau berdonasi kan jadi kesulitan! Lalu anak-anak panti yang diasuh kok bisa hampir semua keturunan bule, ya? Baiklah, itu mungkin tak penting-penting amat. Tapi, biar bagaimana pun, membuat cerita bahwa ada panti asuhan yang berlokasi benar-benar di pedalaman masih sulit saya terima, kecuali ada justifikasi yang dilakukan — dan itu tak kejadian di film ini. Dan dialog-dialog pun cringe banget, seolah penulis naskah tak pernah nimbrung ngobrol dengan orang-orang biasa yang sehari-hari berbicara dalam bahasa Indonesia di kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Sosok iblis di film pun, sama halnya seperti di film pertama, yakni moloch, teramat asing dari khazanah dunia mistis kita. Memang tak masalah dan sah-sah saja bercerita tentangnya, tetapi setelah terasing dengan karakter-karakter di film yang berdialog canggung, terasing dengan dunia yang tampil di film ini, saya jadi semakin cannot relate, seolah menonton film horor dengan setting nusantara tapi setannya Dracula atau Candyman!
Kuntilanak, Sundel Bolong, Pocong dan segenap kawan-kawannya saja tak pernah bikin saya ketakutan. Moloch? Apaan tuh!