'Sonic the Hedgehog': Film Adaptasi Game yang Layak Ditonton Semua Orang

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
27 Februari 2020 16:51 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Still adegan Sonic the Hedgehog | Paramount Pictures
Mengadaptasi videogame menjadi film bukanlah mainan baru di Hollywood, dan tak pernah ada jaminan hasilnya bakal memuaskan baik pencinta game-nya sendiri maupun penonton umum. Lebih sering hasilnya ternyata mengecewakan, sedari dulu dari tahun 1990-an hingga era sekarang! Tapi, Hollywood tak pernah kapok untuk terus memproduksi film-film adaptasi game tersebut, semata karena mereka memiliki pasar yang luas, yakni seluruh pelosok Bumi.
ADVERTISEMENT
‘Super Mario Bros.’ (1993), ‘Street Fighter’ (1994), ‘Mortal Kombat’ (1995)—saya lumayan suka sih sebenarnya, pada zamannya koreografi kelahi film ini terlihat keren, ditambah soundtrack-nya yang full of adrenalin itu, tapi secara cerita meh sekali, apalagi sekuelnya hancur mina, saudara-saudara!
Era 2000-an ada Tomb Raider-nya Angelina Jolie, ‘Doom’ (dengan Dwayne Johnson yang belum setenar sekarang), ‘Dead or Alive’, ‘Tekken’, lantas di era sekarang ada ‘Assassin’s Creed (Michael Fassbender dan Marion Cotillard tak kuasa menyelamatkan film tersebut), ‘Warcarft’, ‘Angry Bird Movie’ merupakan sedikit saja yang dapat saya sebut dari sekian banyak film adaptasi game yang gagal menjadi tontonan seru.
Stil adegan Sonic the Hedgehog | Paramount Pictures
Perlu dicamkan bahwasanya game dan film adalah dua medium yang berbeda. Dalam game kita terlibat secara aktif menentukan jalan cerita dan petualangan yang dilalui si karakter utama (sekaligus avatar kita sebagai pemain), dalam film keterlibatan kita pasif, kita diminta untuk menerima saja apa yang disuguhkan. Dan, secara umum game memiliki cerita yang sederhana, yang membuatnya unik dari satu game ke game lain adalah gameplay-nya atau bagaimana caranya dimainkan.
ADVERTISEMENT
Mengadaptasi game ke dalam film praktis seperti membuat film original, namun dibebani prasyarat yang tak boleh dilanggar seperti karakter; nama dan penampilan yang mesti sesuai aslinya, dan sejumlah elemen ikonik dari game tersebut yang mesti ikut tampil. Urusan cerita biasanya asli, berbeda dari cerita game.
Setelah ‘Pokemon Detective Pikachu’ (Rob Letterman, 2019), ‘Sonic the Hedgehog’ menjadi film adaptasi game yang saya berani klaim; berhasil memuaskan penggemar game-nya sekaligus juga penonton umum yang mengunjungi bioskop sebatas untuk mencari film hiburan.
Ditulis oleh Patrick Casey (‘Hulu Into the Dark’) dan Josh Miller (‘12 Deadly Days’), di atas sebuah premis klasik ala ‘E.T.’, alien bertemu seorang manusia, lantas bersahabat, tetapi ada pihak-pihak yang menginginkan si alien untuk ditangkap, bagaimana si alien dan sahabat manusianya kemudian saling bahu membahu menghindari ancaman adalah petualangan sebagai inti cerita.
ADVERTISEMENT
Debut film panjang Jeff Fowler ini tak membosankan sama sekali, ia tahu dan sadar akan marwahnya sebagai film yang didasarkan pada game tentang seekor landak alien berwarna biru yang memiliki kekuatan berlari super kencang—Jeff tidak berlagak membungkus film ini menjadi edgy. Ia curahkan energi positif, lelucon, referensi budaya pop, dan karakter-karakter yang menyenangkan ke dalam film. Walau alur cerita cukup sederhana, tetapi tetap saja tidak berarti itu buruk, film ini dipenuhi dialog-dialog jenaka dan sejumlah adegan aksi yang mengesankan. Lewat film ini, Sonic sebagai salah satu ikon legendaris videogame terepresentasikan dengan baik.
Aktor sekaligus komedian Ben Schwartz (dari serial ‘Parks and Recreation’) merupakan pilihan yang tepat sebagai pengisi suara dan model motion capture (teknis animasi) Sonic sendiri. Ia berhasil membangun citra karakter Sonic yang sombong tetapi juga sambil menunjukkan kerapuhannya sebagai orang yang kesepian, yang merindukan kehadiran sahabat. Karakter Sonic, ironisnya, justru tampil paling manusiawi dan berdimensi dibanding semua karakter manusia di film ini.
ADVERTISEMENT
James Marsden (‘X-Men’, ‘Enchanted’) juga memberikan penampilan yang menyenangkan sebagai Tom Wachowski, seorang polisi desa yang bermimpi menjadi polisi kota dan memberantas kejahatan. Ia bisa melucu sambil mempertahankan wibawanya. Dan, Jim Carrey (‘Ace Ventura’, ‘The Mask’) comeback dalam salah satu penampilan terbaiknya yang “klasik” sebagai Dr. Robotnik, musuh bebuyutan Sonic.
Jim Carrey sebagai Dr. Robotnik sang musuh bebuyutan Sonic | Paramount Pictures
Menyaksikan Jim Carrey di film ini merupakan nostalgia tersendiri, berakting over the top khas yang sering ia lakonkan di film-filmnya era 90-an dan 2000-an awal. Dan karakter Dr. Robotnik memang pas sekali ia perankan, walaupun dalam game ia berperut buncit, tetap saja personanya sebagai penjahat jenius nan sinting amat sreg dengan apa yang ditampilkannya di sini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa desain awal Sonic untuk film ini kurang diterima publik, sehingga diputuskan kemudian tim pembuat film ini memperbaiknya, tak main-main, biaya tambahan yang mesti keluar konon mencapai angka lima juta Dolar Amerika. Hasilnya tak mengecewakan, terbukti publik pun puas dengan desain karakter Sonic yang menyerupai wujud aslinya dari game, persis seperti yang mereka mau. Pembuat film ini, dan didukung studio, mau mendengarkan kritik penggemar (netizen), alih-alih menyerang balik atau berlagak jagoan, mereka menerima kritikan tersebut untuk menghasilkan film yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dan demi itu saja, selayaknya kita dukung film ini, agar para petinggi di Hollywood dapat melihat betapa pentingnya kritik, dan begaimana semestinya mereka merespons kritik tersebut secara positif.