Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Spider-Man: Into the Spider-Verse, Sebuah Penghormatan pada Masa Lalu
19 Desember 2018 9:21 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Kita semua tahu bahwa Spider-Man, karakter fiktif dari dunia Marvel, adalah alter ego dari Peter Parker yang memiliki kekuatan istimewa dapat menempelkan tubuhnya di dinding layaknya laba-laba, memiliki kepekaan dan kekuatan laba-laba, hingga dapat bergelantungan di antara gedung-gedung pencakar langit. Pokoknya, ia dapat melakukan apa pun yang serba laba-laba.
ADVERTISEMENT
Peter, yatim piatu yang diasuh oleh bibi dan pamannya, suatu ketika digigit laba-laba hasil eksperimen laboratorium. Lalu, gennya seketika bermutasi dan memberikannya kemampuan super yang ia gunakan untuk memberantas kejahatan di Brooklyn, New York, kampung halamannya.
Kematian pamannya, Ben, yang tewas di tangan begundal, membuat Peter berkomitmen untuk menjadi sosok penolong bagi siapa pun yang berada dalam kesulitan. Begitu, cerita itu terus diulang-ulang dalam setiap kemunculan film/serial televisi yang menampilkannya.
Pada mulanya, Spider-Man diciptakan dalam bentuk komik oleh--siapa lagi kalau bukan--Stan Lee (cerita) dan Steve Ditko (gambar) pada tahun 1962. Pada tahun 1977, serial televisi live action bertajuk The Amazing Spider-Man (bertahan hingga dua musim) yang dibintangi Nicholas Hammond (The Sound of Music) menjadi live action pertama adaptasi lepas dari komiknya, yang cukup sukses dan disukai hampir semua orang di muka bumi ini, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, banyak sekali dibuat serial televisi baik animasi maupun live action, juga film feature panjang (home video) yang mengisahkannya. Jepang bahkan memiliki versi Spider-Man-nya sendiri dalam bentuk super sentai yang menggambarkannya bak Power Ranger atau Gaban lengkap dengan motor canggih dan robot raksasa yang dapat ia kendalikan ketika mesti berduel dengan monster raksasa. Tahun 1969, komikus tanah air, Kus Bram, membuat karya plagiatnya yang ia namai Laba-Laba Merah.
Tentu, di antara semua kemunculan Spider-Man dalam budaya pop kontemporer yang kita akrabi, film Spider-Man besutan Sam Raimi yang rilis tahun 2002, yang dibintangi Tobey Maguire dan Kirsten Dunst, barangkali menjadi film yang paling mempopulerkannya ke lebih banyak khalayak.
Selepas trilogi Spider-Man Sam Raimi berakhir pada tahun 2007, Sony/Columbia Pictures yang memiliki hak memfilmkan Spider-Man kembali memfilmkannya pada tahun 2012 dengan tajuk The Amazing Spider-Man, dibintangi Andrew Garfield yang menggantikan Tobey Maguire, dan disutradarai Marc Webb (500 Days of Summer, Gifted). Sayang, film ini berikut sekuelnya kurang laku di pasaran, kritikus film pun banyak yang mencibirnya.
ADVERTISEMENT
Namun, lagi-lagi Sony/Columbia Pictures seolah tak pernah rela untuk tak memonetisasi tokoh jagoannya itu. Setelah gagal mem-Peter-Parker-kan Andrew Garfield, lantas mereka berkolaborasi dengan Marvel Studio untuk membuat film Spider-Man: Homecoming besutan Jon Watts, yang dibintangi Tom Holland sebagai Peter Parker/Spider-Man, demi upaya meraup dolar dan tentu saja agar hak atasnya tak jatuh ke tangan Marvel Studio.
Untungnya, upaya mereka tersebut disambut baik oleh penonton, kritikus, dan penggemar budaya pop pada umumnya. Semua orang menyukainya. Sekuelnya yang diberi judul Spider-Man: Far from Home siap kembali menyapa penggemarnya tahun depan.
Satu hal yang saya sukai tentang Spider-Man: Homecoming adalah bahwa kita tak lagi dijejali cerita ihwal Paman Ben yang mati terbunuh. Film tersebut sadar betul bahwa kita sudah tahu cerita itu lewat trilogi film Spider-Man besutan Raimi dan dua film The Amazing Spider-Man besutan Webb.
ADVERTISEMENT
Bahkan, tak ada pengulangan dialog “With great power comes great responsibility” (dengan kekuatan besar ada tanggung jawab yang besar). Pembuat filmnya menganggap bahwa penonton sudah tahu bahwa hal buruk telah menimpa Peter, dan karena itu, ia menjadi Spider-Man.
Lantaran sambutan hangat yang diraih Spider-Man: Homecoming dan juga ikut tampilnya Peter Parker/Spider-Man di film Captain America: Civil War dan Avengers: Infinity War dari Disney/Marvel Studio, Sony nampaknya semakin pede untuk sedikit bereksperimen, kalau tak mau disebut berjudi, dengan memperkenalkan Spider-Man baru lewat film animasi berjudul Spider-Man: Into the Spider-Verse.
Keunikan Spider-Man dibandingkan karakter-karakter jagoan lain dari dunia komik mana pun, ia tak sama seperti Batman, Superman, atau Captain America. Kita tahu siapa Superman, yakni seorang pria dewasa dengan rambutnya yang hitam agak ikal. Batman atau Captain America, karena mereka memakai setengah topeng yang menyisakan hidung hingga dagu yang terbuka, tetap kita bisa tahu dan mengidentifikasi mereka secara fisik.
ADVERTISEMENT
Sementara Peter Parker, kita juga tahu ia seorang ABG bule, tetapi ketika ia menjadi Spider-Man, tubuhnya tertutup rapat dalam balutan kostum dari kepala hingga ujung kaki. Tak ada seorang pun yang dapat mengenalinya--apakah ia cowok atau cewek, juga perihal warna kulitnya, tak ketahuan. Maka dari itu, kita yang sempat membaca komik Spider-Man atau menonton filmnya dapat mengkhayal bahwa kita pun bisa menjadi Spider-Man.
Keunikan lainnya adalah karakter Peter Parker selalu digambarkan sebagai cowok seperti kebanyakan orang di kehidupan sehari-hari dengan segala permasalahan hidupnya. Walaupun ia kere, suka telat bayar uang kosan, tak berpenampilan keren-keren amat, tetapi ia masih berkeinginan untuk berbuat hal-hal baik.
Padahal, bila kebanyakan anak seumurannya memiliki kekuatan hebat seperti yang dimilikinya, bisa saja mereka pergunakan untuk memperkaya diri. Peter pun pada mulanya seperti itu, tetapi lantas ia diingatkan pada “with great power comes great responsibility.”
Kita telah melihat beberapa variasi karakter Peter Parker lewat sejumlah film dan serial televisi. Dari semua variasi tersebut, ia selalu digambarkan sebagai cowok bule. Hingga kemudian, tibalah saatnya bagi Miles Morales, ABG afro-latino, karakter fiktif yang diciptakan oleh Brian Michael Bendis (cerita) dan Sara Pichelli (gambar).
ADVERTISEMENT
Miles diperkenalkan pertama kali lewat komik Ultimate Fallout #4 yang mengisahkan kematian Peter Parker, dan lantas Miles yang menggantikannya sebagai Spider-Man. Spider-Man: Into the Spider-Verse berkisah tentangnya.
Film animasi arahan Bob Persichetti (Puss in Boots, The Little Prince), Peter Ramsey (Rise of the Guardians), dan Rodney Rothman yang berbekal naskah skenario tulisan Phil Lord (The Lego Movie) dan Rodney Rothman (22 Jump Street) ini sangat unik, baik dalam segi visual maupun cerita yang ditawarkan. Beberapa orang menyebut visual film ini psychedelic.
Entah apa mereka paham atau tidak apa yang mereka omongkan, saya tak mengerti apa itu psychedelic, tetapi yang pasti gaya animasi film ini memang unik dan istimewa, tak pernah saya jumpai sebelumnya. Animasi 2D dan 3D dikawinkan, guratan dan warna gambarnya seolah hasil editan photo editor premium yang menawarkan pilihan filter pop art. Sesekali kita juga bakal menemui balon dialog dan caption layaknya yang biasa ada dalam panel komik.
Alkisah, di dunia yang ditinggali Miles Morales (Shameik Moore, Dope, The Get Down), Peter Parker (Chris Pine, Wonder Woman, Star Trek) tewas terbunuh. Sementara itu, Miles digigit laba-laba hasil eksperimen, dan saya yakin Anda pasti tahu apa dampaknya hal tersebut terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum ajalnya, Peter berusaha mencegah Wilson Fisk alias Kingpin (Liev Schreiber, Spotlight, X-Men Origins: Wolverine) yang menciptakan portal untuk membuka dimensi lain (multiverse) demi dapat bersatu kembali dengan Vanessa sang pujaan hati dan anaknya. Portal itu sempat terbuka dan membawa beberapa Spider-Man dari berbagai dimensi lain datang ke Brooklyn, kota di mana Miles tinggal.
Ada Peter Parker versi lain yang berambut hitam, bukan pirang, dan berperut buncit (Jake Johnson, Jurassic World, The Mummy); ada Spider-Woman/Gwen Stacy (Hailee Steinfeld, True Grit, The Edge of Seventeen); ada Peni Parker (Kimiko Glenn, Nerve), cewek Jepang yang dapat mengendalikan robot Spider-Man (animasinya dibuat beda sendiri khas anime); ada Spider-Ham/Peter Porker (John Mulaney), sesuai namanya, ia seekor babi yang datang dari dunia kartun--tentu saja ia pun pada mulanya digigit laba-laba hasil eksperimen; dan ada pula Spider-Man Noir (Nicholas Cage, Con Air, Ghost Rider), Spider-Man berkostum detektif, bersuara berat nan berwibawa dari era 1930-an, dan ia hitam putih.
ADVERTISEMENT
Kita tengah hidup pada era keemasan film-film jagoan adaptasi komik. Zaman yang kelak bakal dikenang lantaran film-film jagoan Amerika dibuat sedemikian keren dan sebagai perwujudan mimpi para penggemarnya, termasuk kehadiran film Spider-Man yang satu ini, yang secara gagasan begitu liar dan absurd, hellow... Spider-Ham!
Seperti mitologi Spider-Man yang kita ketahui, ada tumbal nyawa yang mesti direnggut dari hidup Miles sebelum ia dapat mengenakan kostum Spider-Man dan berkomitmen mendedikasikan hidupnya demi kebenaran. Dalam kasus Peter Parker, Paman Ben manjadi tumbalnya. Spider-Woman/Gwen Stacy, di dimensi lain, alih-alih ia yang tewas seperti yang selama ini kita tahu, justru kekasihnya Peter Parker-lah yang tewas di tangan penjahat, lantas ia menjadi Spider-Woman.
ADVERTISEMENT
Miles pun demikian. Saya tak ingin membocorkan siapa yang menjadi “Paman Ben”di film ini, apa yang terjadi kepadanya tak kalah pahit, dan memberinya pelajaran hidup yang begitu berarti dan berujung pada pilihannya untuk mengenakan kostum Spider-Man-nya sendiri.
Nicholas Cage lewat akting suaranya sebagai Spider-Man Noir menjadi favorit saya. Ia memberikan suguhan yang amat mengesankan dan tak terlupakan. Dibekali naskah skenario yang tajam dan lucu.
Spider-Man: Into the Spider-Verse memberi kisah awal mula seorang jagoan (origin story) dengan memberi penghormatan kepada masa lalu terhadap film-film Spider-Man sebelumnya, lantas menciptakan kembali Spider-Man untuk masa sekarang dan yang akan datang. Film ini adalah mahakarya animasi dan menetapkan standar yang tinggi untuk setiap film Spider-Man mendatang. Tidak hanya menangkap esensi dari apa itu artinya menjadi Spider-Man, film ini juga berhasil secara sempurna menyeimbangkan action, empati, komedi, dan emosi dengan cara yang belum pernah saya temukan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Inilah film Spider-Man terbaik, juga salah satu film terbaik secara umum di antara sejumlah film yang saya tonton sepanjang tahun ini. Dibutuhkan lompatan iman untuk mempercayai apa yang saya katakan ini. Lantas, pergilah ke bioskop untuk menontonnya, percayalah, memang sebagus itu.