Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Suzzanna Hidup Kembali dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur
19 November 2018 17:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Genre Baru
Kita, bangsa Indonesia, memiliki banyak kekhasan tersendiri hampir dalam segala hal di setiap segi kehidupan yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Contohnya tisu toilet. Oleh kita, malah dijadikan tisu makanan.
ADVERTISEMENT
Film dengan rating Remaja atau Dewasa, malah ditonton pula oleh anak-anak balita yang diajak orang tuanya ke bioskop. Hanya di Indonesia, trotoar diciptakan bukan untuk pejalan kaki, melainkan agar motor-motor dapat melintasinya manakala jalanan macet.
Dan, hanya di Indonesia pula lampu lintas memiliki aturan tersendiri; saat lampu kuning menyala, bukannya siap-siap berhenti atau mengurangi kecepatan, para pengendara justru malah tancap gas--kadang-kadang seperti sedang dikejar setan. Masih banyak contoh lain yang khas dari kita.
Nah, dalam soal hiburan seperti film misalnya, kita juga punya genre khas yang tidak akan Anda jumpai di negara lain. Misalnya genre religi. Hanya di Indonesia ada genre ini, yakni sebuah kategorisasi film yang membedakan bentuk atau gaya tuturnya dengan yang lain dengan kriteria unsur-unsur religi yang menjadi inti dari bentuknya.
ADVERTISEMENT
Film-film yang dilabeli genre religi biasanya memiliki tokoh-tokoh yang berkopiah dan berhijab, serta dialog-dialognya sesekali memuat istilah-istilah dalam Bahasa Arab, seperti astaghfirullah dan subhanallah. Pencetusnya film Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008), 10 tahun lalu genre baru ini tercipta, dan hingga kini konsisten dibuat oleh sineas tanah air.
Selepas genre religi, kita, bangsa yang dikenal akan kreativitasnya yang tinggi ini, kemudian menciptakan genre baru lagi, yakni genre Reborn. Sebuah genre yang menampilkan karakter-karakter yang dimainkan aktor/aktris yang kita punya sekarang dalam peran yang membangkitkan legenda-legenda ikonis sinema Indonesia yang telah tiada.
Abimana Aryasatya pernah berperan sebagai Dono dengan rupa dan gestur yang dimirip-miripkan dengannya. Vino G Bastian juga pernah berperan sebagai Kasino, juga dengan rupa dan gestur yang dimirip-miripkan dengannya. Tora Sudiro pernah berperan sebagai Indro.
ADVERTISEMENT
Film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (Anggi Umbara, 2016) produksi Falcon Pictures menjadi pencetus genre baru ini. Filmnya sendiri kini tercatat sebagai film paling laku nomor satu di Indonesia sepanjang masa! Selepas itu ada lanjutannya, yakni Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 yang juga sukses diterima pasar.
Sial, usaha Falcon Pictures berikutnya dalam me-reborn-kan legenda lainnya, Benyamin S, gagal total lewat Benyamin Biang Kerok (Hanung Bramantyo, 2018) yang mendapuk Reza Rahadian sebagai “Benyamin masa kini” yang direspon penonton dengan cibiran, “Benyamin masa gitu?” Sehebat-hebatnya Reza dalam bermain peran, tak kan mampu ia atau siapa pun menggantikan Benyamin S. Tahun depan bakal ada film reborn lagi tentang Ateng dan Iskak.
ADVERTISEMENT
Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi di belahan Bumi lain. Di Amerika, misalnya, Jim Carey atau siapa pun tak kan pernah berperan dalam satu film sebagai Charlie Chaplin, misalnya, lantas filmnya sendiri merupakan remake dari film-film Chaplin. Tak kan mungkin Chris Pine, Chris Hemsworth, atau Armie Hammer bermain film membangkitkan sosok James Dean.
Baru membayangkan idenya saja barangkali akan membuat para petinggi studio film di sana ketawa cengengesan. Namun, kita kan bangsa yang unik. Maka, inilah kekhasan dunia film kita. Dalam hal bernostalgia, tak ada yang dapat menandingi kita.
Suzzanna Sang Legenda
Jauh sebelum Falcon Pictures berupaya menghidupkan para legenda yang telah tiada seperti Warkop DKI dan Benyamin S, juga sebelum Soraya Intercine Films ikut-ikutan membangkitkan Suzzanna kembali tampil dalam film, pada tahun 2013, produser Gobind Punjabi lewat Sentra Films sempat membuat film berjudul Bangkit dari Lumpur. Film ini berkisah tentang seorang perempuan (dimainkan Dewi Perssik) yang diperkosa beramai-ramai, dibunuh, dan dibuang ke lumpur Lapindo, lalu ia gentayangan menuntut balas.
ADVERTISEMENT
Film horor yang dibintangi Dewi Perssik tersebut dibuat dalam upaya membangkitkan nostalgia zaman keemasan film horor era Suzzanna pada tahun 1980-an, dan upaya mengenalkan citra Dewi Perssik sebagai titisan Suzzanna--yang tentu saja gagal!
Marketing film tersebut bahkan sampai membuat rilis pers yang menyatakan bahwa Dewi Perssik sempat didatangi Suzzanna melalui mimpi dan memberikan restu terhadapnya. Manalah mungkin kita dapat diperdaya semudah itu, dan lagipula Dewi Perssik dalam Bangkit dari Lumpur tak ada mirip-miripnya sama sekali dengan sosok Suzzanna.
Suzanna tak terbantahkan sebagai aktris legenda film horor Indonesia. Tak mentok di ranah horor saja, ia pun bahkan jadi salah satu ikon aktris film Indonesia sepanjang masa, bak Marilyn Monroe di Hollywood sana. Tentu pengakuan tersebut tak datang secara tiba-tiba. Pada masanya, tepatnya di era 80-an, film Indonesia banyak ditangani oleh sineas-sineas serius, baik itu untuk film drama maupun horor.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1981, Suzanna bersama Barry Prima yang juga merupakan ikon legendaris perfilman Indonesia berperan bersama dalam Sundel Bolong garapan sutradara Sisworo Gautama Putra, sang maestro horor Indonesia. Film ini digadang-gadang sebagai film pertama yang mempopulerkan mitos sundel bolong, hantu perempuan bergaun tidur putih yang gentayangan karena mati penasaran.
Salah satu hal yang menarik dari film Sundel Bolong ini (bukan film Legenda Sundel Bolong garapan Hanung Bramantyo yang edar tahun 2007 itu ya!) adalah tagline-nya: "Cantik...menggairahkan...tak kenal ampun!" Dengan tagline seperti itu, siapa coba yang tak tergoda untuk menontonnya? Dan, dalam kamus film horor, perpaduan antara kengerian (horor) dan seksualitas (khususnya eksploitasi kemolekan tubuh perempuan) memang selalu jadi ramuan yang pas.
ADVERTISEMENT
Horor dan Seks
Hampir semua maestro film dunia pernah menggunakan ramuan kombinasi antara horor dan seks. Dario Argento meramunya dalam Suspiria (1977), David Cronenberg dalam Videodrome (1983), Tony Scott si pembuat Top Gun, sekaligus orang yang paling berjasa bagi karier Tom Cruise juga sempat membesut horor erotis berjudul The Hunger (1984) yang dibintangi David Bowie dan Susan Sarandon. Hingga kini, formula ini terus dipakai dan terbukti memang disukai oleh para penggila horor seantero dunia.
Berbeda dengan maestro-maestro film dunia yang dari Barat itu, yang menampilkan seksualitas tidak sebagai objek eksploitasi belaka, sineas kita termasuk juga penontonnya masih malu-malu, bila tak mau disebut munafik, dalam memandang isu yang satu ini.
ADVERTISEMENT
Dalam The Hunger misalnya, Tony Scott bercerita soal kisah cinta segitiga antara seorang dokter dengan sepasang vampir. Di film ini, seks dipandang sebagai hal alamiah dan lumrah terjadi, termasuk bagi kaum vampir yang sedang dimabuk asmara. Adegan “panas”, entah itu adegan seks sepasang kekasih, atau adegan wanita bodoh tanpa busana yang lari ketakutan dikejar-kejar pembunuh dalam sebuah film slasher (sub-genre horor), ketika dikombinasikan ke dalam genre horor secara tepat selalu mampu menyenangkan para penyuka genre horor.
Berbeda dengan bule-bule di sana, di tanah yang kita pijak ini, seks adalah hal yang negatif dan tak patut dipertontonkan ke muka umum, bahkan untuk adegan ranjang antara sepasang suami-istri sekalipun. Lantas, kok ada adegan panas dalam film-film horor kita? Ya, memang ada, namun dalam konteks yang sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
Dalam khasanah film horor Indonesia, seks selalu ditampilkan sebagai hal yang nista. Maka, lihatlah, adegan-adegan “panas” di film horor kita hampir selalu menampilkan adegan perkosaan. Pandangan soal seksualitas yang berbeda antara Barat dan Timur (baca: Indonesia) ini telah membentuk wajah film horor kita.
Sundel Bolong berkisah tentang Alisa (Suzzanna), mantan pekerja seks komersial yang hidupnya berubah setelah dinikahi oleh Hendarto (Barry Prima). Namun sial, Alisa yang kemudian bekerja di sebuah butik ini diculik dan diperkosa. Merasa tertekan, ia pun bunuh diri, lalu gentayangan jadi sundel bolong dan membalas dendam dengan menghabisi satu per satu pemerkosanya.
Dalam Malam Satu Suro (1988) yang juga disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra, Suzzanna berperan sebagai Suketi, sundel bolong yang dibangkitkan dari kuburannya oleh seorang dukun untuk dijadikan anak angkatnya. Syahdan, Suketi dulunya mati bunuh diri setelah diperkosa dan hamil. Arwahnya tidak bisa beristirahat dengan tenang, dan gentayangan menjadi sundel bolong yang penuh dendam. Tuh kan, diperkosa lagi!
ADVERTISEMENT
Beralih ke era 90-an, ada Misteri Janda Kembang (1991) karya Tjut Djalil yang juga melegenda. Film ini berkisah soal Asih (Sally Marcellina) yang (lagi-lagi) diperkosa beberapa cowok, lalu (lagi-lagi) melakukan bunuh diri dan arwahnya gentayangan menuntut balas. Film ini melejitkan Sally Marcellina sebagai ikon aktris panas pada masa itu, dan setelahnya ia membintangi sejumlah film horor lain yang bertema serupa.
Sebagai hantu, Asih kerap kali menggiring calon korbannya dengan berpakaian gaun tidur putih tembus pandang, menggoda mereka hingga terseret ke dalam jebakannya. Duh, saya menunggu sekali bila ada Production House (PH) yang mau me-reborn-kan Sally Marcellina. Hehehe.
Hingga penghujung 90-an, banyak film horor Indonesia dan juga drama yang menyisipkan adegan-adegan seks dalam pemahaman yang paling buruk, ya itu tadi, perkosaan. Atau, setidak-tidaknya, pameran tubuh semata seperti dalam film Skandal Iblis (Tjut Djalil, 1992) yang melejitkan nama Gitty Srinita, yang kemudian juga dikenal sebagai bom seks bersama Inneke Koesherawati yang juga populer di era yang sama.
ADVERTISEMENT
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur -- Sebuah Kelahiran Baru
Pada hakikatnya, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur yang disutradarai Rocky Soraya dan Anggy Umbara ini merupakan remake tak resmi, bila tak mau dianggap mengambil ide cerita, dari film Sundel Bolong karya Sisworo Gautama Putra yang diproduksi oleh Rapi Film pada tahun 1981. Premisnya mirip. Suzzanna (Luna Maya) baru saja mengabarkan berita gembira kepada suaminya, Satria (Herjunot Ali, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck), bahwa ia tengah hamil. Satria yang sedang berbahagia itu lantas diberi tugas dinas ke luar negeri oleh bosnya.
Suzzanna yang tinggal seorang diri kemudian dicelakai oleh beberapa pria hingga mengakibatkannya terbunuh. Dalam Sundel Bolong, Alisa (diperankan oleh Suzzanna) baru saja menikah dengan Hendarto (Barry Prima), belum sempat berbulan madu, Hendarto yang seorang pelaut itu diberi tugas mendadak untuk kembali melaut meninggalkan Alisa seorang diri, hingga pada akhirnya ia diperkosa dan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Yang membedakan keduanya adalah dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Suzzana tak diperkosa. Ia secara tidak sengaja terbunuh oleh seorang dari sekawanan pria anak buah Satria yang terpergok oleh Suzzanna ketika mereka hendak merampok rumahnya.
Luna Maya lewat bantuan penata rias Peter Gorshenin dan Tatiana Melkomova yang luar biasa, juga tentu saja usahanya sendiri sebagai aktor tampil bak titisan Suzzanna yang barangkali tak pernah kita idam-idamkan sebelumnya. Lewat caranya berdialog, juga bahasa tubuhnya yang ia perhatikan dengan saksama, betul-betul ia menjelma sebagai sosok Suzzanna, dan persona Luna Maya benar-benar menghilang. Ia berhasil meyakinkan kita bahwa Suzzanna seolah-olah masih hidup, masih muda, dan lantas membintangi film ini.
Bila premis film ini, berikut jalan cerita dan unsur-unsur horornya, meminjam dari Sundel Bolong, unsur komedi yang juga ikut digarap dengan serius seolah meminjam dari Wanita Harimau (Santet II) karya (lagi-lagi) Sisworo Gautama Putra yang rilis tahun 1989. Peran Bokir, komedian Betawi, yang ngocol di film itu menyita perhatian penonton yang tengah terteror untuk sesekali dapat tertawa melepas ketegangan.
Nah, dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, bagian Bokir itu kini digantikan lewat kehadiran Opie Kumis (sebagai Pak Rojali), Ence Bagus (sebagai Tohir), dan Asri Welas (sebagai Mia). Ketiganya dikisahkan sebagai pembantu di rumah Suzzanna.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah adegan, ketiganya beraksi dalam upaya membuktikan apakah majikan mereka itu setan atau bukan, seperti yang digosipkan warga kampung. Penulis naskah Bene Dion Rajagukguk berhasil menciptakan komedi situasi yang paling ngocol yang sudah lama tidak saya temukan. Adegan ini menjadi favorit saya dan saya tertawa terbahak-bahak, bahkan saat adegannya sendiri sudah usai berganti adegan lain.
Menyaksikan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tak hanya membawa sentimen nostalgia, namun juga penghiburan yang amat sayang untuk dilewatkan. Film ini memiliki desain produksi di atas rata-rata, juga diarahkan dengan amat baik, penuh ketelitian dan penghormatan terhadap genre horor oleh Rocky Soraya dan Anggy Umbara yang berbagi kredit sutradara.
Naskah skenario, kecermatan dalam penyutradaraan, dan Luna Maya menjadi penentu film ini disukai tak hanya oleh kritikus/movie blogger, juga penonton pada umumnya. Film ini sangat istimewa, dan menjadi sejenis film yang akan selalu seru bila ditonton ulang di kemudian hari, apalagi rame-rame.
ADVERTISEMENT
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur membawa apa yang terbaik dari horor era 80-an, tak terlihat berusaha mati-matian tampil sok cerdas dan sok asyik, justru pada akhirnya menjadi tontonan yang memberikan pengalaman menonton, salah satu yang terbaik yang pernah saya alami sepanjang tahun ini!