news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

The Night Comes for Us: Action Maksimal, Cerita Minimal

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2018 12:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karakter pendukung di film The Night Comes for Us (Foto: Netflix/Screenplay)
zoom-in-whitePerbesar
Karakter pendukung di film The Night Comes for Us (Foto: Netflix/Screenplay)
ADVERTISEMENT
★★1/2☆☆☆ | Shandy Gasella
Untuk sekali ini barangkali istilah 'nonstop action' sungguh-sungguh memiliki makna dan dipergunakan sebagaimana mestinya sejak istilah tersebut ada dalam khasanah perfilman. Dulu saya mengira film The Raid Redemption arahan Gareth Evans merupakan suguhan action dengan plot dan cerita yang tipis, setipis kartu ATM.
ADVERTISEMENT
Ternyata, sekarang ada yang lebih tipis lagi. Film The Night Comes for Us ini.
Bagian action-nya benar-benar sadis. Saya ralat, seluruh bagian film ini mulai dari awal hingga akhir benar-benar sadis, inventif, kok-bisa-kepikiran-bikin-koreografi-action-segila-itu, visceral and ultra-violence — begitu kata orang-orang bule yang memuji berat karya terbaru Timo Tjahjanto (Sebelum Iblis Menjemput, Killers) ini.
Tak terhitung berapa tumpukan daging manusia bergelimangan, tulang retak, tangan, kaki, leher yang tersayat senjata tajam, sampai tengkorak kepala yang remuk kena shotgun hingga otaknya terburai di lantai.
Adegan berantemnya tidak kalah seru dengan adegan-adegan yang sempat memukau kita di dua film The Raid. Deadpool mah jelas bukan tandingannya, dalam hal kesadisan dan koreografi, dibandingkan film ini, Deadpool yang kesohor itu tampak tak ubahnya film Mr. Bean, hanya menyisakan lucunya saja, itu pun cuma lucu-lucu gemas.
ADVERTISEMENT
Ito (Joe Taslim, Fast & Furious 6, The Raid Redemption) adalah salah seorang anggota Six Seas, tim elite super jagoan yang bekerja untuk Triad yang menguasai peredaran narkoba, senjata, dan entah barang haram apa lagi yang mereka perjual-belikan di kawasan Asia.
Pada sebuah misi pembantaian warga sekampung di satu pesisir, Ito tiba-tiba tak mampu menghabisi satu nyawa dari seorang gadis kecil. Alih-alih membunuhnya, ia malah menyelamatkannya, dan lantas menghabisi semua kawannya sendiri yang ada di hari itu.
Adegan film "The Night Comes For Us" di Fantastic Festival 2018. (Foto: Dok. XYZ Films dan Screenplay Infinite Films)
zoom-in-whitePerbesar
Adegan film "The Night Comes For Us" di Fantastic Festival 2018. (Foto: Dok. XYZ Films dan Screenplay Infinite Films)
Imbasnya, ia mesti bersiap diri menghadapi Triad yang ia khianati, termasuk kawannya sendiri, Arian (Iko Uwais, The Raid, Mile 22), sesama anggota Six Seas, yang kehebatannya cuma bisa ditandingi oleh Ito.
ADVERTISEMENT
Cerita di atas terjadi tepat di awal film, beberapa menit saja, sisanya 'bak-bik-buk dar-der-dor' tiada henti sepanjang 2 jam!
Kita tak diberitahu latar belakang jagoan kita, siapa dia, jangan harap tahu zodiaknya apa, makanan kesukaannya apa, dibesarkan di Jakarta daerah mana, apa nilai-nilai yang ia anut dalam hidupnya, kenapa seorang pembunuh berdarah dingin pada akhirnya tak berdaya mencabut satu nyawa — sedangkan pada saat yang bersamaan ia baru saja menghabisi seisi kampung.
Nyawa adalah nyawa, tak peduli ia milik siapa. Seorang gadis cilik imut nan manis ia selamatkan, dan rekan-rekannya sendiri ia bunuh seketika, padahal mereka juga punya keluarga di rumah masing-masing.
Apa yang membuatnya berpikir bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang benar? Ah, serius kali kau! Pikir Anda barangkali. Ini kan cuma film.
ADVERTISEMENT
Adegan tersebut ada tentu untuk menjadi alasan agar sang jagoan dikejar-kejar musuh, agar kita menyaksikan bagaimana ia mampu bertahan hidup dari segala macam ancaman dan marabahaya yang mendatanginya. Meminjam sepenggal dialog yang diucapkan tokoh Arian di film ini, “I get that. But, why all these?
Terlalu berlebihan, dan bahkan sinting, bila bos Triad tempat di mana Ito mencari nafkah, mesti mengerahkan seluruh SDM yang mereka punya, beberapa bahkan mesti diterbangkan dengan jet, hanya untuk menghajar satu orang — demi apa?
Terlalu mahal biaya yang mesti organisasi keluarkan; senjata-senjata dan peluru itu tidak gratis, belum lagi biaya akomodasi mereka, uang rokok dan uang makannya. Demi apa? Alasan mereka sama sekali tak meyakinkan hingga saya mesti manut bahwa apa yang mereka lakukan terhadap Ito benar-benar sepadan.
ADVERTISEMENT
Saya yakin pembuat film ini pernah menyaksikan A Bittersweet Life (Kim Jee-woon, 2005), jagoan di film tersebut, Sun-woo, yang diperankan Lee Byung-hun, kira-kira senasib sepenanggungan dengan Ito. Ia anggota Triad yang ditugasi bosnya untuk mengawasi kekasih si bos yang dicurigai terlibat perselingkuhan.
Bila itu terbukti atau tak terbukti, ia diminta untuk melapor kepadanya. Tetapi, Sun-woo bertindak sendiri dan melecehkan bosnya, maka ia mesti menanggung akibatnya.
Poster The Night Comes for Us (Foto: XYZ Films)
zoom-in-whitePerbesar
Poster The Night Comes for Us (Foto: XYZ Films)
Si bos mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghabisinya. Alasannya personal, dan sangat masuk akal. Nah, konflik antara Ito dan bosnya di film ini, Chien Wu (diperankan Sunny Pang) apa? Sama sekali tak beralasan. Kalau boleh saya meminjam sepenggal lagi dialog yang sempat diucapkan Arian, "Omong kosong!"
ADVERTISEMENT
Di sinilah saya berharap bahwa Timo Tjahjanto mampu bercerita dengan baik, sebaik ia mengarahkan adegan-adegan action film ini.
Bila sang jagoan saja tak diperlakukan dengan baik, apalagi para karakter pendukung yang jumlahnya tak kalah banyak dengan anggota Avengers ini, ada Fatih (Abimana Aryasatya), Bobby Bule (Zack Lee), Wisnu (Dimas Anggara), Yohan (Revaldo), Shinta (Salvita Decorte), Alma (Dian Sastro), Elena (Hannah Al Rashid), The Operator (Julie Estelle), Aliong (Ronny P Tjandra), Morgan Oey dan masih banyak lagi.
Semua karakter yang saya sebutkan tak jelas juntrungannya. Pokoknya hajar bleh!
Melalui film ini Timo mengukuhkan dirinya bahwa ia merupakan seorang sutradara action terbaik yang kita punya saat ini. Setiap adegan pertarungan di film ini betul-betul tampil maksimal, beberapa bahkan melebihi imajinasi terliar saya akan bagaimana sebuah adegan pertarungan dapat terwujud dalam film. Untuk itu saya bersujud di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Tetapi, terlepas dari itu semua, saya menginginkan lebih banyak perhatian yang ia berikan terhadap karakter-karakter penting di film ini agar saya mampu terhubung dan peduli terhadap mereka — agar para karakter di film ini memiliki nyawa dan jiwa, tak cuma tampil keren-ganteng-kece-bad ass looking, dan seolah hanya mampu berpose dan mengumpat saja.
Coba perhatikan, misalnya, siapa karakter yang dimainkan Ronny P Tjandra di film ini? Ujug-ujug ada, misi dia apa, tahu-tahu mati konyol begitu saja.
Saya yakin, barangkali kecuali saya, penikmat film action di muka Bumi ini akan kegirangan dan tak henti-hentinya 'ejakulasi' menyaksikan film ini dengan suguhan ultra-violence-mayhem nonstop tak terkira. The Night Comes for Us adalah mimpi basah, dan semua hal yang diinginkan oleh para fans film action.
ADVERTISEMENT
Di tengah kekurangan supply film action yang penuh adrenalin ini (Jadwal tayang John Wick 2 masih lama), kehadiran The Night Comes for Us jelas sebuah demand yang ditunggu-tunggu semua orang.
Pertanyaan yang saya miliki adalah, apakah hukum supply dan demand merupakan alat yang cukup dan memadai untuk mengevaluasi nilai sebuah film?
The Night Comes for Us tayang di Netflix.
***
Untuk ulasan lainnya dari Shandy Gasella, klik di sini.