Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
The Science of Fictions: Kisah si Al-Kisah yang Asu
14 Desember 2020 20:11 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Alkisah pada tahun 1966 Siman (Gunawan Maryanto, 'Istirahatlah Kata-kata', 'Mencari Hilal'), seorang warga biasa, kedapatan mengintip proses syuting 'pendaratan astronot Amerika di Bulan' yang berlokasi di sebuah pantai di Jawa. Dalam semesta film garapan Yosep Anggi Noen ('Istirahatlah Kata-kata', 'Kisah Cinta yang Asu') ini 'pendaratan di Bulan' yang terjadi pada tahun 1969 yang kita ketahui kebenarannya tersebut dianggap sebagai hoaks alias bikin-bikinan saja. Atau bisa juga kita anggap bahwa Siman lah yang memandangnya sebagai hoaks jika ia berandai-andai demikian. Tetapi, apa alasan yang dimiliki seorang warga biasa di pedesaan dapat mengarang cerita soal itu, rasa-rasanya konsep astronot saja mungkin ia tak tahu.
Bila begitu, lantas saya meyakini bahwa apa yang disaksikan Siman memang terjadi sesuai sepenglihatannya, bahwa dalam semesta film ini dikisahkan memang ada kru film asing yang melakukan syuting 'pendaratan di Bulan', syuting tersebut disaksikan pula oleh Presiden Soekarno. Siman yang kedapatan mengintip peristiwa yang semestinya rahasia itu, menerima ganjaran dipotong lidahnya agar ia tak bicara. Ia dibungkam. Tapi, kenapa ia tak dibunuh saja?
ADVERTISEMENT
Memang apa relevansi dan konsekuensi seorang warga jelata yang saya duga buta hurup ini, bila ia mengetahui bahwa pendaratan di Bulan ternyata sebuah kebohongan? Apakah sejarah manusia bakal berubah? Kita ketahui bersama saat ini di seluruh pelosok dunia, ada yang namanya para penganut teori konspirasi, mengenai hal apa pun.
Pencetus teori konspirasi terkemuka yang menyatakan bahwa pendaratan di bulan adalah hoaks ialah Bill Kaysing. Ia seorang mantan insinyur di Rocketdyne, sebuah perusahaan yang mendesain mesin roket Saturn V yang digunakan NASA antara tahun 1967 hingga 1973. Di tahun 1976 dia menyebarkan pamflet yang berisi pesan "We never went to the Moon" ("Kita tak pernah pergi ke Bulan"). Lantas banyak orang mempercayainya hingga sekarang, seperti halnya banyak orang yang percaya atau meyakini bahwa Bumi itu datar. Namun, sejarah tak berubah. Bumi masih mengelilingi Matahari, dan Bulan masih mengelilingi Bumi. Terserah orang percaya Bumi itu datar. Dalam kasus Siman, saya tak menemukan alasan yang meyakinkan ihwal mengapa lidahnya dipotong.
Di tahun 1965-1966 kita tahu di Indonesia sedang terjadi peristiwa genosida oleh rezim penguasa saat itu, terhadap rakyatnya sendiri yang dicap anggota atau pedukung Partai Komunis Indonesia. Jutaan rakyat Indonesia dibunuh atas nama politik. Sebuah tindakan keji tak berperikemanusiaan yang hingga kini tak diakui oleh negara, kata maaf entah kapan bakal terucap, dan barangkali tak akan pernah kita dapatkan. Ada yang membaca teks pada konteks syuting 'pendaratan di Bulan' yang disaksikan Siman sebagai alegori bahwa ia sesungguhnya tengah menyaksikan peristiwa pembantaian terhadap para tertuduh PKI yang dilakukan aparat kala itu. Maka, ketika ia ketahuan telah menyaksikan peristiwa keji tersebut ia dibungkam dengan dipotong lidahnya. Tapi, lagi-lagi, kenapa tak dibunuh saja? Toh yang memotong lidahnya sudah barang tentu sering menghilangkan nyawa orang.
ADVERTISEMENT
Anda membaca tulisan ini mungkin sambil mengira bahwa saya sedang ketus mempermasalahkan hal-hal di atas tadi. Padahal tidak. Film ini memang bakal membuat kita bertanya-tanya tentang banyak hal, dan hampir segala hal yang tampil di film ini layak kita pertanyakan. Tetapi jujur saja, saya tak mau ambil pusing, dan lebih memilih menikmatinya sebagai film yang paling memberikan kesan sinematis di antara banyak film lain yang pernah saya tonton sepanjang tahun ini!
Adegan pembuka yang menampilkan Presiden Soekarno--atau siapa pun ia, pokoknya wajahnya dan lagaknya mirip Soekarno, tengah malam mendatangi pantai untuk menyaksikan proses syuting 'pendaratan ke Bulan', dibingkai dalam frame kotak dengan warna hitam-putih oleh sinematografer Teoh Gay Hian, yang sebelumnya sering menjadi partner langganan Garin Nugroho seperti untuk film 'Kucumbu Tubuh Indahku', 'Setan Jawa', 'Soegija', dan termasuk 'Opera Jawa', betul-betul memikat dan menghipnotis, dan saya percaya bahkan kata "memikat" atau "menghipnotis" saja tak cukup untuk menggambarkan betapa kuatnya visual film ini, dan juga original score garapan Yasuhiro Morinaga ('Sekala Niskala') yang sama-sama indah-aneh-bin-ajaib-namun-ritmik, mengalun seirama bersama gambar menghadirkan nuansa, rasa, yang entah mesti saya sebut apa selain kata 'sinematis'. Duh!
ADVERTISEMENT
Ini pencapaian tertinggi Yosep Anggi Noen sebagai sutradara film, dan saya telah menyaksikan karya-karyanya yang lain, termasuk film-film pendeknya. Di sini ia leluasa bermain-main, seenaknya alias sakarepe dewek, baik dalam hal naratif maupun audio-visual, membuat kita puyeng bertanya ini-itu, tapi kita tak jengkel. Kita tetap terpaku, terpukau, seolah kena gendam atau hipnotis, dan kita terus menonton walau cerita tak jelas juntrungannya, tanpa bikin kita ngantuk. Sialan! Saya sering menonton film arthouse di festival-festival film internasional, dan saya sering ketiduran! Cuma film-film bikinan Yosep Anggi Noen yang dapat membuat saya tetap terjaga, seabsurd apa pun cerita dan visualnya.
Ketika saya mengira setting waktu film ini di tahun 60-an, lantas tak berselang lama kita menyaksikan pula kendaraan-kendaraan modern berlalu lalang, keadaan pasar begitu kontemporer, hingga adanya ponsel! Ah, urusan cerita jadi sebodo amat. Apalagi kemudian kita ditunjukkan bahwa sosok yang mirip Soekarno itu ke mana-mana selalu diikuti kru kameramen, menyiratkan bahwa ia mungkin hanya seorang aktor (atau jangan-jangan Youtuber?) yang sedang terlibat sebuah produksi. Bila dikaitkan kepada adegan pembuka di mana ia menyaksikan proses syuting 'pendaratan ke Bulan' dan ia berlagak menjadi Presiden Soekarno--saya menjadi lebih sebodo amat lagi. Terserah Yosep Anggi Noen mau ngapain, seperti halnya Garin Nugroho yang juga saya idolakan, padahal film-filmnya sulit saya mengerti, tetapi gampang saya nikmati.
ADVERTISEMENT
Menonton 'The Science of Fictions' atau 'Hiruk Pikuk Si Al-Kisah' ini bagi saya ibarat sedang mengunjungi pameran lukisan seorang maestro. Segala interpretasi kita terhadap lukisan-lukisan yang kita pandangi sah. Berlagak mengerti padahal tidak pun sah-sah saja. Jika beneran mengerti sepenuhnya, ah, Anda pasti Yosep Anggi Noen sendiri.
Tentu ketika kita mendatangi galeri pameran lukisan seorang maestro, penilaian baik-buruk, bagus-jelek jadi tak relevan. Dungu sekali bila kita masih berkutat pada persoalan itu. Tetapi, soal rasa dan kesan dan keindahan tentu yang paling dicari seorang penikmat seni. Film ini bagi saya memberikan itu. Ini karya seni yang kuat yang ingin saya tonton berulang demi mengagumi segala aspek sinematisnya. Anggi telah melahirkan sebuah karya yang bakal tak habis-habisnya dibahas, apalagi oleh para penganut paham semiotika. Bisa kelojotan mereka, dan muncrat-muncrat.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa akting Gunawan Maryanto sebagai astronot di film ini jauh lebih meyakinkan dan berdimensi ketimbang Brad Pitt dalam film Ad Astra.