Garuda Indonesia vs Review Jujur Influencer

Shasya Pashatama
Food and travel enthusiast.
Konten dari Pengguna
18 Juli 2019 8:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shasya Pashatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ambil foto dalam pesawat Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ambil foto dalam pesawat Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ranah media sosial beberapa hari ini diramaikan dengan berita bahwa maskapai pelat merah Indonesia, Garuda Indonesia, dikabarkan memberikan menu pada penumpang business class-nya dalam bentuk kertas dengan tulisan tangan. Kamu tentu belum lupa kalau beberapa hari sebelumnya, maskapai ini juga jadi perbincangan netizen karena menyajikan makanan cepat saji dari sebuah gerai makanan Jepang terkemuka yang bisa kita temui hampir di semua bandara, Hokben.
ADVERTISEMENT
Kemudian seorang teman berkomentar "Aku sih kalau dikasi Hokben malah senang. Jelas lebih enak daripada makanan di pesawat". Di pesawat ini, konteksnya bukan makanan di business class Garuda Indonesia ya, tapi pesawat pada umumnya. Kemudian ada juga beberapa postingan teman-teman netizen mengenai snack yang dibagikan untuk penerbangan-penerbangan pendek. Katanya terlalu biasa, terlalu standar, tidak setara dengan harga tiket yang dijual.
Kisah berlanjut dengan kabar bahwa menu yang ditulis tangan itu adalah catatan flight attendant dan tidak untuk disebarkan kepada penumpang. Setidaknya, demikian jawaban Garuda Indonesia di akun Twitter-nya.
Namun, video dari influencer yang pertama kali mengunggah menu tulisan tangan itu berkata sebaliknya. Terlihat menu tersebut memang dibagikan dengan permohonan maaf dari pramugari "Maaf, menunya masih dicetak, Pak", lalu ditambah "Maaf, tulisan tangannya jelek".
ADVERTISEMENT
Saya sepakat dengan yang dibilang di video itu, human touch seperti ini yang mungkin tidak kita dapatkan di tempat lain. Seorang crew menyadari kekurangan perusahaannya dan minta maaf secara pribadi dengan cara yang sangat manis. Kalau kamu belum nonton videonya, nonton deh.
Berita ini memang menjadi trigger dari berita-berita miring yang sudah menerpa Garuda Indonesia sebelumnya. Dimulai dari kabar pemalsuan laporan keuangan. Kalau soal delay, rasanya maskapai lain juga sama. Terlebih, delay itu kan enggak selalu salah maskapai, terkadang ada alasan operasional di bandara yang mungkin tidak tersampaikan pada kita, sehingga kita tahunya kalau delay itu, ya, salah maskapai saja.
Yang menarik, ada juga opini kalau Garuda Indonesia ini kan maskapai pelat merah, jadi selayaknya kita dukung. Tapi maaf, Pak, tiket pesawat enggak bisa dibeli pakai nasionalisme. Pada akhirnya, konsumen akan memilih maskapai dengan harga yang bisa dia bayar. Atau kalau yang budget-nya agak longgar, konsumen akan memilih yang paling nyaman dan sebanding dengan harganya.
ADVERTISEMENT
Sampai bulan-bulan kemarin, masih kok terdengar "Ciyeee, terbangnya pakai Garuda". Artinya, maskapai ini masih dipandang sebagai the best-nya maskapai di Indonesia.
Kisah berlanjut lagi dengan pemanggilan influencer tersebut ke kepolisian, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jadi semacam warning bagi influencer, hati-hati jika memberi review jelek. Bisa-bisa dipanggil polisi dan jadi urusan panjang.
Padahal, namanya review kan mesti jujur ya, jelek dibilang jelek, bagus dibilang bagus. Asal enggak menjelek-jelekan karena bilang jelek. Menjelek-jelekan itu bedanya (lumayan) jauh lho ya. Padahal review jujur itu bisa dijadikan warning awal bagi perusahaan (tidak hanya maskapai) untuk jadi cerminan bagaimana konsumen menilai jasa atau barang mereka.
Begitu ada review jelek (saya yakin perusahaan dapat menilai mana yang beneran review jelek mana yang memang menjelek-jelekkan), bisa jadi bahan evaluasi bagi tim operasional. Kalau bisa, masalah langsung diatasi sebelum sampai ke tingkat yang lebih tinggi, ke rapat-rapat direksi misalnya. Sebagai contoh, saya menerima beberapa review kurang baik mengenai makanan yang saya jual.
ADVERTISEMENT
Satu reviewer mengatakan 'kemanisan'. Reviewer lain bilang “Jenis makanan kurang banyak”. Mana yang kemudian jadi bahan evaluasi saya? Tentu saja yang perihal jenis makanan. Karena 'kemanisan' itu ujung-ujungnya selera pribadi. Review jujur mestinya bisa jadi lampu kuning (sebelum sampai ke lampu merah) bagi perusahaan, untuk dapat selalu meningkatkan pelayanannya. Sebuah kesempatan memperbaiki pelayanan sebelum konsumen pindah ke brand lain.
Kalau lagi iseng memantau timeline Twitter, coba hitung ada berapa banyak orang yang komplain mengenai service yang sudah dibayarnya. Bukan cuma soal maskapai, tapi soal provider misalnya, atau soal restoran, atau soal apa saja. Kalau semua review jelek diadukan ke polisi, duh terbayang betapa repotnya polisi kita mengurus beginian. Satu hal yang saya selalu ingat, netizen itu pemaaf (kalau enggak mau dibilang pelupa).
ADVERTISEMENT
Kalau saja masalah ini diatasi sedari dini dengan sifat kekeluargaan, masalahnya tentu tidak sebesar ini, tidak jadi bulan-bulanan netizen berlarut-larut. Begitu ada permintaan maaf, rasanya masalah bisa langsung selesai dan semua pihak bisa melanjutkan kegiatannya masing-masing. Influencer bisa me-review kembali dan Garuda bisa mencetak menu. Eh, maksudnya kembali memperbaiki apa yang perlu diperbaiki.
Namun, kisah belum berhenti sampai di sini. Garuda Indonesia (diikuti satu maskapai lain) mengeluarkan larangan untuk mengambil foto dan video selama ada di penerbangan mereka. Yang suka foto-foto sayap pesawat dan awan kemudian di-post di Instagram dengan kata-kata puitis, bakal kehilangan konten dong ya. Belum lagi youtuber, blogger, dan vlogger yang memang suka me-review perjalanan mereka selama di pesawat.
ADVERTISEMENT
Untuk saya pribadi, me-review perjalanan di pesawat adalah hal yang cukup menarik. Selain untuk memberikan bahan bagi netizen lain yang lagi bingung mau terbang pakai maskapai yang mana, juga memberikan semacam pengetahuan bagi mereka yang belum pernah naik pesawat.
Buat kamu yang sudah sering bolak-balik naik pesawat mungkin enggak istimewa lagi, tapi masih banyak kok orang yang belum pernah naik pesawat, demikian mengambil video atau foto di dalam pesawat jadi barang baru buat mereka.
Tapi tenang, larangan tersebut kemudian dicabut di hari yang sama dan diganti dengan imbauan untuk tidak mengambil foto dan video selama di dalam pesawat. Lalu apakah larangan-eh-imbauan tersebut juga berlaku sama buat para flight attendant yang suka selfie-selfie di pesawat?
ADVERTISEMENT
By the way, maskapai sebelah malah lagi bikin kuis tentang momen terbang bersama mereka, kamu enggak ikutan?