Konten dari Pengguna

Toxic Positivity, Bukan Menyemangati Tapi Malah Membebani

Shela Delfia
Mahasiswa Pendidikan Biologi di Universitas Islam Negeri Walisongo
8 November 2020 5:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shela Delfia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Toxic Positivity (Dok: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Toxic Positivity (Dok: Pribadi)
Curhat menjadi hal yang sering dilakukan ketika sudah berkumpul dengan teman. Mulai dari menceritakan sebuah masalah yang sedang dihadapi maupun mendengarkan masalah yang diceritakan orang lain, yang kemudian berlanjut dengan saling menyemangati dengan memberikan kalimat positif. Namun ternyata ada beberapa ungkapan penyemangat yang dapat membebani mental.
ADVERTISEMENT
Toxic positivity sebutan bagi sikap seseorang yang selalu berusaha mendorong orang lain untuk berpikiran positif secara berlebihan. Tidak ada masalah ketika kita ingin memberikan kalimat postif dan semangat untuk diri sendiri maupun orang lain, yang menjadi masalah ketika kalimat tersebut diucapkan terlalu sering dan dalam situasi yang tidak tepat.
Pemberian kalimat postif sebagai bentuk semangat kepada seseorang yang mengalami masalah tanpa jalan keluar akan terdengar seperti racun, karena didalamnya tersirat beban serta tekanan yang dapat mengganggu kesehatan mental orang yang dituju.
Toxic positivity juga akan menimbulkan penolakan terhadap munculnya perasaan sedih dan kecewa. Padahal sudah sewajarnya bagi setiap orang untuk merasakan perasaan tersebut. Adapun seharusnya baik perasaan positif maupun negatif yang muncul dari dalam diri perlu diterima dengan baik tanpa adanya penyangkalan.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari The Minds Journal terdapat beberapa kalimat yang termasuk kedalam toxic positivity. Kalimat “Kamu pasti bisa segera mengatasinya”, sekilas tidak ada yang salah namun bila ditelaah kalimat tersebut dapat mengandung makna ekspektasi bagi seseorang untuk segera menghadapi dan menyelesaikan masalahnya. Sehingga menimbulkan perasaan terbebani dalam diri orang tersebut. Jika kamu benar ingin memberikan support, cobalah ganti dengan ungkapan “Kamu sudah berhasil melewati masalah sebelumnya, dan aku percaya padamu”.
Seringkali ketika seseorang sedang dihadapkan dalam masalah kita mengatakan “Jangan berhenti dan menyerah”, ternyata kalimat ini juga termasuk kedalam toxic positivity. Padahal sah-sah saja jika sesekali seseorang ingin sejenak berhenti dan menyerah dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan harapan orang tersebut bisa fokus untuk mencari solusi dari masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Jangan bersedih”, “tetap berpikiran positif”, serta “lihatlah sisi positif dalam situasi buruk sekalipun” menjadi kalimat toxic positivity selanjutnya. Kalimat-kalimat tersebut dapat menyebababkan denial dalam diri seseorang terhadap perasaan negatif yang sedang dialaminya.
Izinkan diri merasakan setiap perasaan negatif seperti sedih, marah, dan kecewa, agar keadaan mental dapat kembali pulih. Bahkan jika perlu biarkan diri melepaskan setiap emosi yang dirasakan dengan menangis, karena menangis baik sendiri maupun bersama orang lain dapat memberikan kelegaan pada hati dan jiwa setiap orang.
Kalimat “Aku bisa, kamu pasti juga bisa” seringkali diucapkan kepada seseorang ingin berhenti atau berlari dari masalah yang dihadapinya. Ungkapan tersebut termasuk dalam kalimat toxic positivity pula, barangkali ungkapan tersebut digunakan untuk memberikan semangat.
ADVERTISEMENT
Dilain sisi, kalimat “Aku bisa, kamu pasti juga bisa” dapat menjadikan seseorang tidak percaya dengan dirinya untuk menyelesaikan suatu masalah, bahkan mulai membandingkan cara dirinya dalam menyelesaikan masalah dengan orang lain. Jadi mulailah menggunakan kalimat “Tak apa-apa jika kamu merasa kesulitan, karena setiap orang pasti punya caranya sendiri untuk menghadapi setiap masalah”
Perlu diingat kembali bahwa tidak semua orang yang menceritakan masalahnya kepada kita memerlukan solusi. Seringkali seseorang yang bercerita tentang masalahnya hanya perlu didengarkan oleh kita tanpa adanya toxic positivity serta judgemantal.
Tak masalah jika kita hanya diam mendengarkan. Kita juga bisa memberika rangkulan dan pelukan sebagai sebuah semangat agar mereka bisa tetap struggling dalam menghadapi masalah apapun. Sebuah tindakan lebih berharga daripada ungkapan penyemangat yang beracun (toxic positivity).
ADVERTISEMENT
Penulis: Shela delfia Ramadhana