Konten dari Pengguna

Geliat Revolusi Industri di Tanah Air: Ketika Pabrik Mulai 'Ngobrol' Lewat Data

Shidqy Baihaqy El Muhammady
Mahasiswa Teknologi Sains Data Universitas Airlangga
15 Desember 2024 16:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shidqy Baihaqy El Muhammady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita membayangkan sebuah pabrik yang bisa "berbicara"? Di tengah deru mesin dan hiruk pikuk aktivitas produksi, ribuan sensor tersebar di berbagai sudut pabrik, tak henti mengumpulkan data - layaknya saraf dalam tubuh manusia. Inilah yang kini terjadi di kawasan industri Jababeka, Cikarang, salah satu kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Industrial Internet of Things (IIoT) telah mengubah cara pabrik-pabrik modern beroperasi. Setiap detik, sensor-sensor pintar ini mencatat segala hal: dari nafas mesin yang terlihat dari suhu operasionalnya, detak jantung produksi yang tercermin dari konsumsi energi, hingga jejak karbon yang ditinggalkan di setiap tahap proses. Data yang terkumpul ini kemudian diolah melalui sistem analitik canggih, memberikan "kesadaran" baru bagi sebuah pabrik tentang kondisi kesehatannya sendiri. Bukan sekadar isapan jempol, implementasi IIoT di kawasan Jababeka telah membuktikan dampaknya: 50 pabrik yang telah sepenuhnya mengadopsi teknologi ini berhasil memangkas konsumsi energi hingga 23% sepanjang tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat lebih dekat apa yang terjadi di pabrik PT Schneider Electric Indonesia di Cikarang. Sejak 2019, pabrik ini telah bertransformasi menjadi organisme hidup yang terhubung melalui ribuan sensor nirkabel, tergabung dalam platform EcoStruxure. Setiap hari, lebih dari 100.000 titik data dikumpulkan, menciptakan potret utuh tentang "kesehatan" pabrik - dari detak listrik yang mengalir di setiap sudut, suhu ideal yang menjaga mesin tetap prima, hingga ritme kerja peralatan yang tak pernah lelah. Sistem ini bahkan mampu memprediksi kapan sebuah mesin akan "sakit" sebelum benar-benar tumbang, seperti dokter yang mendiagnosis pasien sebelum penyakitnya berkembang. Hasilnya? Waktu henti produksi berkurang 35%, biaya operasional tersangga hingga Rp 12 milyar per tahun, dan yang terpenting: pengurangan emisi karbon sebesar 1.200 ton CO2 pada tahun 2023 - setara dengan menanam 60.000 pohon dewasa.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, perjalanan transformasi digital ini tidak selalu mulus. Dari 23.000 industri manufaktur skala menengah dan besar di Indonesia, baru 15% yang telah mengadopsi IIoT secara menyeluruh. Angka ini memang meningkat tajam dari 5% pada 2020, namun masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Ibarat membangun sebuah kota pintar, diperlukan tidak hanya infrastruktur canggih, tetapi juga warga yang melek teknologi. Menyadari tantangan ini, pemerintah melalui program Making Indonesia 4.0 mengucurkan dana segar Rp 3,2 triliun untuk periode 2023-2025, fokus pada pembangunan infrastruktur IIoT dan pelatihan SDM. Program ini seperti membuat jembatan: menghubungkan potensi teknologi dengan kesiapan industri untuk melompat ke era digital.
Angin segar berhembus lebih kencang dengan hadirnya kolaborasi internasional. Siemens, raksasa teknologi Jerman, menggandeng Institut Teknologi Bandung mengembangkan solusi IIoT yang "berbahasa Indonesia" - disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan industri lokal. Program yang dimulai awal 2023 ini telah melahirkan platform analisis data yang menjembatani berbagai "bahasa" mesin di pabrik-pabrik Indonesia. Uji coba di tiga pabrik tekstil Bandung membuka mata banyak pihak: penghematan energi mencapai 28% dan pengurangan limbah produksi 15%. Angka-angka ini bukan sekadar statistik - ini adalah bukti nyata bahwa teknologi tepat guna dapat membawa perubahan signifikan bagi industri nasional.
ADVERTISEMENT
Menatap ke depan, transformasi digital melalui IIoT bukan lagi tentang pilihan, melainkan keharusan bagi industri Indonesia untuk tetap relevan dalam peta persaingan global. Teknologi ini seperti cahaya di ujung terowongan menuju Indonesia yang lebih hijau: dengan potensi pengurangan emisi karbon hingga 8,9 juta ton CO2 per tahun pada 2030, sekaligus mendongkrak produktivitas industri sebesar 35%. Namun di balik semua angka dan statistik ini, ada cerita tentang harapan dan tekad: harapan akan masa depan industri yang lebih cerdas dan berkelanjutan, serta tekad untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam revolusi industri global. Karena pada akhirnya, perjalanan transformasi digital ini bukan sekadar tentang mengadopsi teknologi - ini adalah perjalanan evolusi industri nasional menuju masa depan yang lebih cerah, di mana kemajuan ekonomi berjalan selaras dengan kelestarian lingkungan. Inilah warisan yang pantas kita tinggalkan untuk generasi mendatang: sebuah Indonesia yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga bijak dalam menjaga keseimbangan alam.
ADVERTISEMENT
Shidqy Baihaqy El Muhammady, Teknologi Sains Data, Universitas Airlangga.