news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mendampingi Istri Melahirkan di Austria (Bagian 1)

Shohib Masykur
Sebelum semesta ada kata.
Konten dari Pengguna
27 November 2020 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shohib Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi melahirkan normal.
 Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melahirkan normal. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Menghadapi kelahiran adalah saat-saat yang mendebarkan. Terlebih kelahiran anak pertama. Berbagai macam perasaan campur aduk jadi satu: senang, antusias, khawatir, bingung, dan sebagainya. Saya kira pengalaman itu lumrah dialami setiap orang.
ADVERTISEMENT
Intensitas perasaan itu akan semakin menjadi-jadi ketika proses melahirkan terjadi di negeri orang, jauh dari keluarga dan handai tolan. Itulah yang saya rasakan ketika sepuluh bulan lalu istri saya melahirkan anak pertama kami.
Saya sedang terlelap ketika Vina membangunkan saya sambil merintih kesakitan. Sebagai suami yang sudah berhari-hari dalam mode siaga (siap, antra, jaga kata iklan 90-an), saya langsung terjaga. Mak jenggirat kata orang Jawa.
Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Saya jumpai Vina sedang merintih sambil memegangi perut. Mukanya menyiratkan kesakitan yang cukup hebat.
Meski kaget, reaksi saya masih tenang. Peristiwa serupa pernah terjadi malam sebelumnya, dan sakit itu kemudian berkurang lalu hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu. Lagi pula hari perkiraan lahir (HPL) masih seminggu lagi. Jadi saya pikir itu hanyalah gejala awal kontraksi yang wajar dialami menjelang kelahiran.
ADVERTISEMENT
Untunglah sebelumnya kami telah ditatar oleh bidan yang mendampingi kami sejak sebulan sebelum HPL. Kami tahu apa yang harus dilakukan. Saya bantu Vina mengubah posisi sesuai saran bidan. Bertumpu pada lutut sambil merebahkan badan ke depan pada sandaran. Beberapa saat berlalu, namun rasa sakit itu tak kunjung berkurang. Vina masih merintih.
Saya papah dia ke kamar mandi. Saya pikir barangkali dia hanya ingin menunaikan hajat. Pengalaman hari sebelumnya juga mengajarkan bahwa rasa sakit segera berkurang setelah hajat tertunaikan. Tapi lagi-lagi tak manjur. Rasa sakit justru makin menjadi-jadi. Suara rintihannya makin kencang, kali ini disertai tangis.
Panik mulai menghampiri saya. Saya tahu betul Vina termasuk orang yang cukup tahan sakit—lebih tahan dari saya sendiri. Dia tidak akan merintih kecuali jika benar-benar kesakitan. Sepertinya ini tidak seperti hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Bergegas saya hubungi bidan, seorang wanita paruh baya berkebangsaan Prancis dengan rambut pirang bernama Magalie. Dia adalah bidan yang kami sewa untuk mendampingi dan mempersiapkan proses persalinan.
Tarifnya terbilang cukup mahal. Kami memutuskan untuk menggunakan jasanya karena dua pertimbangan. Pertama, kami belum berpengalaman dan jauh dari keluarga. Kedua, ini yang lebih penting, asuransi bersedia menanggung semua biayanya.
Jauh-jauh hari Magalie telah wanti-wanti agar kami segera menghubunginya jika Vina mengalami rasa sakit yang tidak dapat lagi dia tahan.
“Tak peduli jam berapa pun, hubungi saya. Saya akan mengangkatnya sekalipun saya sedang tidur. Saya ada untuk kalian dua puluh empat jam,” pesannya.
Benar saja, tak perlu waktu lama baginya untuk mengangkat telepon. Dari suaranya jelas dia baru saja bangun. Dia langsung dapat menebak apa yang terjadi. Dengan tenang dia sarankan agar kami menunggu pagi untuk pergi ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Pengalaman telah mengajarkan dia bahwa butuh waktu beberapa jam dari kontraksi menuju persalinan. Bahkan terkadang sampai hitungan hari. Selagi sakit masih bisa ditahan, berarti kontraksi masih di tahap awal dan proses persalinan masih agak lama. Terlalu dini pergi ke rumah sakit tidak dianjurkan karena akan mengambil jatah kamar orang lain yang lebih membutuhkan.
Berpedoman pada petunjuk Magalie, saya mencoba tenang, meski saya akui tidak sepenuhnya berhasil. Saya bantu Vina mempraktikkan teknik-teknik yang telah Magalie ajarkan. Mengubah posisi, mengatur napas. Rasa sakit itu hilang dan timbul.
Saat hilang, Vina tampak seperti biasa. Dia bahkan masih sempat membersihkan kutek di jari-jari tangannya sambil berbincang dengan saya. Namun saat timbul, rintihannya sungguh menyayat hati. Belum pernah saya melihatnya semenderita itu. Saya tidak dapat membayangkan rasa sakitnya.
ADVERTISEMENT