Dari Tanah Lapang ke Tanah Suci, Mengulas Desa Temboro sebagai Kampung Madinah

Shubuha Pilar Naredia
Sosiologi FISIP UNS Praktisi Mentari Sehat Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Januari 2024 8:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi desa di Indonesia. Foto: f1rman/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi desa di Indonesia. Foto: f1rman/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Desa Temboro merupakan salah satu desa di kawasan Magetan tepatnya di Kecamatan Karas. Sebagai desa dengan dominasi pertanian pangan yaitu palawija dan tebu, Desa Temboro tumbuh dan berkembang menjadi desa unik dengan segala kearifan potensinya.
ADVERTISEMENT
Kearifan lokal masyarakat setempat nampaknya terjaga baik di kawasan ini sebagai dinding penyangga atas terpaan aras modernisasi yang menerpa kawasan pedesaan.

Toponim Desa Temboro Magetan

Ilustrasi Kepadatan Penduduk, Foto: shutterstock
Asal muasal kemunculan Temboro tidak lepas dari sejarah awal berdirinya desa tersebut. Dilansir dari temboro.magetan.go.id, Temboro menurut memori kolektif warga sesepuh lokal diartikan sebagai Kawasan Tanah Lapang (dalam Bahasa Jawa Ombo Oro-Orone), sehingga pada awalnya kawasan ini disebut sebagai Desa Boro atau Temboro. Penyebutan Boro tidak lepas dari singkatan kata Ombo Oro-Orone atau kemudian dipahami masyarakat sebagai wilayah dengan tanah lapang yang luas.
Sampai saat ini Desa Temboro terbagi menjadi 4 dusun/dukuh yaitu Dusun Pule atau RW I, Dusun Temboro atau RW II, Dusun Balibatur atau RW III, dan Dusun Puhtelu atau RW IV. Desa Temboro merupakan salah satu desa yang berada di pinggiran perkotaan, menjadikan kawasannya kini mulai dipadati oleh penduduk dengan kemajemukan yang beragam.
ADVERTISEMENT

Hadirnya Ponpes sebagai Warna Harmoni Kemajemukan

Ilustrasi Pemukiman, Foto: shutterstock
Desa Temboro merupakan salah satu desa yang memiliki letak cukup strategis hal ini didukung dengan kondisi geografis Desa Temboro dimana di wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Jungke dan Karas yang mana di kawasan ini terdapat area Pertanian, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kembangan dan Kedungguwo di kawasan ini juga terdapat area pertanian luas, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Desa Taji dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Temenggungan, Tanjung Sepreh, dan Kembangan yang mana memiliki kondisi lahan yang relatif datar dan subur serta sangat mendukung produktivitas hasil pertanian.
Melihat letaknya yang sangat strategis untuk pertanian dan bercocok tanam, nampaknya hal ini yang menjadikan banyak warga maupun masyarakat sekitar kemudian hidup tinggal di Temboro. Seiring kebergerakan kota, desa mulai bergerak tumbuh menjadi pemukiman yang didiami oleh beragam karakteristik penduduknya.
ADVERTISEMENT
Berbagai keragaman tersebut kemudian berdampak pada hadirnya 4 Pondok Pesantren (Ponpes) Besar yang ada di Temboro, sebut saja misalnya Ponpes Al Fatah, Ponpes Al Qodir, Ponpes Roudhotut Tholibin, dan Ponpes Darul Muttaqin. Dikutip dari detik.com, keempat Ponpes itu memiliki jumlah santri yang luar biasa, bahkan lebih besar dari penduduk Desa Temboro sendiri.
Keberadaan Ponpes disertai para santri dari berbagai daerah tersebut yang kemudian dipandang sebagai warna baru pada harmoni sosial berbasis kemajemukan di Temboro. Bagaimana tidak, Temboro yang pada mulanya mayoritas adalah petani kini mulai bersentuhan dengan aktivitas-aktivitas perkotaan di wilayahnya. Hal ini disebabkan oleh halu-lalangnya silih berganti para keluarga santri yang datang untuk berkunjung menjenguk keluarganya di ponpes-ponpes yang ada di Temboro.
ADVERTISEMENT

Dari Tanah Lapang Hingga Tanah Suci, Temboro merupa Al-Madina

Berdasar ulasan di atas, Desa Temboro yang dulunya didominasi masyarakat petani dengan beragam tradisinya yang khas kini mulai kompleks dengan tradisi-tradisi baru yang ada di wilayahnya. Tradisi menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas suatu kawasan.
Mengutip dari kompas.com, Identitas diperlukan karena merupakan atribut yang dimiliki seseorang ataupun kelompok masyarakat yang digunakan untuk memperkenalkan adanya kelompok sosial dan membedakan kelompok sosial satu dengan yang lain.
Pada konteks ini maka Desa Temboro sebagai kelompok sosial atau kawasan huni juga nampaknya memiliki identitas yang melekat padanya sebagai fungsi komunikasi maupun refleksi diri dalam tumbuh kembangnya sebagai kawasan huni.
Ilustrasi Identitas Sosial, Foto: iStock
Desa Temboro lambat laun beradaptasi dengan adanya aktivitas-aktivitas keagamaan di lingkungan masyarakatnya akibat akulturasi dan integrasi antara Ponpes dan Masyarakat mulai dari busana, tradisi, hingga kearifan orientasi memaknai harmoni. Lebih lanjut, hal tersebut yang kemudian menjadikan Temboro hari ini dikenal dengan identitas sebagai Kampung Madinah.
ADVERTISEMENT
Dilansir liputan6, sebutan sebagai Kampung Madinah tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya masyarakat di Temboro dapat ditemukenali dalam kesehariannya menggunakan busana layaknya masyarakat di Jazirah Arab khususnya kawasan Madinah. Kaum pria menggunakan busana jubah serta penutup kepala, sedangkan kaum perempuan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian berwarna gelap dan mayoritas menggunakan burka.
Gaya busana tersebut telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari warga Desa Temboro. Dalam praktik lain juga nampak pada suasana kampung yang akan selalu sepi ketika azan berkumandang. Aktivitas sejenak nampak terhenti. Masyarakat berbondong-bondok memenuhi ruangan Masjid atau Mushola untuk segera menunaikan Salat.
Keberadaan ponpes-ponpes seperti yang sudah disebutkan di atas dengan jumlah santriwan dan santriwatinya menjadikan ponpes-ponpes tersebut dalam setiap tahun menyelenggarakan lebih dari 5 event, hal ini tentu berpengaruh terhadap pergerakan perekonomian masyarakat sekitar pondok pesantren ini.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja para kaum Ibu-Ibu banyak yang menjual makanan olahan rumahan untuk disetorkan ke Koperasi Pondok Pesantren, mulai dari nasi bungkus hingga jajanan untuk para santri. Baju-baju muslim perempuan yang dijual di toko-toko masyarakat setempat juga mayoritas dibuat sendiri oleh para warga. Sedangkan kaum Pria di Temboro juga tidak kalah menariknya dengan mencari peluang usaha menyediakan jasa transportasi seperti becak motor sebagai akses mobilitas keluarga pengunjung santi di Temboro.
Demi penegasan identitas inilah maka Temboro mulai bersolek / merupa wajah desanya dengan berbagai cara dukungan dari Pemerintah Desa yang kian memperhatikan serta menyempurnakan segala sarana dan prasarana sosial seperti halnya sarana jalan yang baik, sarana pendidikan yang memadai, sarana ibadah yang cukup, dan bahkan tidak ketinggalan sarana Kesehatan yang memadai. Inilah potret sederhana sebuah desa dengan keunikan yang dijaga oleh masyarakat menggunakan spirit Al-Madina dalam merupa wajah desanya.
ADVERTISEMENT