Cancel Culture: Sebuah Kekacauan di Masa Kini

Fishya Elvin
Mahasiswa Aktif Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
31 Mei 2021 14:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fishya Elvin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cancel culture yang terjadi di jagat Twitter (Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Cancel culture yang terjadi di jagat Twitter (Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Kejadian lima tahun lalu yang mungkin sudah tidak terlintas lagi di benak orang lain akan lenyap ditelan waktu tanpa ada pihak baru yang tahu. Kejadian itu dirasa juga sudah tidak lagi relevan untuk dibahas dimanapun, karena waktu kejadian yang sudah terhitung lama sehingga membuat kita berpikir bahwa, “Yup, case closed.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ketika seseorang tengah menjalani hari yang cerah, tetapi tiba-tiba harus mendapatkan notifikasi dari media sosialnya berisikan kalimat-kalimat penuh tuduhan dan ujaran penuh kebencian. Kejadian yang telah berlalu itu diungkit kembali karena korban yang baru angkat bicara untuk memperoleh keadilan.
Sebelumnya ia yakin bahwa dunia tidak mengetahui kejadian itu, karena percayalah bahwa dirinya sendiri lupa akan apa yang sudah menimpanya. Perkembangan teknologi membuat apapun yang tidak mungkin menjadi mungkin, termasuk bagaimana sebuah tindakan bullying di masa SMA terhitung lima tahun lalu mampu mengoyak masa depanmu dan pekerjaan yang tengah kamu lakukan saat ini.
Bukan perkara apakah benar memang ia pelaku dari kejadian tersebut, tetapi spektator dalam arena pengungkapan aib masa lalu tidak ingin tahu. Sekali perbuatan tercela, maka orang itu harus dicela. Meski tidak ada saksi, cukup korban yang memberikan bukti, seseorang dapat dikenakan sanksi. Kesalahpahaman pun tidak dapat dihindari. Ramai-ramai, spektator tersebut menyerukan kalimat yang sama, “You are cancelled!
ADVERTISEMENT
Banyaknya orang yang tidak setuju dengan apa yang ia lakukan di masa lalu membuat orang-orang lain terus berdatangan dan bersama-sama ‘memboikot’ dirinya. Bermula dari sebuah utas di media sosial yang mencantumkan inisial namanya, sampai akhirnya nama lengkap, foto diri, serta identitas lain yang terhambur ke jagat maya.
Ia tahu apa yang ia lakukan adalah suatu kesalahan, dan ia juga tahu bahwa apapun yang ia harus lakukan sudah terlambat. Semua orang begitu sibuk membagikan utas tersebut dari satu akun ke akun lainnya, sampai-sampai tidak memberikan waktu lagi baginya untuk klarifikasi dan mengucapkan maaf.
Kini manusia hidup di masa kata “cancelled” yang disebarkan di media sosial dapat ‘mematikan’ kehidupan orang lainnya. Dari tindakan bullying, hate speech, sexual assault, sampai hanya perbedaan pendapat atau keyakinan, orang-orang dapat menyatakan ketidaksetujuannya dan mengajak orang lain untuk sama-sama memboikot orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Selamat datang di era budaya pembatalan, atau yang lebih sering kita dengar sebagai cancel culture.

#MeToo Movement, Era Lama dari Cancel Culture yang Lumrah Saat Ini

Diberitakan pada tahun 2017, terungkap sebuah kabar yang berasal dari seorang produser film asal Amerika Serikat terkenal bernama Harvey Weinstein yang ternyata telah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap rekan kerja perempuannya. Mulai dari asisten, sampai aktris yang akan membintangi filmnya.
Kejadian berulang selama bertahun-tahun itu akhirnya terungkap dengan tagar #MeToo, yang dikenal sebagai Me Too Movement. Me Too Movement merupakan gerakan yang sudah diperkenalkan dari tahun 2006 oleh Tarana Burke dalam usaha meningkatkan kesadaran di antara perempuan penyintas kekerasan seksual. Gerakan ini berbentuk publikasi tuduhan oleh korban terhadap pelaku dengan menggunakan tagar tersebut.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari kasus Weinstein, terhitung 80 perempuan akhirnya bersuara terhadap tindak pelecehan yang dilakukan Weinstein pada mereka dengan mempublikasikan ceritanya disertai tagar #MeToo. Hasil akhir gerakan ini dalam kasus Harvey Weinstein adalah hukuman penjara bagi Weinstein selama 23 tahun.
Gerakan ini mungkin dilihat sebagai gerakan yang menyebabkan jatuhnya karier produser film Hollywood yang megah. Akan tetapi, kali ini budaya yang muncul bukan hanya menyeret para pelaku pelecehan seksual, tetapi juga orang-orang yang dianggap rasis atau seksis agar mereka tersadar dari tindakan yang telah mereka perbuat.
Cancel Culture hadir sebagai bagian dari Me Too Movement, salah satu bentuk dari pemboikotan seseorang melalui media sosial yang lebih universal. Berdasarkan pernyataan dari Richard Ford, seorang Profesor Hukum di California’s Stanford University, salah satu kasus yang membuat budaya ini pertama kali merebak di Amerika Serikat adalah bagaimana Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memancing demonstrasi karena menyerang kelompok yang mendukung Black Lives Matter.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Meredith D. Clark dari University of Virginia pernah menjelaskan dalam jurnalnya yang berjudul ‘DRAG THEM: A Brief Etymology of So-Called “Cancel Culture”’ bahwa ‘canceling’ adalah sebuah ekspresi untuk menarik perhatian seseorang dari seseorang atau sesuatu yang dinilai, dalam tindakan atau ucapannya yang begitu menyinggung, sehingga orang-orang tidak lagi ingin memberikan kehadiran, waktu, dan uang mereka untuk mereka.
Dampak yang diberikan oleh budaya ini nyatanya cukup besar pada tahun 2020. Menurut Cato Institute, terhitung 62% dari masyarakat Amerika Serikat—tempat di mana budaya tersebut pertama kali dimunculkan—merasa bahwa mereka takut berpendapat karena merasa bisa kehilangan pekerjaan mereka. Banyak yang menganggap budaya ini adalah budaya yang menakutkan, seperti John Drury, seorang psikolog sosial yang berkata bahwa sekelompok orang yang tidak sejalan dengan norma sosial seringkali ditampilkan sebagai sesuatu yang ditakuti. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu dari cancel culture.
ADVERTISEMENT

Sudah Berpikir Bahwa Cancel Culture adalah Budaya yang Harus Dihindari?

Budaya yang berasal dari Amerika Serikat tersebut akhirnya melebarkan sayap dan sampai ke Indonesia, khususnya ke pengguna media sosial yang aktif terhadap berita hangat yang tengah beredar.
Berbagai hal dapat beredar dengan cepat di media sosial, seperti kasus kejahatan seksual “fetish kain jarik” yang dilakukan oleh mahasiswa Sastra Indonesia Unair. Berawal dari sebuah utas di Twitter yang disampaikan oleh salah satu korbannya, bagaimana pelaku meminta korban-korbannya yang merupakan mahasiswa laki-laki untuk membantu penelitiannya dengan membungkus diri mereka sendiri dengan kain jarik kemudian potretnya dikirimkan kepada pelaku.
Pengguna media sosial Twitter bekerja cepat. Dengan banyaknya orang yang melawan kasus tersebut, pelaku kini dihadapkan oleh hukuman lima tahun enam bulan di penjara. Tanpa menunggu lama, pelaku di-cancel oleh pengguna Twitter yang geram dengan siasat pelaku untuk memenuhi kepuasan seksualnya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kasus kain jarik, beberapa waktu lalu jagat Twitter Indonesia kembali diramaikan oleh video seorang dokter muda yang melecehkan wanita. Bagaimana tidak? Sebagai dokter kandungan, pelaku membuat konten dengan menggambarkan tes pembukaan kehamilan. Video dan konten tersebut dinilai sebagai konten pelecehan seksual dengan tindakan mesum. Hal ini memancing emosi pengguna Twitter yang tanpa menunggu waktu lama langsung mengaktifkan mode cancel terhadap pelaku.
Sampai akhirnya, dokter tersebut membuat video klarifikasi dan permohonan maaf.
Akan tetapi, penderitaannya tidak hanya sampai di situ. Spektator menginginkan agar surat praktik kerja dokter ini dicabut, sehingga tidak membuat pasien yang hendak memeriksakan diri pada dokter kandungan berjenis kelamin laki-laki takut. Ketua IDI Kota Jakarta Selatan sudah turun tangan terhadap kasus ini, ditambah peran pengguna media sosial yang ‘memboikot’ dan melaporkan video tersebut terus memantau gerak-gerik pelaku.
ADVERTISEMENT
Apabila tidak ada niat dari para pengguna media sosial untuk ‘cancelling’ dokter tersebut, maka pelaku bisa saja terus membuat konten yang menyimpang sampai detik ini dan videonya masih bersimpang-siur di dunia maya.
Cancel Culture, Budaya yang Baik Secara Kacau?
Berbicara maupun berbahasa dapat berbahaya, karena dalam cancel culture, konteks yang salah dapat merusak berbagai pihak. Meskipun yang diperdebatkan dan di-cancel merupakan biang masalah, dapat timbul penghakiman yang menyebabkan terpecahnya suatu masyarakat. Setiap orang perlu memahami bahwa "cancelling people" dapat disalahgunakan dengan kuat, tetapi juga mampu menyoroti ketidakadilan yang telah dipendam sebegitu lama.
Cancel culture tidak boleh dianggap sebagai ajang mempermalukan seseorang, bukan juga budaya yang membuat orang dengan opini berbeda "dihukum" secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup tulisan ini, Profesor Lisa Nakamura dari University of Michigan pernah berkata, “Cancel culture terjadi ketika korban pelecehan seksual, rasisme, dan seksisme berhenti menyimpan rahasia pelakunya.”
Ia percaya bahwa budaya ini dapat menjadi hal yang "toxic yet problematic" ketika membelah suatu tatanan sosial atau menyasar ke pelaku yang salah. Akan tetapi, cancel culture sangat amat penting perannya dalam menjadi dorongan kuat menuju perubahan.