Konten dari Pengguna

Gergaji Baru: Memimpin dengan Memahami Cara Kerja Otak

Sigid Mulyadi
Praktisi Pemerintahan - Alumnus UPN Veteran - Disclamer: Tulisan tidak mewakili pandangan dari organisasi
14 Mei 2025 11:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigid Mulyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu cara terbaik untuk terus berkembang adalah dengan mengasah gergaji—sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People. Gergaji di sini adalah metafora untuk kompetensi dan keterampilan yang kita gunakan dalam bekerja. Sama seperti gergaji yang tumpul akan menyulitkan proses menebang pohon, keterampilan yang tak diasah akan menghambat efektivitas kerja, bahkan bisa membuat kita gagal menyelesaikan tugas dengan optimal.
ADVERTISEMENT
Mengasah gergaji tidak selalu berarti belajar hal yang sama berulang-ulang. Adakalanya, kita perlu mengganti gergaji itu dengan yang baru—lebih modern, lebih cepat, dan lebih efisien. Di era transformasi digital, “gergaji baru” bisa berarti kemampuan teknologi, pemahaman data, kecakapan komunikasi digital, hingga wawasan tentang ilmu saraf (neuroscience) yang kini mulai masuk ke dunia kepemimpinan dan manajemen organisasi.
Ilustrasi dibuat dengan ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat dengan ChatGPT

Memahami Otak, Memahami Kepemimpinan

Beberapa waktu belakangan, saya menyempatkan diri belajar tentang cara kerja otak manusia—sebuah “gergaji baru” yang saya rasa penting untuk dimiliki, terutama dalam konteks memimpin dan bekerja dengan manusia. Ilmu ini membuka dua sisi: manfaat yang sangat positif, dan potensi penyalahgunaan.
Dari sisi positif, memahami otak bisa membantu kita meningkatkan kesehatan mental, memperbaiki pola pembelajaran, dan memperkaya hubungan antarmanusia. Tapi di sisi lain, pengetahuan ini juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih manipulatif—seperti merancang strategi persuasi yang secara halus mendorong seseorang mengambil keputusan tanpa kesadaran penuh. Misalnya, lewat iklan atau kampanye politik yang membanjiri emosi tanpa memberi ruang berpikir rasional.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi karena otak manusia, terutama sistem limbik yang mengatur emosi, sangat responsif terhadap stimulus eksternal. Ketika emosi aktif, bagian otak yang disebut amigadala mengambil alih, membuat kita cenderung reaktif. Sebaliknya, ketika merasa aman, bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas logika dan pengambilan keputusan rasional akan lebih dominan.

Model SCARF: Panduan dalam Memimpin

Dalam upaya memahami dan mengaplikasikan cara kerja otak dalam kepemimpinan, saya menemukan sebuah pendekatan menarik yang dikembangkan oleh David Rock: Model SCARF. Akronim ini merangkum lima domain sosial yang sangat memengaruhi respons otak:
1. Status: Merujuk pada posisi sosial dan rasa dihargai. Otak merasa terancam saat merasa direndahkan, dan merasa aman saat dipuji atau dihargai.
ADVERTISEMENT
2. Certainty: Kebutuhan akan kepastian. Ketidakjelasan memicu stres dan kecemasan. Otak bekerja lebih optimal ketika mampu memprediksi hasil.
3. Autonomy: Kebebasan untuk memilih. Ketika kita merasa tidak punya kendali, otak bereaksi negatif. Sebaliknya, pilihan memberikan rasa aman dan kepemilikan.
4. Relatedness: Rasa keterhubungan sosial. Otak merasa aman saat kita merasa diterima dan dipercaya. Sebaliknya, keterasingan memicu respons pertahanan.
5. Fairness: Persepsi terhadap keadilan. Ketidakadilan mengaktifkan area otak yang sama dengan rasa sakit fisik, sementara keadilan menciptakan kenyamanan psikologis.

Empati Berbasis Sains

Model SCARF membawa wawasan baru bagi para pemimpin: bahwa membangun lingkungan kerja yang sehat bukan hanya soal budaya dan nilai, tapi juga menyentuh respons biologis dan neurologis. Seorang pemimpin yang memahami ini akan lebih mampu merancang komunikasi, pengambilan keputusan, hingga manajemen konflik dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis sains.
ADVERTISEMENT
Misalnya, alih-alih memberikan kritik tajam yang bisa mengancam status, pemimpin bisa memilih pendekatan umpan balik yang konstruktif dan menghargai. Atau, dalam masa ketidakpastian, pemimpin bisa meningkatkan komunikasi agar tim merasa lebih aman dan tetap fokus.

Gergaji yang Terus Diasah

Dunia kerja berubah cepat. Teknologi, budaya organisasi, hingga ekspektasi manusia terhadap kepemimpinan terus berkembang. Di tengah perubahan ini, keterampilan lama saja tak cukup. Kita butuh gergaji baru—berupa wawasan baru, pemahaman lintas disiplin, dan kepekaan terhadap dinamika manusia.
Mengasah gergaji berarti terus belajar. Tapi mengganti gergaji berarti berani melampaui batas lama dan memeluk cara baru yang lebih relevan, efektif, dan berdampak.
Mari terus belajar dan memimpin—dengan sains, empati, dan kesadaran.