Doa dan Usaha Anak Pertama

Silvia Wulandari
Journalism Student of Polytechnic State Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Mei 2022 15:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silvia Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita bersujud (sumber: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita bersujud (sumber: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Diam termenung di samping kasur dalam kamar kos sederhana, sembari menikmati secangkir teh dan juga biskuit roma kelapa. Kamu menatap kosong lantai dingin yang kamu duduki, memikirkan hal apalagi yang harus kamu hadapi. Sudah sekitar empat puluh lima menit kamu duduk seperti itu, menikmati waktu yang terus berlalu meninggalkan kamu dan pikiran-pikiran semrawut yang menemanimu.
ADVERTISEMENT
Menghela nafas berkali-kali tiap kamu ingat apa saja hal yang telah berhasil terlewati selama sekian tahun kamu pergi merantau. Mengingat setiap tangis yang keluar, peluh yang bercucuran, dan tawa yang telah terlewatkan, rasanya masih seperti mimpi, menjadi kamu yang saat ini.
Dulu, kamu hanyalah seorang siswi tingkat akhir SMA biasa, tidak ada kata terbaik dan favorit di belakang nama sekolahmu. Kamu yang ingin memilih kampus terbaik di negeri ini menjadi berpikir dua kali. Keadaan semakin terasa sulit ketika kamu ditolak oleh kampus impianmu.
Kamu semakin berkecil hati tidak dapat untuk melanjutkan pendidikanmu di saat adikmu yang paling kecil jatuh sakit, yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ayahmu hanyalah seoarang petani, ibumu hanya mengurus rumah tangga, sedangkan ada enam jiwa yang harus dibiayai dan diberi makan dalam rumahmu.
ADVERTISEMENT
Sebagai kakak dan anak pertama, kamu mencoba mengerti keadaan yang menimpa keluarga, meski saat itu umurmu masih muda. Sempat berpikir untuk pergi merantau, tapi dengan tujuan yang berbeda. Bukan lagi menimba ilmu, tapi mencari uang untuk membantu sang ayah mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, ternyata Tuhan masih berbaik hati kepadamu.
Disaat-saat terakhir asa kamu hilang, Tuhan memberikan jawaban atas doa dan pintamu lewat kampus lain yang tak kalah bagusnya. Kamu tak menyangka, kamu yang awalnya mendaftar karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ternyata kesempatan itu benar-benar jalan yang diberikan oleh Tuhan untukmu. Tidak sampai disitu, kamu juga mendapatkan beasiswa sehingga dapat meringankan sedikit beban keluarga.
Rasanya masih kemarin ibumu menangis ketika mengantar kamu untuk pergi berjuang di rantau orang. Masih kemarin rasanya kamu menahan sedih karena belum dikirimi uang untuk membeli makan, masih kemarin rasanya sepi karena lebaran tanpa keluarga di sisimu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kamu yang berjuang mampu bertahan dengan uang yang pas-pasan, mencari sedikit tambahan kesana-kemari. Menjaga nilai agar beasiswamu tidak dicabut, berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja di depan keluarga, karena tidak ingin mereka yang di kampung tahu beratnya perjuanganmu. Semuanya benar-benar terasa baru terjadi kemarin.
Kamu tidak menyangka dapat melewati itu semua, meski sempat ingin berhenti di tengah jalan sebelumnya. Kamu benar-benar hebat, karena memilih untuk melanjutkan perjuanganmu. Kamu tidak mau pengorbanan waktu dan tenaga orang tuamu terbuang sia-sia begitu saja.
“Jadi anak pertama perempuan seberat ini ya Bu, Kakak masih nggak percaya bisa melewati ini semua. Sampai di tahap ini Kakak masih nggak nyangka,” Itu yang selalu kamu ucapkan dalam hatimu ketika kamu mengingat semua perjuangan yang telah kamu lalui.
ADVERTISEMENT
Menjadi anak pertama apalagi perempuan, membuatmu benar-benar kuat. Kamu mungkin sudah melewati beberapa kesulitan sebelumnya, namun kedepannya masih banyak kesulitan lainnya yang harus dihadapi. Kamu sadar, kamu adalah tumpuan keluarga, masih ada tiga adikmu yang harus kamu tuntun nantinya. Memikirkan kebahagian orang tuamu di usia senja mereka, terkadang membuatmu sedih. Apakah kamu bisa memberikan itu atau tidak. Namun, kamu selalu yakin bahwa Tuhan selalu memberikan jalan terbaik untuk hambanya yang mau berusaha.
(Oleh: Silvia Wulandari)