Labirin Cinta (Bab 19)

Fransisca Susanti
Hai, nama panggilanku Sisca. Aku lulusan Teknik Kimia Universitas Jenderal Achmad Yani dan master graduate Manajemen Bisnis SB IPB. Sekarang kerja sebagai translator lepasan, kolaborasi blog, dropshipper tshirt, dan usaha preorder makanan waroenkmoe.
Konten dari Pengguna
7 Desember 2021 18:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Spy
Rumah Arai (Sumber gambar: free use Canva).
“Bu, masa kita harus mengintai?” Tanya Karin dengan ekspresi mengantuk. Ia menoleh ke arah ibunya yang sedang mengamati sebuah rumah bergaya minimalis dan bertingkat dua di Jalan Cisadane, Bogor. Bu Diana tidak menghiraukan keengganan Karin untuk mengintai rumah kontrakan Arai. Rumah bercat dinding putih tersebut tampak terlalu bersih seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya. Tidak ada mobil Arai yang terparkir di depan rumah. Memang Bu Diana melarang Karin untuk memberitahu Arai akan inspeksi mendadak ini. Bu Diana sangat penasaran dengan kehidupan pribadi Arai. Siapakah yang berbohong dalam hal ini, Arai ataukah Vonny?
Arai dan Karin (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Ibu Diana membangunkan Karin jam 3 pagi untuk menginterogasinya mengenai hubungannya dengan Arai. Ibu mana yang tidak curiga melihat anak perempuannya bergaul sangat erat dengan seorang duda seperti Arai. Pertemuan kemarin antara Arai, Karin, dan Bu Diana yang membicarakan mengenai masalah Pak Agung, membuat Bu Diana tersadar bahwa Arai dan Karin bercengkerama terlalu akrab. Amy mendengarkan percakapan ibu dan kakaknya dengan telinga yang terbuka lebar. Ia tak henti-hentinya tersenyum simpul menyaksikan kakaknya yang terdesak. Berkat bakat terpendam Bu Diana sebagai seorang intel kawakan, akhirnya, Karin yang masih mengantuk, gelagapan dan menjawab dengan jujur bom pertanyaan dari Bu Diana. Terbongkarlah kencan rahasia antara Arai dan Karin. Dan juga cerita mengenai ketidaksukaan Farah, anak semata wayang Arai, akan hubungan kasih antara ayahnya dan Karin. Bu Diana tidak terlalu terkejut mendengar paparan kisah Karin, tapi begitu Karin menceritakan mengenai Vonny yang merasa dirinya ialah istri Arai dan Karin harus memutuskan hubungannya dengan Arai, hilanglah kesabaran pada diri Bu Diana. Apalagi Arai tengah tersangkut kasus dengan seorang renternir. Ia berpikir dengan cermat seperti seorang jenderal yang mahir dalam memainkan pion catur. Beraninya perempuan jahat tersebut menghina anak perempuan kesayanganku! Ini adalah perang cinta yang harus dimenangkan oleh Karin! Ataukah, ini semua hanya siasat Arai untuk meluluhkan hatiku dan Karin sehingga urusan renternir ditimpakan ke pundakku? Arai terlalu misterius dan sukar ditebak. Aku harus menyelidikinya.
Arai dan Karin (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Sekarang sang jenderal pun galau dalam mengatur siasat. Apakah maju menyerang langsung ke dalam kancah peperangan? Atau, menunggu dengan sabar hingga entah berapa jam lagi? Sejak jam setengah enam pagi, Bu Diana, Amy, dan Karin telah mengintai sang penghuni rumah putih tersebut. Jika diperhatikan dari jarak jauh, mereka persis seperti tiga penguin bersaudara yang bergerak canggung dengan pakaian serba hitam dan kacamata hitam. Mobil tua Datsun putih kesayangan Amy, menjadi saksi bisu terjadinya operasi intai rahasia yang dilakukan ketiga perempuan tersebut dari dalam mobil. Jam demi jam berlalu dengan lambat. Suara ketukan jari Amy pada setir mobil meningkatkan derajat kejenuhan. Belum pernah menunggu terasa begitu menyiksa seperti ini. Detik demi detik yang mendebarkan. Tapi, tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah ini.
Bubur ayam (Sumber gambar: free use Canva).
Akhirnya, Bu Diana menyerah dan menyatakan operasi rahasia hari ini gagal. Mereka bertiga hanya berhasil melakukan operasi kuliner bubur ayam yang mangkal di depan rumah Arai. Bubur ayamnya sangat enak dengan tekstur yang sangat halus, kuah kuningnya yang kental, serta topping potongan ayam dan cakwenya yang melimpah. Tepat saat mereka berniat untuk pulang, sesosok perempuan setengah baya keluar dari rumah untuk menjemur pakaian. Dengan cekatan, Karin dan Amy bersembunyi di balik semak-semak. Sedangkan Bu Diana berderap ke medan perang.
ADVERTISEMENT
***
Teh panas (Sumber gambar: free use Canva).
Ibu Diana menghirup teh panas yang disajikan. Tapi, minuman ini pun kalah manis dari senyum Bu Sani, sang pembuatnya. Kedua pasang mata yang sudah makan asam garam kehidupan saling beradu dan mengukur kekuatan.
“Sayang sekali anak saya, Arai berangkat kemarin sore ke Kota Ciamis. Sebelumnya, Ibu tidak mengadakan perjanjian untuk bertemu dengannya?”
“Tidak, saya ada kepentingan mendesak mengenai bisnis. Sekalian saya ingin berkenalan dengan Ibu karena saya sudah menganggap Arai sebagai anak kandung saya sendiri.”
Bu Sani (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Saya senang sekali mendengarnya. Tolong bimbing dia karena karakter Arai sekeras karang,” tanggap Bu Sani terus terang. “Jika saya perhatikan logat bicara Ibu, sepertinya Ibu berasal dari suku Sunda?”
“Benar, Bu. Saya asli Bandung.”
ADVERTISEMENT
“Wah, sama. Saya juga orang Bandung. Walaupun kulit saya sawo matang, saya turunan bangsawan van Baron yang bermata cemerlang seperti … seperti apa ya?” Bu Sani termangu dengan kening berkerut.
“Mata kucing yang sehijau giok,” sela Bu Diana.
Kucing bermata hijau (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Benar, ibu tepat sekali menggambarkannya,” seru Bu Sani. Derai tawanya menular.
Bu Diana berdehem untuk mengembalikan alur pembicaraan sesuai dengan yang ia inginkan.
“Bu, maaf saya bertanya hal privacy. Apakah Arai sudah memiliki istri?”
“Sudah, Bu. Istrinya bernama Vonny, kenalan saya. Mereka sudah menikah tiga bulan yang lalu tanpa saya ketahui.”
“Tapi, Arai bersumpah tidak pernah menikah dengannya. Dengan berpura-pura menjadi Farah, Vonny mengancam Karin, anak saya.”
“Ah, ganjil sekali. Nanti saya akan interogasi Arai dan Farah mengenai hal ini sehingga saya tahu siapa yang berbohong dalam hal ini. Ibu tenang saja karena saya akan menangani masalah ini. Mari Ibu ke dalam untuk melihat hasil kerja istrinya Arai!”
Gelas dan piring kotor (Sumber gambar: free use Canva).
Ruang tidur yang acak-acakan merupakan pemandangan yang paling ekstrim jika dibandingkan ruang tamu dan ruang dapur. Baju yang berserakan dan piring kotor yang bertumpuk menjadi momok bagi Cinderella. Tak urung Bu Diana merasa pilu melihat sisa nasi bercampur kecap. Keluarga Bu Diana juga mengalami hal serupa, nasi garam atau pun nasi cabai rawit menjadi pemandangan sehari-hari. Resesi ekonomi ini menenggelamkan keluarga menengah ke dalam palung laut.
ADVERTISEMENT
“Saya juga tidak habis pikir. Meskipun ada istri, tetap saja saya yang repot mengurus keluarga ini. Saya sudah tua dan sakit-sakitan, tapi istrinya kurang tanggap.”
“Apakah Ibu menyetujui pernikahan tersebut?”
“Saya tidak akan menghalangi pernikahan Arai asalkan istrinya mengurus Arai dan Farah dengan baik.”
“Saya bisa bertemu dengan Vonny sekarang?”
“Kebetulan hari ini ia tidak datang. Ia seringkali pulang malam dan menginap di kost-annya sendiri.
“Baiklah, Bu. Terima kasih banyak atas waktunya. Lain kali saya akan mengundang Ibu untuk minum teh. Ataukah, kita pergi ke Bandung bersama?” Tanya Bu Diana.
Bu Sani menggangguk antusias sehingga Bu Diana tersenyum puas karena misinya berhasil. Tiba-tiba terdengar kehebohan yang luar biasa dari luar rumah. Betapa terkejutnya Bu Diana ketika melihat kedua anak perempuannya sedang berlari dikejar segerombolan kambing bandot. Dengan dibantu satpam perumahan dan Bu Sani, akhirnya Bu Diana berhasil mengusir kambing-kambing nakal tersebut, kecuali pemimpinnya yang sedang mem-bully Karin.
Karin dan kambing (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
“TOLONG, DIA TIDAK MAU MELEPASKAN GIGITANNYA,” teriak Karin yang berdiri di atas pagar sembari menghalau kepala si kambing jantan keras kepala yang terus mengoyak kemeja Karin.
ADVERTISEMENT
“Sebentar, Kak,” Amy yang panik, mengetuk kepala si kambing dengan sebatang ranting yang super kecil. Jangankan takut, kambing itu  bersikap menantang. Ia melepaskan gigitannya dan menoleh ke arah Amy dengan mata mendelik. Ia mendengus-dengus dan menyepak-nyepakkan kedua kaki belakangnya sehingga menampar tanah. Dan kemudian, berlari ke arah Amy.
“HUWAAA,” Amy terjatuh walaupun ia sudah berlari kencang. Kambing ganas kesurupan tersebut terus menyeruduk bokong Amy. Mau tak mau pemandangan kocak tersebut membuat Bu Diana, Bu Sani, dan Pak Edo, satpam perumahan terpingkal.
Dengan susah payah Pak Edo menahan kepala si kambing, sedangkan Bu Diana dan Bu Sani menarik tubuh kambing tersebut agar menjauhi Amy. Kambing jawara ini menolak untuk mengibarkan bendera putih. Tak ada kata menyerah di kamus kambingpedia. MAJU TERUS PANTANG MUNDUR! HIDUP KAMBING BANDOT!
Pak Edo dan kambing (Sumber gambar: free use Canva).
“AAAWWW! ADUH!” Jerit Pak Edo menyayat hati.
ADVERTISEMENT
“Mengapa, Pak?” Tanya Bu Diana dan Bu Sani serempak.
“Anu, anu…” Jawab Pak Edo tergagap-gagap. Ia jatuh terguling ke tanah dengan posisi tubuh menekuk. Wajahnya yang meringis kesakitan sepucat kertas, sedangkan si kambing malah asyik mengunyah rumput di sampingnya, seolah ia bukan si pembawa bencana bagi “sang adik” Pak Edo.
Dengan dibantu satpam perumahan lainnya, akhirnya mereka berhasil mengamankan kambing-kambing nakal tersebut, termasuk pemimpinnya yang bertubuh terbesar. Bu Diana menoleh kepada kedua anak perempuannya sedang cemberut dengan penampilan kusut masai. Mereka sibuk menggaruk sekujur tubuhnya.
“Bagaimana ceritanya hingga kalian dikejar kambing?” Tanya Bu Diana penasaran.
“Amy iseng mengembik-embik,” tuduh Karin.
“Ih, mereka mengejar bukan  karena aku, tapi memang karena tali pengikatnya yang kendur,” sanggah Amy.
ADVERTISEMENT
“Tapi, kamu juga menirukan matador dengan melambai-lambaikan sapu tangan merah,” seru Karin ngotot.
“Kak, kambing buta warna. Bukan karena itu mereka mengejar kita, tapi karena Kakak belum mandi …”
Perdebatan tersebut berhenti tiba-tiba ketika mereka menyadari dirinya menjadi tontonan orang. Dengan wajah semerah tomat, Karin dan Amy menerima tawaran Bu Sani untuk membersihkan diri mereka yang beraroma kambing. Apalagi kemeja Karin sudah tak keruan bentuknya. Benar-benar si kambing pejantan tangguh! Ia sangat ahli menggoda perempuan dan mempertahankan daerah kekuasaannya.