Labirin Cinta (Bab 23)

Fransisca Susanti
Hai, nama panggilanku Sisca. Aku lulusan Teknik Kimia Universitas Jenderal Achmad Yani dan master graduate Manajemen Bisnis SB IPB. Sekarang kerja sebagai translator lepasan, kolaborasi blog, dropshipper tshirt, dan usaha preorder makanan waroenkmoe.
Konten dari Pengguna
10 Desember 2021 11:44 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Si Kumis dan Si Gempal
Farah (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Kak, ini Farah.
Aku ingin sekali bertemu dengan Kakak untuk membicarakan mengenai masalah ayahku.
ADVERTISEMENT
Aku takut sekali karena ayah mendapat ancaman pembunuhan.
Aku tidak bisa menghubungi polisi.
Hanya Kakak satu-satunya harapanku.
Tolong temui aku besok jam 10 pagi di Coffee Shop Mawar, Jl Batutulis No. 6, Bogor.
Kakak harus datang sendiri.
Karin mengerutkan kening ketika membaca pesan WhatsApp dari Farah. Apakah ini benar-benar dari Farah? Ataukah Vonny? Untuk memastikannya, Karin memutuskan untuk melakukan video call.
Video calling…
Farah (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Tampak Farah yang sedang terisak. Ruang tidurnya kacau balau.
Karin: “Hallo. Farah, apa yang terjadi?”
Farah: “Kak, baru saja anak buah Pak Agung datang mencari Ayah. Karena aku tak tahu Ayah berada di mana, mereka menggeledah rumah. Mereka mengancam akan membunuh Ayah jika Ayah tidak membayar seluruh utang dan melapor polisi. Besok mereka akan datang kembali. Aku takut sekali.”
ADVERTISEMENT
Karin: “Tidak bisakah kau yang datang ke rumahku? Bawalah barang-barangmu yang penting saja dan menginaplah di sini. Nanti aku yang akan menghubungi ayahmu atau nenekmu.”
Farah: “Tidak bisa, Kak. Aku kuatir dibuntuti sehingga berisiko membahayakan Kakak. Sebaiknya kita bertemu dulu di tempat lain. Entah mengapa Ayah tidak bisa dihubungi. Memang Ayah berpesan ia sedang menyelesaikan proyek software rumah sakit di Bandar Lampung dan akan pulang minggu depan. Sedangkan Nenek sedang sakit dan berada di rumah pamanku di Kota Garut.”
Karin:“Okay. Jika demikian, sampai bertemu besok.”
Walaupun Karin menelepon Arai berulang kali, Arai memang tidak bisa dihubungi. Karin bingung. Instingnya merasa ada sesuatu yang janggal, tapi ia juga tidak bisa membiarkan Farah menghadapi renternir seorang diri. Apa yang terjadi, biarkanlah terjadi. Karin akan menemui Farah besok. Padahal Karin baru saja merasa senang karena Mario mengabarkan kasus yang membelit Bu Diana mengalami kebuntuan karena kurangnya bukti.
ADVERTISEMENT
***
Farah (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Hai, sudah menunggu lama?” Tanya Karin dengan ramah pada seorang remaja bergaun katun biru muda yang sedang duduk termangu di pojok coffee shop. Strawberry parfait-nya hampir meleleh.
Strawberry parfait (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Farah menggeleng dengan lesu. Baru saja Karin hendak duduk, dua orang pria tak dikenal menghampirinya dan memperlihatkan pistol yang tersembul di balik jaketnya. “Jangan berteriak. Ikuti kami sekarang juga!”
Pistol (Sumber gambar: free use Canva).
Karin terkesiap dan menoleh pada Farah yang membuang muka, seolah dengan berbuat begitu, ia bisa membuang seluruh rasa bersalahnya.
Farah (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa. Jika tidak, mereka akan membunuh Ayah,” bisik Farah.
“Apakah kita perlu untuk membawanya juga?” Tanya si pria berkumis pada rekannya. Mendengar hal tersebut, Farah membelalak ketakutan.
“Jangan bawa dia! Atau, aku akan nekat berteriak,” desis Karin.
ADVERTISEMENT
“Tidak perlu bersikap pahlawan. Bos Agung juga tidak memerintahkannya. Kami hanya perlu menculikmu,” timpal si pria gempal yang memakai kalung rantai.
Coffee Shop Mawar (Sumber gambar: free use Canva).
Karin terpaksa masuk ke dalam mobil Avanza hitam yang berkaca gelap yang diparkir di halaman parkir Coffee Shop yang masih sepi pengunjung. Semuanya terjadi begitu cepat. Siapa yang menyangka penculikan ini terjadi pada pagi hari yang cerah di area publik. Ia tak bisa berkutik ketika tangannya ditelikung dan diikat oleh tali rami. Sedangkan, matanya ditutup oleh selendang hitam. Tubuhnya meringkuk dalam bagian belakang mobil yang kursinya sudah dilipat.
Tali (Sumber gambar: free use Canva).
Karin tak bisa menghitung waktu. Ia hanya merasakan perjalanan ini begitu lama. Dari jalan yang mulus, ia merasakan guncangan-guncangan dan begitu banyak belokan. Ia menyesal tidak sempat melakukan share location melalui handphone pada siapa pun. Tapi, ia masih bersyukur mereka tidak membawa Farah.
ADVERTISEMENT
***
Nasi goreng dan teh botol (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Ruangan yang berada di lantai 3 gedung sekolah yang terbengkalai ini begitu sesak dan kecil. Seumur hidupnya baru Karin berada di tempat sekumuh ini. Tak disangka, kedua penjahat ini memperlakukan Karin dengan cukup baik dan menyediakan makanan. Bahkan, mereka membuka tali yang mengikat kedua tangan Karin sehingga ia bisa menyantap makanan. Tapi, Karin yang paranoid, tak menyentuh sedikit pun nasi goreng yang tersaji. Ia takut diracun atau pun dibius. Ia hanya berani meminum teh botol yang masih tersegel.
Si Kumis (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Pintu terkuak. Si Kumis menelepon, “Hallo, saya anak buah Pak Agung. Apakah ini Bu Diana? Karin, anak ibu, ada bersama kami.” Ia menoleh pada Karin, “Sapalah ibumu!”
Karin melengos. Kelakuannya menerbitkan rasa amarah pada si Kumis. Ia menampar pipi Karin sehingga Karin menjerit. “Dengarlah suaranya, Bu! Kami tidak berbohong. Jika Ibu menuruti seluruh keinginan Bos Agung, kami menjamin akan mengantarkan anak ibu dalam keadaan selamat. Ibu hanya perlu membuat surat kuasa yang menyatakan hibah rumah ibu pada bos kami. Tapi, jika Ibu melapor polisi, kami tentu tidak segan bertindak. Dan telepon ini akan menjadi salam terakhir dari anak Ibu. Nanti kami akan menghubungi Ibu lebih lanjut.”
ADVERTISEMENT
Si Kumis memutus hubungan telepon dan membanting pintu.
Ketulusan cinta (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Suasana yang gelap membuat pikiran Karin berkelana. Manusiawi jika Karin tidak hanya kesal terhadap para penjahat ini, tapi pada Arai yang merupakan sumber dari seluruh kerumitan ini. Ya, Karin sangat mencintai Arai. Tapi, sekarang Karin meragukan ketulusan Arai. Apakah Arai memang sungguh mencintainya atau hanya ingin terlepas dari jeratan renternir dengan melibatkan Bu Diana dan Karin? Keraguan ini bagaikan aliran racun, tapi tidak memadamkan semangat Karin yang berkobar. Ia harus secepatnya kabur dari sini. Tapi, bagaimana caranya? Daun pintunya sangat tebal dan terkunci. Karin meraba-raba kaca jendela yang longgar. Ia memutuskan untuk kabur melalui jendela. Tapi, ia menghentikan niatnya ketika melihat sulitnya pijakan di dinding luar gedung tua ini.
ADVERTISEMENT
Karin menggedor-gedor pintu. “BUKAKAN PINTU! AKU INGIN BUANG AIR BESAR.”
“HEY, JANGAN BERISIK. KAMI SUDAH MENYEDIAKAN PISPOT DAN SEGUCI AIR DI SAMPING RANJANG. KAU GUNAKAN SAJA ITU. KAMI TIDAK MAU AMBIL RISIKO KAU KABUR SEBELUM URUSAN BOS KAMI SELESAI,” teriak Si Kumis.
Karin (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Karin manyun. Ia kesal taktiknya gagal total.
Dalam cahaya yang temaram, pemandangan kamar yang ditempati Karin terlihat begitu menyedihkan. Karin bergidik mengingat ia akan tidur di ranjang kelambu putih yang sudah lapuk tersebut. Sarang laba-laba menggantung di langit-langit. Perabotan kayu jati kuno menambah suasana horor. Hantu Exorcist bisa muncul kapan saja. Menguatkan hatinya, Karin memutuskan untuk membongkar lemari. Siapa tahu ada benda tajam yang bisa dipergunakan. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan banyak bunyi. Ia merasa sangat kecewa karena hanya menemukan bertumpuk-tumpuk kain dan buku yang sudah dimakan rayap.
ADVERTISEMENT
Karin duduk kelelahan di tepi ranjang. Tiba-tiba matanya teralihkan pada sebuah peti yang setengah terbuka di sudut kamar. Dengan penuh semangat, ia kembali membongkar peti tersebut. Begitu banyak gulungan kertas kuno seperti peta. Semoga saja ada benda tajam sebagai senjata Karin untuk melindungi diri. Desis kesenangan terlontar di bibir mungilnya ketika jemarinya menyentuh sesuatu yang licin, tajam, dan dingin. Ia menariknya sekuat tenaga dan terperangah. Lalu, melemparnya ke seberang ruangan dan menjerit sekuat tenaga hingga kedua penculik Karin tergopoh-gopoh datang.
“ADA APA? KAU SELALU SAJA MEMBUAT KERIBUTAN,” hardik Si Gempal.
“ITU…ITU…” Karin menunjuk ke arah obyek yang ia lempar tadi.
Ular piton (Sumber gambar: free use Canva).
Si Kumis memeriksa dengan seksama di area yang Karin tunjuk. “Tidak ada apa-apa. Kau ingin menipu kami, ya?” Ia membalikkan badan sembari berkacak pinggang. Kumisnya bergerak-gerak cepat seperti singa laut. Tiba-tiba ia jatuh berguling ke lantai karena tubuhnya dililit ular piton dengan kulit bermotif batik sepanjang 2 meter. Si Gempal langsung berusaha menolong rekannya. Karin memanfaatkan kehebohan tersebut dengan menyelinap ke luar ruangan. Tak lupa ia mengunci pintu kamar dari luar dengan tangan gemetaran.
Karin (Sumber gambar: free use Canva).
Belum pernah Karin lari secepat itu. Wajah, lengan, dan betisnya tersayat ranting-ranting pohon dan semak belukar. Bayangan pohon-pohon pinus yang menjulang seperti barisan prajurit kegelapan. Akhirnya, ia berhasil menuruni bukit dengan selamat dan melihat barisan cahaya lampu yang menandakan adanya sebuah desa. Tapi, rasa senangnya hanya sementara karena ia melihat kedua penjahat itu mengejar di belakangnya. Ia kembali berlari sekuat tenaga.
Desa (Sumber gambar: free use Canva).
“TOLONG! TOLONG! ADA PENJAHAT YANG MENGEJARKU,” teriakan Karin menggema di desa yang lengang tersebut. Tapi, tidak ada respon apa pun. Karin terkesiap ketika melihat musuhnya sudah berada dekat sekali dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
Tepat saat Karin putus asa, satu pintu terbuka, dan disusul pintu lainnya. Kedua penjahat tersebut sangat terkejut menyadari tiba-tiba diri mereka sudah dikelilingi penduduk desa yang siap berperang dengan peralatan seadanya. Bapak-bapak dan pemuda desa membawa cangkul, garu, linggis, dll, sedangkan para ibu membawa panci, pisau dapur, bahkan ulekan. O la la, perang ini tidak akan mudah karena mereka kalah jumlah.
“JANGAN ADA YANG BERGERAK ATAU KAMI AKAN TEMBAK KALIAN SEMUA,” ancam Si Kumis sembari mengacungkan pistol rakitan.
“Bang, tenangkan diri Abang. Kita tidak perlu menggunakan pistol,” sergah Si Gempal.
“Tahu apa kamu. Aku yang lebih senior. Lihat saja! Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan gemilang.”
“Saya Kepala Desa di sini. Tolong jangan berbuat onar di sini! Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin,” seru Pak Rommy dengan tenang.
ADVERTISEMENT
“KAMI TIDAK AKAN BERBUAT MACAM-MACAM PADA KALIAN ASALKAN KALIAN TIDAK IKUT CAMPUR. GADIS BERMASALAH ITU YANG MEMBUAT ONAR.”
Kerumunan penduduk desa berdengung seperti suara lebah yang marah. Si Kumis menembakkan pistol ke udara untuk menakut-nakuti penduduk desa.
“BANG, JANGAN PAKAI PISTOL! NANTI TIMBUL KORBAN,” seru Si Gempal sembari berusaha merebut pistol Si Kumis.
Mak Rosa (Sumber gambar: free use Canva).
Ketika perhatian Si Kumis teralihkan, ia tidak menyadari ada sosok tambun yang menyelinap dan bergerak dengan sigap di belakangnya. “RASAKAN, RASAKAN INI! DASAR KUMIS OTAK UDANG. BERANINYA DENGAN PEREMPUAN. WAJAHNYA JUGA SERUPA BENAR DENGAN SUAMIKU YANG MAIN GILA DAN MELARIKAN DIRI DENGAN PEREMPUAN LAIN,” serunya sembari memukul kepala Si Kumis dengan sebuah wajan yang sangat besar. Satu pukulan cukup untuk menghantarkan Si Kumis ke Planet Pluto. Sedangkan pemuda desa lainnya menyergap Si Gempal.
ADVERTISEMENT
The power of Emak memang tak terkalahkan. Seluruh penduduk desa mengelu-elukan kejayaan Mak Rosa, perempuan berumur 50 tahun tersebut. Tapi, alangkah terkejutnya mereka semua ketika tiba-tiba Mak Rosa memeluk Si Kumis yang pingsan dan sudah dalam keadaan terikat.
“ADUH, INI BENAR SUAMIKU, SI UDOY. PAK, BANGUN. BIARPUN KAU PENJAHAT, AKU TETAP MENCINTAIMU.”
Seluruh penduduk kembali bersorak riuh rendah dan menggerutu. Karin tertegun menyaksikan sebuah kisah roman picisan. Ah, dunia ini begitu sempit. Kasihan sekali Mak Rosa mencintai seorang penjahat. Tapi, siapa yang bisa menebak rasa cinta?
Cinta (Sumber gambar: free use Canva).