Labirin Cinta (Epilog)

Fransisca Susanti
Hai, nama panggilanku Sisca. Aku lulusan Teknik Kimia Universitas Jenderal Achmad Yani dan master graduate Manajemen Bisnis SB IPB. Sekarang kerja sebagai translator lepasan, kolaborasi blog, dropshipper tshirt, dan usaha preorder makanan waroenkmoe.
Konten dari Pengguna
11 Desember 2021 7:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arai (Sumber gambar: free use pixabay.com).
zoom-in-whitePerbesar
Arai (Sumber gambar: free use pixabay.com).
ADVERTISEMENT
“Kak, tidak bisakah Kakak berhenti bersikap genit? Kakak tersenyum pada seluruh perempuan yang menyapa Kakak.”
ADVERTISEMENT
“Genit bagaimana? Aku hanya bersikap ramah. Mereka yang mengejarku. Kau harus sadar, Karin sayang. Suamimu ini pengusaha yang sangat sukses dan profesional. Aku juga sangat mempesona di antara perempuan yang haus cinta.”
Arai dan Karin (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Karin menghela napas kesal. Sekali duren vetsin tetap duren vetsin. Mantan duren vetsin ini tidak akan pernah berubah, selain  terkena musibah besar, misalnya dikejar nenek girang. Huhuhu.
Karin, Arai, dan pengagum Arai (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
“Sayang, sejuta perempuan bisa mengejarku, tapi hatiku hanya milikmu seorang,” rayunya manis. Tapi, nuansa semanis madu tersebut dihancurkan oleh sindirannya, “Tidak akan ada lagi perempuan yang sekuat dirimu. Renternir lihay seperti Pak Agung saja harus bertekuk lutut karena laporanmu yang mendetil.”
Karin (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Karin tersenyum manis. Ia ingin mempermainkan pria menyebalkan ini. “Kak, pernahkah Kakak menyadari awalnya aku tertarik pada Kakak karena Kakak mirip sekali dengan mantan kekasihku, Pasha?”
ADVERTISEMENT
“Apa? Aku sudah menduganya. Aku selalu paranoid karena Pasha tidak juga menikah, seolah-olah ia menunggumu dan hendak merebutmu ketika aku lengah. Awas saja jika kalian bermain api di belakangku!”
Karin bergeming dan memasang ekspresi tak berdosa.
“Tapi, kau lebih mencintaiku, kan?” Desak Arai panas.
“Bagaimana ya, Kak? Aku juga belum bisa memutuskannya karena Pasha sulit dilupakan.”
Si duren vetsin melongo. Kemudian, ia tersadar bahwa dirinya dibohongi karena binar tawa di mata Karin. Perkataan Karin selanjutnya bak dentuman meriam di telinganya.
“Biarlah anak kita yang menjadi hakim,” bisik Karin sembari mengelus perutnya yang masih kecil.
Arai terperangah dan memeluk Karin dengan penuh rasa bahagia.
Arai dan Karin (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).