Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
5 Ramadhan 1446 HRabu, 05 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Labirin Cinta (Epilog)
11 Desember 2021 7:46 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Kak, tidak bisakah Kakak berhenti bersikap genit? Kakak tersenyum pada seluruh perempuan yang menyapa Kakak.”
ADVERTISEMENT
“Genit bagaimana? Aku hanya bersikap ramah. Mereka yang mengejarku. Kau harus sadar, Karin sayang. Suamimu ini pengusaha yang sangat sukses dan profesional. Aku juga sangat mempesona di antara perempuan yang haus cinta.”
Karin menghela napas kesal. Sekali duren vetsin tetap duren vetsin. Mantan duren vetsin ini tidak akan pernah berubah, selain terkena musibah besar, misalnya dikejar nenek girang. Huhuhu.
“Sayang, sejuta perempuan bisa mengejarku, tapi hatiku hanya milikmu seorang,” rayunya manis. Tapi, nuansa semanis madu tersebut dihancurkan oleh sindirannya, “Tidak akan ada lagi perempuan yang sekuat dirimu. Renternir lihay seperti Pak Agung saja harus bertekuk lutut karena laporanmu yang mendetil.”
Karin tersenyum manis. Ia ingin mempermainkan pria menyebalkan ini. “Kak, pernahkah Kakak menyadari awalnya aku tertarik pada Kakak karena Kakak mirip sekali dengan mantan kekasihku, Pasha?”
ADVERTISEMENT
“Apa? Aku sudah menduganya. Aku selalu paranoid karena Pasha tidak juga menikah, seolah-olah ia menunggumu dan hendak merebutmu ketika aku lengah. Awas saja jika kalian bermain api di belakangku!”
Karin bergeming dan memasang ekspresi tak berdosa.
“Tapi, kau lebih mencintaiku, kan?” Desak Arai panas.
“Bagaimana ya, Kak? Aku juga belum bisa memutuskannya karena Pasha sulit dilupakan.”
Si duren vetsin melongo. Kemudian, ia tersadar bahwa dirinya dibohongi karena binar tawa di mata Karin. Perkataan Karin selanjutnya bak dentuman meriam di telinganya.
“Biarlah anak kita yang menjadi hakim,” bisik Karin sembari mengelus perutnya yang masih kecil.
Arai terperangah dan memeluk Karin dengan penuh rasa bahagia.