Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Obstruction Of Justice Tindak Pidana Kekerasan Seksual
3 Oktober 2022 21:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Siti Aminah Tardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Shiddqiyyah Jombang telah menyita perhatian publik, mengingat panjangnya proses penyidikan, yaitu dari 2019 sampai 2022. Kasus ini sempat diwarnai gagalnya sejumlah upaya paksa penangkapan terhadap tersangka MSAT karena hadangan massa, penganiayaan terhadap saksi, pelaporan tindak pidana ITE terhadap saksi dan dua kali gugatan praperadilan. MSAT sendiri akhirnya menyerahkan diri pada 7 Juli 2022, setelah ratusan aparat gabungan mengepung ponpes selama kurang lebih 15 jam.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan upaya paksa tersebut, Kepolisian mengamankan dan memeriksa 320 orang yang dinilai menghalangi proses penangkapan. Polda Jawa Timur kemudian menetapkan lima orang di antaranya sebagai tersangka pelanggaran UU No 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) khususnya terkait perbuatan mencegah atau merintangi proses penyidikan atau kerap disebut dengan obstruction of justice (OJ). Penerapan ketentuan OJ UU TPKS adalah pertama kali sejak undang-undang ini ditandatangani dan diundangkan pada 9 Mei 2022.
Memahami Obstruction of Justice
Prof. Edy Hiarej (2017), mengartikan OJ sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum. Dalam konteks hukum pidana, berarti tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum - polisi, jaksa, hakim, dan advokat-, baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa. Upaya menghalang-halangi ini dapat berbentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan maksud atau tujuan menunda, mengganggu, atau mengintervensi proses hukum. Ketentuan OJ bersifat universal, di mana hampir semua negara melarangnya karena dinilai sebagai perlawanan terhadap fungsi negara dalam penegakan hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia pengaturan OJ dapat ditemukan dalam KUHP dan hukum pidana khusus di sejumlah peraturan perundang-undangan. Di dalam KUHP walau tidak terdapat bab khusus tentang perbuatan menghalang-halangi proses hukum, perbuatan yang dikategorikan sebagai OJ terdapat dalam Bab VIII tentang Kejahatan terhadap Kekuasaan Umum (Pasal 207-241) di mana ketentuan-ketentuan dalam bab ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pemerintah agar aparaturnya dapat menjalankan tugasnya. Perbuatan yang dilarang di antaranya menyembunyikan, menolong melarikan diri, atau menghancurkan, menghilangkan, atau menyembunyikan barang bukti.
Selain dalam KUHP, OJ juga terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dari keempatnya terdapat rumusan yang sama yaitu: “Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi”.
ADVERTISEMENT
Dari keempat hukum pidana khusus di atas, selain terdapat hal yang sama dan sanksi yang lebih berat dari KUHP, terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk perbuatan. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan di antaranya perbuatan dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan tidak benar hal-hal terkait dengan tindak pidana korupsi, tentang harta bendanya, harta benda istrinya dan harta benda tiap orang atau korporasi, kewenangan meminta keterangan pada bank, permohonan blokir rekening, kewajiban memberikan keterangan, dan larangan menyebut nama dan identitas pelapor. Terkait dengan ketentuan OJ dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, kita telah memiliki pengalaman penerapannya seperti dalam kasus Anggodo Widjojo dan kasus simulator SIM.
Untuk tindak pidana terorisme bentuk-bentuk OJ diantaranya: (i) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau hakim; (ii) memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu; (iii) mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan; (iv) melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan. Sedangkan dalam UU PTPPO, selain serupa dengan rumusan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ditambah dengan perbuatan: (i) membantu pelarian pelaku dengan memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan, menyediakan tempat tinggal; (ii) menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan keberadaan pelaku; (iii) memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya harus dirahasiakan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian bentuk-bentuk OJ dapat dilakukan dari yang paling ringan yaitu mempengaruhi saksi atau hakim sampai yang paling berat yaitu menggunakan kekerasan yang mengakibatkan kematian pada saksi atau korban yang dimaksudkan untuk menghalangi atau mencegah atau mempengaruhi proses hukum pidana.
Obstruction of Justice dalam UU TPKS
UU TPKS memuat larangan obstruction of justice pada Pasal 19 Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Pengaturan OJ tindak pidana kekerasan seksual secara khusus ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman saksi dan korban dalam mendapatkan keadilan melalui sistem peradilan pidana. Ketika pelaku memiliki sumber kuasa baik sosial, politik maupun ekonomi maka dapat menggunakannya untuk mencegah, merintangi atau menggagalkan proses hukumnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, perbuatan yang dilarang dalam UU TPKS dirumuskan secara umum, berbeda dengan rumusan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU TPPO. Perumusan secara umum ini dipahami bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada aparat penegak hukum dalam menentukan apakah sebuah perbuatan dapat dikategorikan OJ atau tidak. Namun, jika mengacu kepada ketentuan OJ di undang-undang lain, OJ TPKS dapat meliputi di antaranya: (i) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau hakim; (ii) memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu; (iii) mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan; (iv) melakukan penyerangan fisik, psikis terhadap saksi, korban atau petugas di persidangan, (v) membantu pelarian pelaku dengan memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan, menyediakan tempat tinggal; (vi) menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan keberadaan pelaku; (vii) memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya harus dirahasiakan; dan (viii) merintangi upaya-upaya hukum yang menjadi kewenangan penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan/atau hakim.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan bagaimana OJ dilakukan, Shinta Agustina dkk (2015) mengidentifikasi pelaku melakukan tindakan menghalang-halangi proses hukum dengan menggunakan empat kekuatan yaitu masyarakat berkepentingan, aparat penegak hukum, pengacara dan kekuatan politik. Penggunaan kekuatan tersebut dapat dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum. Walau temuan ini berdasarkan pada kasus-kasus tindak pidana korupsi, kita dapat menggunakannya untuk tindak pidana lain. Seperti penggunaan masyarakat berkepentingan yang merujuk pada menghalang-halangi proses hukum dengan menggunakan masyarakat pendukung, simpatisan, penganut ajaran yang dapat dilakukan berdasarkan motif yang berkaitan dengan nilai ekonomi, kepercayaan/agama, pekerjaan ataupun sosial. Dalam kasus Jombang ini menunjukkan masyarakat berkepentingan digunakan untuk menghalang-halangi proses hukum.
ADVERTISEMENT
Kini, kasus kekerasan seksualnya sendiri telah memasuki pemeriksaan persidangan. Kita pun berharap sangkaan OJ dapat diadili, sebagai bagian dari penegakan UU TPKS, sekaligus pembelajaran bahwa mencegah, merintangi dan menggagalkan proses hukum kekerasan seksual adalah kejahatan.